Euforia pemilihan presiden 2024 tampaknya sudah semakin terasa. Meskipun masih tiga tahun lagi, para elite sudah tak sabar menyambut pesta rakyat lima tahun satu kali itu. Mereka mulai memanaskan mesin masing-masing, pendekatan sana sini, sampai hasil survei sejumlah di lembaga politik saat ini rilis hampir setiap bulan sekali.
Yang dulu lawan politik kini mulai main mata atau bahkan sudah jelas-jelas berhubungan mesra. Sementara yang dulu sebarisan mulai cari celah bikin faksi tandingan.
Di tengah riuh ini, muncul usulan nyeleneh, yaitu mempersatukan Joko Widodo dan Prabowo untuk berlaga di Pilpres 2024. Usulan ini dicetuskan oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari. Ia beralasan, saat lembaga survey berkutat memunculkan nama-nama baru yang diperkirakan akan berlaga di 2024, ia mengusulkan Jokowi maju lagi bersama Prabowo.
Alih-alih move on dan mengamati peta dukungan untuk nama-nama baru yang muncul, mereka justru ingin Jokowi menjabat sekali lagi. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu bahkan akan disandingkan dengan Prabowo Subianto yang di dua Pilpres berturut-turut yakni pada 2014 dan 2019 menjadi lawan politik Jokowi.
Dalih mereka menggabungkan dua tokoh ini yaitu agar tidak terjadi lagi polarisasi di masyarakat seperti dua Pilpres sebelumnya. Namun jika menilik hari ini, toh sudah hampir tak ada konflik antara Jokowi dan Prabowo.
Baca Juga: Jamak Digunakan, Masa Jabatan Dua Periode Dinilai Efektif Cegah Otokrasi
Prabowo saja sudah jadi Menteri Pertahanan di Kabinet Jokowi. Bahkan disusul Sandiaga Uno yang di Pilpres 2019 menjadi wakil Prabowo. Kini, Prabowo malah dikabarkan dekat dengan PDI Perjuangan. Tetapi apa kerja bersama Jokowi-Prabowo di dua tahun ini mampu meredam polarisasi?
Coba cek lagi.
Kepada Asumsi pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menyebut gagasan-gagasan untuk mencalonkan lagi Jokowi di 2024 bukan saja nyeleneh tapi juga berbahaya bagi demokrasi. Apalagi konstitusi sudah membatasi masa jabatan Presiden menjadi dua periode saja.
”Ini gerakan setting-an untuk melanggengkan kekuasaan,” kata Ujang.
Kenapa Dibatasi?
Pembatasan masa jabatan Presiden di Indonesia untuk dua periode baru muncul setelah era reformasi dan pasca-kejatuhan Orde Baru Soeharto. Saat itu Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali,” diamandemen melalui Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR RI pada tahun 1999.
Pasal ini dianggap bisa berujung pada penyelahgunaan kekuasaan. Dalam sejarah, melalui pasal ini, Presiden Pertama RI, Soekarno mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Sementara Soeharto terus dipilih hingga enam periode.
Setelah diamandemen, Pasal 7 UUD 1945 berbunyi:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Mantan anggota PAH I dari PPP, Lukman Hakim Saifuddin kepada Tempo menyebut, selain penyalahgunaan kekuasaan, ada sejumlah pertimbangan lain terkait amandemen ini. Yakni kekuasaan yang panjang akan membuat seseorang akan otoriter, regenerasi kepemimpinan nasional macet, dan timbulnya kultus individu.
“Saat amandemen pun semua fraksi menyepakati Tidak ada satu pun fraksi yang menolak termasuk Fraksi TNI/Polri,” kata Lukman kepada Tempo.
Batasan Dua Periode Merupakan Amanat Rakyat
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menilai bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua periode sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 lahir sebagai amanat rakyat dan suasana kebatinan reformasi melalui amendemen pertama tahun 1999.
Kepada Asumsi, Titi menyebut pasal itu merupakan artikulasi sejarah perjalanan bangsa selama 32 tahun berada di bawah kepemimpinan Soeharto yang bermula dari pendekatan “kepemimpinan yang baik harus terus dilanjutkan”.
“Pembatasan dua periode mengandung nilai moral, filosofis, sosiologis, dan hukum yang sangat kuat sebagai kehendak bersama rakyat Indonesia melalui para wakilnya yang merumuskan amendemen pertama UUD NRI Tahun 1945, karena tidak menghendaki kekuasaan yang terpusat hanya pada satu orang dan memicu terjadinya penyimpangan, korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata Titi.
Oleh karena itu, gagasan Presiden tiga periode yang diusung siapa pun dalam masa kepemimpinan Presiden mana pun adalah pengkhianatan pada amanat rakyat dan reformasi. Gagasan seperti menjadi indikasi kuat kemunduran Indonesia berdemokrasi.
Baca Juga : Ide Konyol Jokowi-Prabowo vs Kotak Kosong di 2024, Apalagi yang Dicari?
