Bisnis

Reformasi Pajak Mulai 2022, Apa yang Jadi Catatan?

Ilham — Asumsi.co

featured image
unsplash

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, akan melakukan reformasi perpajakan di Indonesia untuk memulihkan ekonomi akibat pandemi. Seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan beberapa waktu lalu.

“Untuk memperkuat kemandirian dalam pembiayaan pembangunan, kita perlu meneruskan reformasi perpajakan,” kata Jokowi, Senin (16/8/2021)

Untuk itu, Sri Mulyani akan melakukan konsolidasi dan penyehatan APBN adalah dengan peningkatan pendapatan negara, terutama di bidang pajak. Sehingga reformasi di bidang perpajakan merupakan agenda penting yang harus dilakukan.

Apalagi pemerintah menargetkan penerimaan pajak tahun depan sebesar Rp1.262,92 triliun atau meningkat 10,5% jika dibandingkan outlook penerimaan tahun ini yang sebesar Rp1.142,5 triliun.

“Dua hal penting di dalam reformasi perpajakan yang tidak boleh ditinggalkan adalah reformasi di bidang kebijakan dan reformasi di bidang administrasi perpajakan, terutama di dalam menghadapi shock saat ini akibat Covid-19, namun juga karena munculnya revolusi teknologi,” ujar Menkeu secara daring dalam DJP IT Summit 2021, Rabu (18/8).

Sri Mulyani berpendapat, kegiatan ekonomi yang tanpa batas menyebabkan kompleksitas di dalam membuat kebijakan dan administrasi perpajakan. Adanya teknologi digital juga memunculkan kerumitan dalam pengadministrasian perpajakan. Risiko lain adalah bagaimana data, privasi, dan kerahasiaan bisa terancam.

“Dengan akses data yang luar biasa dan data set yang dimiliki, yang begitu besar, yang berasal dari laporan Wajib Pajak itu merupakan suatu lahan yang begitu sangat besar bagi kita untuk bisa memahami kehidupan ekonomi dan bahkan sosial masyarakat dan bagaimana kita bisa mendesain policy yang baik. Tidak melulu hanya bagaimana kita memungut pajak,” ujar Sri Mulyani.

Perekonomian Indonesia terus berubah karena berbagai macam faktor, seperti shock pandemi, digital ekonomi, dan globalisasi. Menkeu berharap DJP dapat meningkatkan kualitas pelayanannya dengan mengakses, mengolah, dan memanfaatkan data yang begitu banyak.

Digitalisasi Perpajakan

Senada dengan Menkeu, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, reformasi perpajakan akan lebih difokuskan pada ekstensifikasi atau perluasan basis pajak.

“Dengan menggunakan sistem teknologi dan informasi, pemerintah berharap bisa menjangkau pihak yang selama ini belum membayar pajak karena belum terintegrasi ke dalam sistem Direktorat Jenderal Pajak,” katanya

Mengutip dari Antara, Yustinus berpendapat percerpatan reformasi harus dilakukan, kalau tidak negara kita akan mengalami defisit mencapai 3%.

“Kenapa Presiden Jokowi menekankan soal reformasi perpajakan, jika tidak, kita akan masuk ke defisit di bawah 3 persen lagi,” kata Yustinus, Senin (23/8/2021)

Yustinus mengatakan pemerintah telah melakukan reformasi perpajakan secara berkelanjutan mulai tahun 1983, 2001, 2004, dan 2006, yang dilanjutkan pada 2017.

“Apabila RUU KUP disahkan tahun depan, Prastowo memastikan pemerintah tidak akan memungut pajak yang akan membebani masyarakat yang masih berusaha pulih dari pandemi Covid-19.

“Misalnya kenaikan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan beberapa tarif yang lain, itu bisa digeser, ditangguhkan, sampai pandemi berakhir dan ekonomi sudah mulai pulih,” ucapnya.

Baca Juga: Pajak Untuk Konglomerat Naik 5%, Pengamat: Masih Terlalu Kecil

Dari segi administrasi perpajakan, pemerintah menargetkan akan menyelesaikan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan atau core tax administration system pada tahun 2023 mendatang. Pembaruan sistem ini sudah dilakukan sejak tahun 2020 kemarin.

Menurutnya, pembaruan sistem ini akan mengintegrasikan semua sistem pada Direktorat Jenderal Pajak. Di samping itu, juga akan mengintegrasikan sistem tersebut dengan Wajib Pajak dan berbagai instansi terkait lain.

“Dan harapannya nanti memang untuk membuat pelayanan lebih mudah dan pengawasan lebih efektif. Wajib Pajak juga bisa lebih efisien dalam menjalankan kewajiban perpajakannya,” imbuhnya.

Reformasi Pajak Jangan Sampai Blunder

Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira memberikan saran agar reformasi pajak yang dilakukan oleh pemerintah tidak blunder bagi pemulihan ekonomi.

Ia mengatakan tujuan reformasi pajak yang ideal dicapai adalah peningkatan kepatuhan wajib pajak kakap yang selama ini sudah diberi fasilitas tax amnesty tahun 2016, tapi belum juga terjadi kenaikan kontribusi signifikan pada penerimaan pajak. Berikutnya soal tujuan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan antara kelompok masyarakat kelas atas dan kelas bawah yang semakin lebar disaat pandemi Covid-19.

