Isu Terkini

Panggil Aktor “Juno” Itu Elliot Page

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Foto: Netflix/The Umbrella Academy

Kabar aktor Juno (2007) Elliot Page melela (coming out) sebagai transpria mendapatkan sambutan meriah dan ramai diberitakan oleh media. Tak hanya media internasional, media lokal pun ikut memberitakannya.

Namun, ada perbedaan besar dengan bagaimana media luar dan dalam negeri menarasikan informasi ini. Media luar cenderung untuk menghindari menyebutkan namanya yang diberikan saat lahir. Sebagai gantinya, untuk dapat lebih mudah dikenali orang, film-film yang ia bintangi ditautkan di judul atau deskripsi artikel.

Reuters, contohnya, menulis, “’Juno’ actor Elliot Page comes out as transgender” sebagai judul. Begitu pula dengan Associated Press yang menuliskan, “Oscar-nominated actor Elliot Page, the star of ‘Juno’, ‘Inception’, and ‘The Umbrella Academy’, came out as transgender.”

Sementara itu, tak sedikit media Indonesia yang menyebutkan nama lahir Elliot. Tak hanya itu, berita itu dibubuhi pula dengan keterangan-keterangan yang menegasikan identitasnya sebagai seorang laki-laki, seperti sebutan “artis”, “aktris”, hingga “aktris cantik”.

Praktik membubuhkan nama lahir seorang transgender tanpa consent atau seizin pemilik nama—atau biasa disebut deadnaming—masih banyak terjadi di Indonesia. Sebelum Elliot Page, nama lahir publik figur Millen Cyrus, misalnya, sengaja dibeberkan ke publik—bahkan menjadi informasi utama dari pemberitaan.

Kenapa Deadnaming Berbahaya?

Foto: Tiffany Nicholson/Porter Edit

Aktivis queer Lini Zurlia menyebutkan bahwa deadnaming adalah cerminan penolakan terhadap identitas transgender seseorang.

Deadnaming digunakan untuk memanggil seorang transgender menggunakan nama yang diberikan saat lahir tanpa consent. Tentu saja penolakan ini didasari oleh pandangan yang sangat gender biner: tak dapat menerima sebuah fakta dan kenyataan bahwa seseorang dapat saja mengidentifikasi diri sebagai transgender—baik laki-laki transisi ke perempuan, sebaliknya, maupun tidak sama sekali mengidentifikasi diri masuk ke dalam identitas gender apapun,” kata Lini ketika dihubungi Asumsi.co (2/12).

Dengan menyebut atau memanggil seseorang dengan nama yang tidak ia akui, seorang transgender dapat merasa identitas mereka tidak dihormati dan diakui. Mereka pun rentan menjadi sasaran pelecehan dan diskriminasi.

Di Indonesia, Arus Pelangi melaporkan bahwa sebanyak 89,3% atau hampir semua anggota kelompok LGBTQ di Indonesia mengalami kekerasan yang didasarkan pada orientasi seksual dan identitas gendernya. Dari 973 kasus kekerasan terhadap komunitas LGBTQ yang dilaporkan pada 2017, 73% di antaranya menyasar kelompok trans.

Ini juga poin yang ditekankan oleh Elliot dalam pernyataannya ketika melela. “Sejujurnya, terlepas dari perasaan bahagia dan privilese yang aku miliki, aku juga takut. Takut akan gangguan, kebencian, ‘candaan’, dan kekerasan,” katanya.

Ia melanjutkan dengan menyebutkan statistik kekerasan terhadap transgender yang mengkhawatirkan: pada 2020 saja, setidaknya terdapat 40 transgender yang dibunuh, mayoritas di antaranya adalah perempuan kulit hitam dan Latinx. “Kepada seluruh pemimpin politik yang bekerja untuk mengkriminalisasi layanan kesehatan untuk trans dan mengabaikan hak kami untuk hidup, dan kepada orang-orang dengan platform besar yang berperilaku jahat ke komunitas trans: darah di tanganmu.”

Panduan Memberitakan Cerita Transgender

Foto: Elliot Page/Instagram

Meskipun media internasional cenderung lebih punya kepekaan, tetapi tetap ada sejumlah media yang melakukan praktik deadnaming. Asosiasi pers hingga aktivis trans dunia pun mengecam hal ini.

Transgender Journalist Association (TJA) mengingatkan lewat keterangannya di media sosial agar pers memperlakukan Elliot dengan hormat dan tidak melakukan deadnaming. “Tidak ada alasan bagi jurnalis untuk menyebutkan deadname seorang trans dalam beritanya,” ujar pendiri TJA, Oliver-Ash Kleine. “Ini sangatlah tidak sopan dan tidak manusiawi. Praktik ini merusak autonomi, gender, dan identitas orang tersebut.”

Lambda Legal, organisasi yang mengadvokasi komunitas LGBTQ dan orang dengan HIV, menyebutkan bahwa meskipun identitas gender seseorang jadi bagian penting dari sebuah cerita, tetap tak ada alasan untuk mempublikasikan nama seorang transgender yang diberikan saat lahir. Pihaknya juga pernah mengkritisi obituari New York Times untuk Aimee Stephens, transpuan yang memperjuangkan kasus diskriminasi kepada transgender di tempat kerja, yang awalnya menyebutkan nama lahirnya.

Untuk menghindari pemberitaan yang diskriminatif, media internasional membuat panduan khusus tentang deadnaming. AP Style Guide merekomendasikan agar reporter, “Menggunakan nama yang saat ini digunakan oleh transgender”. Begitu pula dengan Reuters yang merekomendasikan agar, “Selalu menggunakan nama yang dipilih oleh transgender.”

GLAAD, organisasi pengawasan media yang didirikan untuk memprotes pemberitaan diskriminatif media terhadap komunitas LGBTQ juga secara spesifik menekankan bahwa nama yang seorang transgender dapatkan saat lahir bukanlah “nama asli”. “Nama yang dipilih seorang transgender adalah nama aslinya, terlepas dari apakah mereka berhasil mengubah nama mereka di pengadilan atau tidak.”

“Banyak orang memilih untuk menggunakan nama yang mereka pilih sendiri, dan media tidak menyebutkan nama lahir mereka ketika menuliskan berita tentang mereka (contoh Lady Gaga, Demi Moore, Whoopi Goldberg). Orang transgender juga perlu dihargai dengan cara yang sama.”

Share: Panggil Aktor “Juno” Itu Elliot Page