Foto: Samuel Corum/Getty Images
Ribuan pendukung Donald Trump berkumpul di Washington DC memprotes upacara peresmian hasil pemilu yang memenangkan Joe Biden. Hanya, bukan saja melakukan aksi protes di depan gedung kongres Capitol Hill, mereka merangsek masuk ke dalam gedung tempat para senator dan Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence berkumpul.
Para pendukung Trump yang semuanya berkulit putih ini merobohkan barikade, mendorong barisan petugas keamanan, dan memecahkan kaca-kaca jendela. Empat orang tewas dalam kerusuhan: satu ditembak oleh polisi dan tiga karena mengalami kedaruratan medis.
Ini bukan sekadar aksi protes, kata sejumlah media internasional. Ini adalah upaya kudeta. Mereka mencoba memboikot hasil pemilihan umum—merusak konstitusi dan proses pemilihan suara.
Apa yang terjadi di Washington DC tidak hanya terbentuk dalam semalam. Selama proses pemilihan umum, Donald Trump menggembor-gemborkan bahwa ia akan menang telak. Ia memamerkan hasil perhitungan suara belum final yang menunjukkan ia memimpin dari Biden. Ia kemudian mengklaim tanpa bukti bahwa ada kecurangan perhitungan setelah hasil final menunjukkan bahwa ia kalah.
Semua klaim kosong itu ia bagikan salah satunya lewat akun Twitter-nya yang diikuti oleh 80 juta orang. Cuitan-cuitannya yang berisikan disinformasi tidak pernah diturunkan oleh Twitter—melainkan hanya ditandai oleh keterangan seperti “this claim about election fraud is disputed” untuk cuitan yang mengklaim kecurangan perhitungan suara atau “election officials have certified Joe Biden as the winner of the US Presidential election” untuk klaim kemenangan Trump.
Baru hari ini, setelah kerusuhan pecah di Capitol, Twitter mengambil tindakan. Akun Twitter Trump digembok selama 12 jam setelah ia bilang “I love you” kepada para pemrotes dan menyebut mereka sebagai “patriot”. Jika Trump tidak menghapus cuitan-cuitan tersebut, Twitter memperingatkan akan menghapus akunnya secara permanen.
Tindakan Twitter ini diikuti oleh Facebook yang menangguhkan akun Donald Trump selama 24 jam dan Youtube yang menghapus video Trump memuji tindakan para pendukungnya.
Kegagalan Media Sosial Menindak Figur Politik
Langkah platform-platform media sosial untuk meredam disinformasi dan glorifikasi terhadap kekerasan ini terbilang maju jika dibandingkan dengan 4-5 tahun lalu, ketika media-media sosial membiarkan disinformasi terkait kampanye pemilihan umum berseliweran. Dulu, Facebook bahkan sempat menolak untuk mengakui bahwa kabar-kabar palsu yang beredar selama kampanye pemilu 2016 telah berkontribusi terhadap kemenangan Trump.
Tapi, apakah sekadar mencantumkan label peringatan di konten-konten yang menyebarkan informasi palsu cukup?
Mengantisipasi pemilihan umum Amerika Serikat November lalu, platform media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram memang memperketat kebijakannya untuk mengantisipasi lonjakan misinformasi dan disinformasi yang bertujuan untuk menindas pemilih dan mendeligitimasi hasil pemilihan. Mereka menghapus konten yang melanggar kebijakan mereka, memberikan label, dan mengarahkan pengguna media sosial ke sumber terpercaya.
Sejumlah platform juga berusaha mengurangi pengguna untuk berinteraksi dengan postingan yang mengandung disinformasi dengan menurunkan peringkat mereka dalam algoritma atau membatasi penyebarannya. Ada juga yang membentuk pusat informasi yang memberikan detail kepada calon pemilih tentang kapan, di mana, dan bagaimana pemilihan berlangsung. Konten-konten dengan intensi berkampanye politik juga dibuat lebih transparan.