“Reformasi perpajakan juga sebaiknya diarahkan kepada pencegahan penghindaran pajak antar negara serta mendorong target mengurangi emisi karbon secara signifikan,” katanya pada Asumsi.co, Selasa (24/8/2021).

Oleh karena itu, penerapan pajak karbon yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) pasal 44G perlu diprioritaskan. Dalam jangka pendek, menurut Bhima, pemerintah bisa berfokus mengenakan pajak karbon untuk hulu industri ekstraktif yang menghasilkan emisi karbon, seperti pertambangan.

“Sementara penerapan pajak karbon ke masyarakat sebaiknya dilakukan secara hati-hati dengan menimbang daya beli per kelompok masyarakat,” imbuhnya.

Catatan untuk Reformasi Pajak

Menurutnya pasal 44G terkait pajak karbon perlu didukung dengan adanya roadmap dan fokus di jangka pendek pada penerapan pajak karbon di sektor hulu yang menghasilkan emisi karbon seperti pertambangan, migas, dan industri ekstraktif lainnya.

Selain itu, penambahan golongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi juga perlu diprioritaskan untuk meningkatkan tarif pajak bagi orang berpenghasilan tinggi.

“Penghasilan Rp 5 miliar dikenakan tarif pajak sampai 45%. Dari kenaikan tarif PPh orang pribadi, peningkatan kepatuhan dan pendataan wajib pajak yang valid akan menghasilkan dampak ke penerimaan pajak secara besar. Andaikan UU PPh nya diloloskan maka tidak perlu Pemerintah bahas soal PPN ke sembako.

Di samping itu, Pasal 31F Penerapan Alternative Minimum Tax /pajak minimum diperlukan untuk mencegah praktik penghindaran pajak perusahaan-perusahaan asing.

“Selama ini ada perusahaan yang sengaja mencatat rugi di laporan keuangan sebagai trik menghindari pembayaran PPh badan misalnya. Yang masih perlu didiskusikan adalah apakah cukup tarif minimum 1%?” katanya.

Baca Juga: Mengapa Wajib Pajak Jangan Sampai Telat Lapor SPT?

Begitu juga pada pasal 44F perubahan UU Cukai menjadi semangat utama memperluas basis barang yang dikenakan cukai. Secara existing objek kena cukai hanya rokok, alkohol dan etil alkohol. Padahal barang lain yang berisiko bagi kesehatan maupun lingkungan hidup banyak yang perlu dikendalikan.

“Selama ini sulit sekali pemerintah memperluas BKC (barang kena cukai) baru, maka hanya dengan adanya Peraturan pemerintah tanpa revisi UU, kedepannya barang kena cukai bisa didorong lebih banyak. Misalnya minuman berpemanis yang punya efek ke kesehatan idealnya dikenakan cukai juga,” katanya.

Sementara bagian yang seharusnya tidak perlu dimasukkan kedalam revisi UU KUP adalah Pasal 44E terkait perubahan UU PPN dimana bahan kebutuhan pokok, layanan pendidikan dan kesehatan sebagai objek PPN sangat berisiko menurunkan daya beli masyarakat.

“Momentumnya juga tidak pas, karena pemulihan daya beli tidak merata disemua kelompok. Misalnya beras premium mau dikenakan tarif PPN 10%, bagaimana dampak terhadap petani yang sulit membedakan mana beras premium dan beras biasa? Pendataan soal bahan makanan juga selama ini masih bermasalah sehingga pengawasan menjadi lebih sulit dilapangan. Dimohon sekali pembahasan pengecualian objek PPN didrop saja dari RUU KUP karena kontradiksi terhadap pemulihan ekonomi yang ditarget 5-5,5% pada 2022,” katanya.

Ia juga menilai pasal 37 terindikasi akan adanya Tax Amnesty jilid ke-2 yang ingin dilakukan Pemerintah. Rujukan pasal-per pasal ke UU Pengampunan Pajak 2016 jadi indikasi kuat adanya pengampunan kembali. Padahal terlalu sering melakukan tax amnesty justru menurunkan tingkat kepercayaan wajib pajak.

“Sekali diberi tax amnesty, maka wajib pajak yang nakal akan menunggu tax amnesty berikutnya. Ini kontraproduktif terhadap komitmen paska tax amnesty untuk menegakan kepatuhan pajak bagi wajib pajak yang tidak memanfaatkan tax amnesty 2016 lalu,” katanya.

Ia juga meminta Pasal 17b berkaitan dengan penurunan tarif PPh badan menjadi 20% di 2022 dan 17% untuk perusahaan yang go public perlu dievaluasi kembali. Untuk meningkatkan daya saing, apakah penurunan tarif PPh badan ini efektif? Jawabannya belum tentu.

“Dari studi yang dilakukan di Singapura, keputusan perusahaan memiliki kantor akuntansi dan perpajakan di Singapura bukan hanya masalah tarif pajak yang rendah. Tapi kepastian regulasi dan keamanan menjadi faktor paling krusial,” katanya.

Disisi lain, ia mengkhawatirkan penurunan tarif PPh badan justru akan menggerus rasio pajak pada 2022. Sejauh ini sudah banyak perusahaan besar menikmati insentif perpajakan dalam bentuk tax allowances dan tax holiday, ditambah insentif disaat pandemi Covid19.

“Untuk apa lagi diberikan penurunan tarif sampai 17%?”pungkasnya.

Share: Reformasi Pajak Mulai 2022, Apa yang Jadi Catatan?