Isu Terkini

Kristen Gray, Bali Tidaklah Queer-Friendly dan Kebohonganmu Memperparah Keadaan

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Foto: Twitter/@kristentootsie

Hanya berselang beberapa hari setelah Kristen Gray bilang bahwa Bali adalah destinasi wisata yang “queer-friendly”, ia kini dideportasi karena pernyataannya itu dianggap meresahkan masyarakat.

Kristen Gray, seorang influencer/digital nomad asal Amerika Serikat yang ingin hidup murah di Bali, menjual jasanya untuk mengajak semakin banyak warga negara asing untuk menetap di Bali di tengah pandemi COVID-19.

Setelah mengalami sendiri bentuk ketidakramahan Indonesia terhadap LGBTQ, Gray kini sepertinya mesti menarik ucapannya tentang Bali. Bali bukanlah tempat yang ramah LGBTQ. Gray sempat merasa begitu hanya karena statusnya sebagai turis membuatnya imun terhadap bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami komunitas LGBTQ setempat.

Kai Mata, seorang aktivis queer Indonesia yang menetap di Bali selama lebih dari empat tahun, merasakan sendiri hal itu. Ia mengalami bagaimana ia tak merasa aman untuk secara leluasa mengungkapkan orientasi seksualnya di depan publik.

“Ketika aku berbicara dengan orang lain di Indonesia tentang kekasihku, aku menggunakan kata ‘pacar’. Bahasa Indonesia yang gender-neutral ini membuatku dapat jujur tanpa harus menyebutkan gender orang yang kusayangi. Ketika aku sedang di tempat umum bersama pacarku dan seseorang menyebut kami sebagai teman, aku tidak mengoreksi mereka karena tempat dan waktunya tidak tepat,” kata Kai kepada Asumsi.co (20/1).

Setahun lalu, Kai memutuskan untuk melela (coming out) ke publik. Ia membuat pernyataan lewat media sosial:

“Nama saya Kai Mata. Saya orang Indonesia, dan saya juga gay. Tidak ada hukum yang dapat mengubah itu, tidak ada terapi yang dapat mengubah itu, tidak juga kebencian dan ancaman yang ditujukan kepadaku. Aku mengungkapkan ini karena, mestinya, dua perempuan yang saling mencintai merupakan hal biasa.”

Kai memutuskan untuk melela ke publik karena pemerintah dan DPR mengumumkan perancangan aturan yang akan mewajibkan rehabilitasi LGBTQ. Aturan yang masuk dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga ini mengatur hubungan sesama jenis sebagai salah satu bentuk “penyimpangan seksual”.

“Setelah melela, aku dibombardir oleh ribuan pesan di Twitter dan Facebook yang mengatakan bahwa aku sedang menghancurkan Indonesia, bahwa aku sakit jiwa, orang-orang melaporkanku ke Front Pembela Islam, dan mereka mencoba untuk mencari tahu di mana aku dan keluargaku tinggal. Aku pun diserang karena beretnis Tionghoa-Indonesia,” ujarnya.

Apa yang dialami Kai juga tercermin dari cara pemerintah menyikapi kelompok LGBTQ di Bali. Jika kita mundur beberapa bulan ke belakang, kita dapat dengan mudah menemukan berita-berita penolakan terhadap kelompok LGBTQ oleh masyarakat atau aparat keamanan setempat.

Satpol PP Kabupaten Badung, misalnya, sempat melakukan sidak ke penginapan sekelompok gay pada Januari 2020. Sidak dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas: “Di Bali kan harusnya promosi wisata budaya, bukan hal yang bertentangan dengan adat dan budaya,” kata Kepala Satpol PP Badung I Gusti Agung Ketut Suryanegara (10/1/20).

Tindakan Satpol PP Badung ini dikecam oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali. Ni Kadek Vany Primaliraning selaku Direktur LBH Bali mengatakan bahwa tindakan mereka merupakan bentuk pelanggaran HAM. “Persekusi ini merupakan langkah ceroboh dan bukti bahwa pemerintah tidak berkomitmen terhadap pemenuhan HAM di Indonesia, khususnya di Bali.”

