Perundungan atau bullying masih menjadi masalah yang sering ditemui di lingkungan pendidikan. Lebih dari setahun sekolah dilakukan secara daring, perundungan bukan berarti tak ada. Justru perundungan beralih ke media sosial.
Perundungan secara daring atau dikenal dengan cyberbullying memang bukan hal baru. Ini terjadi seiring semakin masifnya penggunaan internet di masyarakat.
Dalam tayangan Kerjasama Penguatan Literasi Media Sosial bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang disiarkan via YouTube Kemendikbud RI, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim menyebut sejak 2011 sampai 2019 saja, bullying yang melibatkan pelajar mencapai 2.473 laporan.
Mengutip data Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Nadiem menyebut jumlah ini terdiri dari pelaku dan juga korban. Kerentanannya makin tinggi ketika anak-anak mesti sekolah secara daring karena pandemi yang terjadi.
“Ini membuat mereka semakin rentan dengan perundungan di dunia maya,” kata Nadiem.
Ia menilai,cyberbullying adalah satu tantangan besar yang harus disadari dan dihadapi agar kita bisa temukan solusinya sebagai masyarakat digital. Untuk itu, Nadiem mendorong agar anak-anak di Indonesia dapat belajar dengan aman dan kondusif. “Tidak hanya saat belajar di sekolah dan dalam kelas, tetapi juga di dunia maya,” ucap Nadiem.
Dampak Cyberbullying Pada Anak
Perundungan meski dilakukan lewat kata-kata di media sosial, tetaplah perundungan. Sama seperti perundungan yang dilakukan secara fisik, perundungan secara daring juga punya dampak buruk buat korban. Beberapa bahkan menyisakan trauma.
Mengutip Verywell Family, Sherri Gordon, pakar pencegahan perundungan dari Otterbein University, Amerika menyatakan perundungan siber bahkan bisa memberi dampak lebih buruk daripada perundungan langsung. Soalnya, perundungan bisa tidak mengenal waktu.
“Perundungan siber dapat terjadi kapan saja, siang atau malam, dan dilakukan oleh sumber anonim. Ini membuatnya lebih tanpa henti dan seringkali, lebih kejam,” kata Gordon.
Serangannya juga macam-macam. Bisa jadi di ruang digital publik seperti kolom komentar. Atau justru lebih privat dengan layanan pesan langsung. “Ini membiarkan beberapa anak mengelola rahasia dan pengaruhnya pada mereka sendirian,” kata dia.
Baca Juga: Bukan Hanya Britney Spears, Kasus Toxic Parents Juga Ada di Sekitar Kita
Perundungan daring juga kerap membuat anak mengisolasi diri. Akibatnya, mereka sering merasa tak punya teman. Pengalaman ini bisa sangat menyakitkan karena teman sangat penting pada usia sekolah. Ketika anak-anak tidak memiliki teman, ini dapat menyebabkan lebih banyak intimidasi.
Ketika perundungan terjadi, orang tua terkadang menyarankan untuk mematikan komputer atau mematikan ponsel. Tetapi bagi banyak anak, menggunakan perangkat ini dianggap sebagai cara paling penting untuk berkomunikasi dengan orang lain.
”Mematikan ponsel berarti memutuskan hubungan mereka dengan dunia mereka, yang dapat membuat mereka merasa lebih terasing,” ucap dia.
Marah adalah respons paling umum yang terjadi pada anak sebagai korab perundungan daring. Beberapa anak yang menjadi korban bahkan mungkin merencanakan balas dendam. Ini tentu berbahaya karena mungkin akan berakibat fatal atau sedikitnya tidak memutus lingkaran perundungan.
Penelitian menunjukkan bahwa 32 persen anak-anak yang menjadi target cyberbullying melaporkan mengalami setidaknya satu gejala stres. Selain merasa tertekan, mereka juga mungkin merasa malu, terluka, dan bahkan takut akan keselamatan mereka. Mereka bahkan mungkin menyalahkan diri mereka sendiri atas cyberbullying.
“Jika Anda melihat perubahan suasana hati anak Anda, jangan ragu untuk menghubungi penyedia layanan kesehatan mereka untuk evaluasi dan dukungan,” ucap dia.
Bisa Berdampak Pada Fisik
Kewalahan mengelola kecemasan dan kemungkinan perubahan perilaku dan mental yang terjadi selama menghadapi perundungan bisa juga berdampak pada fisik anak.