Namun, semua upaya itu tampak tak berlaku bagi figur politik. Laporan Civil Rights Audit pada Juli 2020 menemukan bahwa pelaku voter suppression terbesar di Amerika Serikat adalah politisi. Pemimpin-pemimpin politik juga punya kemungkinan lebih besar untuk memantik kekerasan dibandingkan pengguna media sosial biasa. Namun, Human Rights Watch menyorot platform seperti Twitter dan Facebook tidak secara konsisten menghapus atau melabeli postingan-postingan figur politik ini karena dianggap sebagai konten yang “layak diberitakan” dan punya “kepentingan publik”.
Jikapun telah diberikan label dan ditindaklanjuti, langkah mereka dinilai terlambat. Postingan-postingan ini seringkali telah keburu viral sebelum platform media sosial berhasil memperlambat distribusi misinformasi dan disinformasi tersebut. Ada pula konten-konten yang telah ditandai oleh pihak ketiga pemeriksa fakta, tetapi luput dari radar platform. Laporan dari kumpulan masyarakat sipil, misalnya, menemukan bahwa Facebook telah gagal menindaklanjuti ratusan postingan mengandung disinformasi yang telah mendapatkan jutaan impresi.
Persoalan lainnya, publik tidak pernah tahu pasti seberapa efektif kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh platform media sosial dalam menangkal disinformasi, ujaran kebencian, ataupun hasutan untuk melakukan kekerasan.
Di satu sisi, ada beberapa contoh kasus yang telah diteliti oleh sejumlah lembaga. Election Integrity Partnership, misalnya, menganalisis salah satu cuitan Trump yang mengklaim kecurangan pemungutan suara lewat pos. Hasil analisis menunjukkan bahwa pelabelan pada postingan Trump telah secara drastis mengurangi interaksi, meskipun terlambat karena cuitan itu telah di-retweet dan di-like puluhan hingga ratusan ribu kali. Ada juga penelitian oleh Mena (2019) yang memberikan bukti empiris bahwa pemberian label akan membuat orang lebih enggan untuk menyebarkannya.
Namun, di sisi lain, platform-platform media sosial tidak mengeluarkan laporan yang membuktikan secara konkret dampak dari usaha mereka. The Washington Post telah mencoba untuk meminta data ini kepada Facebook, Twitter, dan Youtube, tetapi tak ada yang bersedia memberikan akses. Youtube mengatakan bahwa mereka belum dapat menarik kesimpulan, sementara Twitter mengakui mereka belum tahu pasti. Facebook pun mengarahkan pada hasil penelitian Mena yang bukan merupakan data aktual.
Transparansi ini pula yang didesak oleh Human Rights Watch. Mereka meminta platform media sosial dapat memberikan akses data kepada peneliti dan mempublikasikan laporan transparansi yang lebih komprehensif. Contohnya, tentang berapa banyak konten disinformasi yang luput mereka hapus atau berikan label, seberapa efektif platform dalam memberikan informasi benar kepada penggunanya, dan bagaimana mereka mengukur dampak dari upaya memperlambat penyebaran disinformasi dengan mengurangi amplifikasi lewat algoritma.
Satu hal yang perlu diingat: pengaruh dari kebijakan yang diambil oleh platform ini juga tidak akan berhenti di Amerika Serikat. Presiden Filipina Rodrigo Duterte memanfaatkan Facebook sebagai senjata untuk memenangkan pemilu hingga menindas lawannya. Taktik serupa juga dimanfaatkan oleh Perdana Menteri India Narendra Modi dan terlihat pula polanya di pemilu Indonesia dalam dua periode terakhir.
Kita mungkin perlu berprasangka baik bahwa platform media sosial telah belajar dari kesalahan mereka di masa lalu. Bahwa disinformasi yang berujung pada genosida terhadap kelompok Muslim Rohingya di Myanmar tidak akan terulang kembali. Namun, bagaimana itu bisa jadi jaminan, ketika ribuan kelompok sayap kanan pendukung supremasi kulit putih dan neo-Nazi baru saja berhasil menggeruduk Capitol untuk menggagalkan hasil perhitungan suara yang sah?
Baca juga: Panduan Memahami Kerusuhan Capitol Hill