Di satu sisi, Bali memang bisa terasa toleran terhadap kelompok LGBTQ dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Banyak pelancong atau wisatawan LGBTQ yang merasa identitasnya diterima, bahkan dirayakan, di sana. Namun, menurut Kai, pengalaman itu bergantung pada dengan siapa individu-individu queer tersebut berinteraksi di Bali.

“Komunitas ekspatriat biasanya lebih menerima, dan orang-orang Indonesia yang berinteraksi dengannya [Gray], mulai dari induk semang sampai para pekerja restoran, memperoleh keuntungan finansial dengan memendam keyakinan mereka,” katanya.

Selain itu, bagaimanapun, Bali merupakan bagian dari Indonesia yang sistem hukumnya masih tak mengakui dan memberikan perlindungan kepada kelompok LGBTQ. “Saya merasa perlu melihat ini dalam konteks Indonesia secara keseluruhan: seksualitas yang dipolisikan, sempat dibahasnya RUU Ketahanan Keluarga, dan fakta bahwa ada tentara yang dipenjara selama setahun karena menjalin hubungan sesama jenis,” kata Kai.

Kai pernah bertanya kepada sejumlah orang tua di Bali tentang bagaimana respons mereka jika anak mereka melela sebagai gay atau transgender. Mereka takut bagaimana keluarga besar dan tetangga-tetangga akan memandang anak mereka dan mereka sendiri. Mereka masih percaya bahwa anak yang gay lahir dari keluarga yang berantakan. LGBTQ dipandang sebagai kecacatan atau noda memalukan yang menandai keluarga secara keseluruhan.

“Sekadar toleransi atas keberadaan kami tidak sama dengan penerimaan,” kata Kai.

Kembali ke kasus Kristen Gray, ia memang dideportasi bukan hanya karena ia gay. Sebagaimana isi siaran pers Kantor Wilayah Bali Kementerian Hukum dan HAM, disebutkan bahwa Gray juga telah melanggar peraturan tentang keimigrasian, protokol kesehatan perjalanan internasional, dan menyalahgunakan izin wisatanya untuk bekerja.

“Cuitan akun Twitter @kristentootie yang mengajak WNA untuk pindah ke Bali saat pandemi tentunya bertentangan dengan Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan COVID-19 No. 2 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional dalam Masa Pandemi COVID-19 serta Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi No. IMI-0103.GR.01.01 Tahun 2021 tentang Pembatasan Sementara Masuknya Orang Asing ke Wilayah Indonesia dalam Masa Pandemi COVID-19,” ujar Jamaruli Manihuruk selaku Kepala Kantor Wilayah Bali (19/1).

Namun, fakta bahwa surat edaran itu juga bertendensi menyangkal bahwa Bali adalah wilayah yang “queer-friendly” jadi preseden yang mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup kelompok LGBTQ di Indonesia.

Hal ini disampaikan oleh Kai yang khawatir bahwa kasus Gray dapat berimbas pada semakin tajamnya sentimen anti-LGBTQ di Bali dan di Indonesia secara keseluruhan. Dia mengatakan, “Pihak imigrasi yang menyebut pernyataan Gray menyebabkan keresahan menunjukkan bahwa pemerintahan setempat tidak punya aspirasi untuk mempromosikan Bali sebagai queer-friendly, dan bahkan berpotensi menganggap label itu negatif.”

“Indonesia telah lama menetapkan bahwa ‘Bhinneka Tunggal Ika’ tidak mengikutsertakan kelompok LGBTQ. Saya khawatir kasus yang melingkupi orang asing queer yang tidak paham situasi ini akan memberikan tekanan lebih besar terhadap kelompok LGBTQ di Indonesia—mereka terpaksa tetap diam dan bersembunyi demi menghindari penganiayaan dan persekusi,” kata Kai menambahkan.

Share: Kristen Gray, Bali Tidaklah Queer-Friendly dan Kebohonganmu Memperparah Keadaan