Gordon menyebut sejumlah masalah kesehatan yang bisa terjadi adalah gastrointestinal seperti sakit perut dan sakit maag. Anak-anak juga mungkin sering mengalami mual, muntah, dan diare. Hal lain adalah gangguan makan. Bisa justru kekurangan atau sebaliknya.
“Karena hidup mereka terasa di luar kendali, mereka memandang pola makan mereka sebagai sesuatu yang bisa mereka kendalikan. Efek ini dapat berubah menjadi gangguan makan yang parah, terutama jika intimidasi telah menyebabkan citra tubuh yang terdistorsi,” ujar dia.
Selain itu gangguan tidur karena cemas juga sangat mungkin membuat anak yang mengalami perundungan menderita masalah tidur seperti insomnia, tidur lebih dari biasanya, atau mimpi buruk. “Jika Anda memperhatikan bahwa anak Anda mengalami perubahan dalam kebiasaan makan dan tidur mereka, atau jika mereka mengalami peningkatan masalah fisik, penting untuk berbicara dengan dokter anak anda. Ini bisa menjadi tanda masalah yang lebih besar yang perlu dievaluasi,” ujar Gordon.
Kepemilikan Ponsel Pada Anak Memengaruhi
Elizabeth Englander, seorang Profesor Psikologi di Massachusetts Aggression Reduction Center (MARC), Bridgewater State University menyebut penelitiannya pada 2017 menemukan fakta bahwa pemberian telepon seluler kepada anak kecil dapat meningkatkan kemungkinan anak tersebut menjadi korban atau pelaku perundungan.
Mengutip tulisannya di The Conversation, dalam penelitian yang melibatkan 4.500 murid SD di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa kehadiran telepon seluler di sekolah berhubungan dengan keterlibatan anak-anak dalam penindasan dan cyberbullying, baik sebagai pelaku maupun pelaku/korban. Seorang pelaku/korban adalah seorang anak yang pada saat berbeda dapat menjadi pelaku maupun korban perundungan.
Baca Juga: Perusakan Makam oleh Anak-anak di Solo Adalah Praktik Intoleransi?
Riset menunjukkan bahwa meskipun lebih dari setengah murid kelas tiga SD yang memiliki telepon genggam, hanya 35% dari anak-anak yang tidak terlibat dalam perundungan. Terlebih lagi, 75 persen dari cyberbullies yang duduk di kelas tiga SD memiliki gawai.
Lalu Bagaimana Mencegahnya?
Englander menilai pentingnya menetapkan kepemilikan atas ponsel. Anak harus paham kalau ponsel itu bukan miliknya, tetapi milik orang tua yang dipinjamkan untuk dipakai. Dengan begitu, orang tua punya hak mengontrol isinya.
“Dengan memeriksa gawai anak Anda, Anda dapat mendeteksi pesan-pesan yang memiliki tanda-tanda keterlibatan anak dalam penindasan dan cyberbullying. Pada tahun 2012, MacAfee mengeluarkan penelitian yang menemukan bahwa setengah dari anak-anak yang menjadi responden mengubah perilaku mereka di dunia maya saat mereka tahu bahwa orang tua mereka memonitor tindak-tanduk mereka,” kata Englander.
Penelitian yang dilakukan di Universitas McGill pada tahun 2014 menemukan bahwa makan malam bersama keluarga dapat melindungi anak-anak dari perundungan. Waktu makan malam dapat menjadi saat untuk membangun hubungan emosional, bahkan meskipun yang terjadi hanya percakapan basa-basi. Namun, momen tersebut dapat menjadi waktu bagi anak-anak untuk mendiskusikan tantangan dan kesulitan yang mereka hadapi serta solusi dan strategi dengan orang-orang yang menyayangi mereka.
“Untuk alasan tersebut, peraturan yang melarang telepon genggam di meja makan bisa mendorong hubungan baik dalam keluarga yang dapat melindungi anak dari perundungan,” ucap dia.
Orang tua juga seharusnya membatasi penggunaan telepon genggam pada anak.
“Mempunyai telepon seluler adalah suatu hak istimewa. Sebagai orang tua, tanamkan kebiasaan menggunakan telepon seluler secara bertanggung jawab. Ajarkan juga kepada anak Anda bahwa mendiskusikan permasalahan sosial adalah bagian dari kedewasaan yang dibutuhkan untuk mempunyai telepon seluler sendiri,” ucap dia.