“Sebab akan sangat mudah dan rentan menjadi pintu masuk pada upaya untuk terus-terusan menambah masa jabatan presiden,” ucap dia.
Menurut Titi, kekuasaan yang terpusat terlalu lama pada satu orang hanya akan membuka peluang lebih besar pada terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah buah dari masa jabatan yang terpusat dan terlalu lama,” ucap dia.
Mengenai masa jabatan dua periode, Titi menyebut model ini lazin diberlakukan di negara-negara dunia yang menggunakan sistem presidensial. Dalam konteks Indonesia, dua periode juga dianggap cukup karena tidak terlalu pendek dan juga tidak terlalu lama.
“Lebih bisa menopang dean memicu terus terjadinya kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan nasional. Tidak menumpukan pengelolaan negara hanya pada figur tertentu saja,” ucap dia.
Tiga Periode Pernah Diajukan Sebelumnya
Bujuk rayu buat Jokowi agar mau maju sebagai Presiden bukan kali ini saja terdengar. Sebelumnya, politikus Gerindra Arief Poyuono pernah melontarkan gagasan serupa pada Maret 2021 lalu.
Mengutip Republika, saat itu Arief beralasan hal itu bisa dilihat dari dominasi Jokowi pada partai politik yang saat ini hampir seluruhnya adalah koalisi. Selain itu, ia juga punya pasukan sosial media.
Dalam pernyataan terbarunya yang diberitakan Detik, Arief bahkan telah mengusulkan gagasan tiga periode ini ke orang kepercayaan Jokowi yang disebutnya sebagai The Three Musketeers.
Di tahun 2019, Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid juga mengungkapkan adanya wacana perubahan masa jabatan presiden dan wakil persiden terkait amandemen UUD 1945. Wacana ini seiring gagasan menghidupkan lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Menurut Hidayat, dikutip dari Kompas ada yang mewacanakan masa jabatan presiden menjadi tiga kali dan ada juga yang mewacanakan satu kali dengan masa jabatan delapan tahun.
Baca Juga: Relawan Jokowi-Prabowo Adalah Gerakan yang Bahayakan Demokrasi
Pernyataan ini buru-buru disanggah Ketua MPR Bambang Soesatyo yang menyebut kalau wacana ini muncul dari masyarakat bukan MPR.
Bukan di Era Jokowi Saja
Tetapi bukan Jokowi saja yang pernah kena bujuk rayu ini. Susilo Bambang Yudhoyono, presiden pertama setelah reformasi yang mampu menyelesaikan masa jabatannya juga pernah mendapat godaan serupa.
Godaan itu datang dari Ruhut Sitompul yang kala itu masih jadi kader Demokrat. Di tahun 2010, Ruhut melontarkan usulan agar masa jabatan Presiden diperpanjang menjadi lebih dari dua periode.
Gagasan itu kemudian menuai pro-kontra. Mahfud MD yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi menilai berwacana adalah hak setiap orang, tetapi memberikan kekuasaan panjang juga berpotensi merusak demokrasi.
Jokowi dan SBY Sama-sama Menolak
Lalu apa respons SBY saat itu dengan usulan kadernya? Sama dengan yang dilakukan Jokowi hari ini, yaitu menolak.
Mengutip Tempo, SBY menyebut kalau dirinya menentang pikiran itu.
”Kalau ada pikiran apakah mungkin masa jabatan presiden kembali diubah sehingga tidak perlu ada pembatasan, maka seorang SBY akan menolak dan menentang pikiran itu,” kata SBY yang disampaikan dalam pidato sambutan peringatan Hari Konstitusi di gedung DPR.
SBY menambahkan: “Ada presiden yang dipilih berulang sampai enam kali. Pelajarannya: kekuasaan yang begitu langgeng menimbulkan permasalahan dan tidak baik di kehidupan bernegara,” ujar Yudhoyono.
Sementara kali ini, Jokowi melalui Jubir Presiden Fadjroel Rachman mengatakan Jokowi setia terhadap amanat konstitusi. Dia menegaskan Jokowi menolak wacana presiden tiga periode beberapa kali.
Penegasan Presiden Jokowi menolak wacana presiden tiga periode, yang pertama pada 12/2/2019.
“Ada yang omong presiden dipilih tiga periode itu, ada tiga (motif) menurut saya. Satu, ingin menampar muka saya, yang kedua ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Yang ketiga, ingin menjerumuskan. Itu saja,” kata Jokowi seperti disampaikan Fadjroel.
Kemudian Jokowi, kata Fadjroel, juga pernah menyampaikan tidak berniat menjadi presiden selama tiga periode.
“Yang kedua, pada 15/3/2021, Pak Jokowi bilang, saya tidak ada niat, tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanahkan dua periode, itu yang harus kita jaga bersama. Janganlah membuat gaduh baru, kita sekarang fokus pada penanganan pandemi’,” kata Jokowi seperti disampaikan Fadjroel.