Politik

Ide Konyol Jokowi-Prabowo vs Kotak Kosong di 2024, Apalagi yang Dicari?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Pertemuan Prabowo Subianto dan Joko Widodo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu (13/07/19). Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Wacana memasangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di Pilpres 2024 muncul. Ide itu dilontarkan dan didukung Direktur Indo Barometer M Qodari.

Qodari menjelaskan bahwa pilpres di era sekarang, terutama sejak Pilpres 2014, berbeda dengan Pilpres 2004 atau Pilpres 2009. Terkait duet Jokowi-Prabowo di 2024, ia menyebut imbasnya akan mengarah ke pembahasan masa jabatan presiden hingga amandemen UUD 1945.

Menurut Qodari, konstelasi dan dukungan politik yang ada saat ini justru memungkinkan duet Jokowi-Prabowo menghadapi kotak kosong di Pilpres 2024 mendatang. Ia pun membeberkan bahwa melawan kotak kosong justru bisa mengubah tensi politik yang dulunya naik, kini menurun.

“Menurut saya melawan kotak kosong akan sangat, sangat, sangat menurunkan tensi politik secara signifikan,” kata Qodari dalam Webinar Nesia Constitution, dikutip Senin (12/4/21).

Panasnya tensi politik tak lepas dari persaingan dua kubu atau lebih, yang ingin jadi pemenang di pilkada atau pilpres. Qodari mengatakan bahayanya isu polarisasi dalam beberapa gelaran pilkada, termasuk Pilpres 2019, yakni bisa memecah belah persatuan Indonesia.

“Misalnya ada coretan di masjid yang bernuansa SARA, saya ingat waktu itu saya merinding. Kemudian bahkan ada fenomena warga meninggal dilarang disalatkan karena mendukung Ahok,” ujarnya.

Qodari melihat kemungkinan akan munculnya koalisi besar yang mendukung duet Jokowi-Prabowo di 2024. Bahkan PAN, yang saat ini berada di luar pemerintahan, bisa saja bergabung ke koalisi dan mendukung pemerintah.

“Saya berani mengatakan bahwa pasangan Jokowi Prabowo 2024 itu akan didukung oleh koalisi yang besar… yang ini yang tidak resmi ini karena PAN belum di dalam pemerintahan tapi mungkin sebentar lagi masuk.”

Menurut Qodari, peluang PAN masuk pemerintahan tak lepas dari kabar yang beredar soal perubahan sejumlah badan dan peleburan kementerian. Misalnya, kata Qodari, seperti BPKM yang akan berubah menjadi Kementerian Investasi dan Kemenristek yang akan dilebur ke Kemendiknas.

“Ini bisa jadi pintu reshuffle dan PAN bisa masuk. Kalau ini terjadi, maka Jokowi-Prabowo akan berhadapan dengan kotak kosong.”

Qodari sebetulnya pernah membahas wacana duet Jokowi-Prabowo di 2024 ini pada Maret 2021 lalu. Saat itu, ia menilai, jika duet Jokowi-Prabowo terjadi di di Pilpres 2024, maka hal itu dinilai bisa mengurangi polarisasi dan ketegangan dalam masyarakat.

“Hemat saya, dengan pasangan Jokowi Prabowo 2024, maka kemudian potensi polarisasi ketegangan risiko konflik dan pertarungan yang bisa kemudian menjadi pertumpahan darah itu akan jauh berkurang,” kata Qodari kepada wartawan, Kamis (18/3/21).

Qodari saat itu mengingatkan bahwa ancaman terbesar bangsa Indonesia adalah polarisasi di masa pemilu. Ia mencontohkan kerusuhan yang terjadi terkait keberlangsungan Pemilu AS 2020 lalu.

“Hal semacam itu menurut saya harus jadi pelajaran yang luar biasa bagi bangsa kita, karena AS yang sudah hampir 245 tahun berdiri status ekonominya begitu tinggi, pendidikannya juga begitu tinggi bisa sedemikian terbelah. Dan bukan mustahil hal semacam itu atau yang lebih buruk lagi di Indonesia,” ucapnya.

Menduetkan Jokowi-Prabowo di 2024 Disebut Ide Konyol

Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bakir Ihsan menilai tak bisa serta merta memasangkan Jokowi dan Prabowo di Pilpres 2024, dengan dalih atau keinginan agar tak ada polarisasi di tataran masyarakat. Menurut Bakir, ada hal yang lebih luas dari hanya sekadar polarisasi politik.

“Mendorong Jokowi-Prabowo untuk meredam polarisasi adalah logika simplistis. Ia hanya melihat polarisasi sebagai faktor tunggal kekuasaan,” kata Bakir saat dihubungi Asumsi.co melalui sambungan telepon, Selasa (13/4).

Menurut Bakir, polarisasi politik tidak terlepas dari irisan-irisan kepentingan yang berlangsung di antar elite dan berkelindan dengan beragam keinginan (kekecewaan) masyarakat.

Justru, lanjutnya, dengan mendorong Jokowi-Prabowo secara tidak langsung menjustifikasi polarisasi pada faktor tunggal dan merawat polarisasi itu sendiri.

Menurut Bakir, alangkah lebih baik kalau ruang kontestasi politik dibuka seluas-luasnya bagi banyak tokoh nasional potensial. Sebab, masyarakat tentu saja butuh pembaharuan kepemimpinan dan dengan banyaknya sosok yang tampil, tentu saja masyarakat jadi banyak pilihan.

“Oleh karena itu, untuk meretas polarisasi adalah dengan membuka ruang kompetisi yang lebih terbuka dengan calon yang lebih banyak. Di sinilah peran penting partai politik untuk menjadi jembatan bagi irisan-irisan kepentingan di ranah sosial,” ujarnya.

Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyebut tak perlu ada wacana menduetkan Jokowi dan Prabowo di 2024. Menurutnya, kiprah Jokowi sebagai presiden sudah selesai di 2024 nanti karena masa jabatannya sudah dua periode sesuai konstitusi.

“Itu konyol. Pernyataan yang tak etis untuk dibahas. Rakyat sudah makin susah. Malah akan terpolarisasi,” kata Ujang saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (13/4).

Menurut Ujang, rakyat akan marah kalau sampai muncul isu perpanjangan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Sehingga, menurutnya, rakyat sama sekali tak butuh amandemen UUD 1945 untuk mengutak-atik jabatan presiden tersebut.

Ujang menolak duet Jokowi dan Prabowo di 2024 dengan berbagai skema, entah itu Jokowi sebagai capres dan Prabowo sebagai capres, atau sebaliknya Prabowo sebagai capres dan Jokowi sebagai cawapres.

“Tak etis saja, Jokowi jadi presiden dua periode, lalu jadi wakil presidennya Prabowo. Pernah jadi bos lalu jadi anak buah. Jokowi juga tak akan mau. Karena turun derajat,” ucapnya.

Di sisi lain, Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio justru merasa heran dengan dukungan Qodari terhadap duet Jokowi-Prabowo di 2024. Menurut Hendri, ada potensi demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dengan gagasan tersebut.

“Nah kalau Qodari, menurut saya, saya nggak tahu ya ide apa yang membuat dia mencoba untuk menjadikan Indonesia kembali terpuruk seperti masa-masa orde baru dari sisi demokrasi,” kata Hendri kepada Asumsi.co, Selasa (13/4).

Menurut Hendri, kondisi yang sudah ada sekarang, justru sudah sangat baik sekali. Indonesia, kata Hendri, tidak pernah kekurangan stok pemimpin. Ia malah miris melihat berbagai pihak yang menginginkan Jokowi menjabat selama tiga periode.

“Kasihan Pak Jokowinya dituduh-tuduh seperti ingin tiga periode. Kalau kita semua tidak setuju presiden tiga periode, Pak Jokowi juga tidak akan setuju karena Jokowi adalah kita. Jadi saya nggak ngerti ada kekuatan apa yang memaksa atau mendorong Qodari memaksakan ide menghancurkan demokrasi di Indonesia dengan tiga periode itu, sayang sekali sih.”

Hendri mengungkapkan bahwa dari hasil survei Kedai Kopi, Indonesia bertabur pemimpin. Menurutnya, lebih tepat memang Indonesia diteruskan menuju hal yang lebih baik dengan pilihan-pilihan tokoh pemimpin yang ada di masa mendatang.

“Artinya Pak Jokowi sudah banyak melakukan hal baik dan akan sangat lebih baik lagi bila kemudian diteruskan oleh penggantinya dan seterusnya dan seterusnya. Jadi ide atau pemaksaan atau usulan Pak Qodari ini bisa menghancurkan Indonesia lebih dalam lagi. Jadi kan dia ada alasan-alasannya, tapi kalau kemudian tiga periode diizinkan melawan kepatutan, itu akan menghancurkan Indonesia lagi menurut saya.”

Jika Jokowi-Prabowo vs Kotak Kosong di 2024, Bagaimana dengan UU Pemilu?

Wacana duet Jokowi-Prabowo di Pilpres 2024 juga ditanggapi anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Ia menyebut Undang-undang Nomor 7 Tentang Pemilu memiliki semangat menolak munculnya satu paslon dalam Pilpres, terutama Pasal 229.

Pasal 229(2) KPU menolak pendaftaran Pasangan Calon dalam hal: pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu; atau pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan partai politik Peserta Pemilu yang mengakibatkan gabungan Partai Politik Peserta Pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan Pasangan Calon.

“Jadi kalau dilihat dari Pasal ini, partai politik yang mengusung calon itu baru bisa diterima pendaftaran pasangan calonnya kalau masih memungkinkan partai politik lain untuk mengusung pasangan presiden dan wakil presiden yang lain. Jadi, semangatnya sebenarnya UU No. 7 2017 tidak menghendaki adanya pasangan calon tunggal. Atau hanya satu pasangan calon yang menjadi peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden,” kata Titi kepada wartawan, Selasa (13/4).

Meski begitu, Titi mengatakan UU No. 7 Tahun 2017 ini memang masih memungkinkan paslon capres cawapres hanya satu pasangan saja, seperti penjelasan dalam Pasal 235. Berikut bunyinya:

Pasal 235(4) Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon, KPU memperpanjang jadwal pendaftaran Pasangan Calon selama 2 (dua) x 7 (tujuh) hari.(5) Dalam hal partai politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi syarat mengajukan Pasangan Calon tidak mengajukan bakal Pasangan Calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti Pemilu berikutnya.

“Jadi pasal 235 ini pada intinya kalau ada partai politik yang belum mengusung pasangan calon sementara partai politik itu bergabung dia bisa mengusung pasangan calon, maka partai-partai politik itu dikenai sanksi di pemilu berikutnya,” ujarnya.

“Mau tidak mau, partai politik itu harus mengusungkan pasangan calon. Di sinilah potensi terjadinya kongkalikong.”

“Tapi sekali lagi preseden buruk bagi demokrasi kita, mengingat kita yang multipartai, perjuangan reformasi, ruang insklusif sangat anomali dan kemunduran kalau di tengah keragaman politik kita, bangsa besar, pemilih besar, partai politik yang multipartai tapi calonnya hanya satu pasangan calon.”

Share: Ide Konyol Jokowi-Prabowo vs Kotak Kosong di 2024, Apalagi yang Dicari?