Politik

Dimensi Politik Pengelolaan Riset di Indonesia Saat Ini

Edbert Gani — Asumsi.co

featured image
Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden - Biro Kerja Sama dan Komunikasi Publik, Kemenristek/BRIN

Dari UU ITE kita belajar bahwa sebuah kebijakan yang diawali dengan semangat teknokratis, dapat berujung pada bencana bagi demokrasi dan kebebasan*.

Saya membaca beberapa ungkapan kekecewaan dari kalangan akademisi maupun peneliti terkait keputusan pemerintah melebur Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sehingga menjadi Kemendikbud-Ristek (sebuah akronim yang panjang memang). Tak sedikit kritikus yang melihat bahwa peleburan dua kementerian di atas sebagai akibat dari keinginan presiden untuk membentuk Kementerian Investasi. BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang menjadi amanat dari UU No.11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) sekarang menjadi badan otonom. BRIN normalnya akan berlaku sebagai pelaksana kegiatan litbangjirab (penelitian, pengembangan, dan pengkajian penerapan).

Yanuar Nugroho, dalam sebuah tulisan, menjelaskan secara elaboratif bahwa meleburkan Kemenristek menjadi satu dengan Kemendikbud akan berdampak pada terlalu gemuknya tugas Kementerian tersebut sehingga dipastikan geraknya akan lambat. Tata kelola pendidikan dasar, pendidikan tinggi, dan dunia riset perlu dipisahkan karena masing-masing memiliki prioritas dan cara kerja yang jauh berbeda. Untuk itulah, di berbagai negara, tugas tersebut dipisahkan dalam beberapa kementerian berbeda sehingga hulu sampai dengan hilir dunia akademik bisa bergerak secara paralel.

Baca juga: Dua Kementerian di Bawah Nadiem Makarim, Seperti Apa Kerumitannya? | Asumsi

Di samping isu tata kelola yang menjadi ruwet, atensi publik tampaknya juga mengarah pada isu politik dari penentuan Ketua Dewan Pengarah BRIN yang diberikan pada elit partai politik terbesar saat ini. Isu riset yang lebih banyak soal bagaimana membangun ekosistem penelitian dan inovasi yang baik ditarik pada isu politik dan juga pembahasan soal ideologi. Konteks ini punya implikasi yang tidak kalah penting dibanding soal tata kelola BRIN itu sendiri.  Untuk bisa melacak risiko yang mungkin terjadi, ada baiknya kita kembali pada apa yang tertuang dalam UU Sisnas Iptek.

Tahun lalu, dalam sebuah commentary yang diterbitkan oleh CSIS, saya sudah merangkum beberapa catatan penting terkait UU Sisnas Iptek yang bisa menjadi kontra produktif bagi inovasi. Pertama adalah pada soal perizinan riset. UU tersebut mengatur soal penelitian yang dianggap berisiko tinggi dan berbahaya. Dalam pembahasan sebelum disahkan, kalangan periset sosial banyak mempersoalkan pasal tersebut. Definisi dari berisiko tinggi bisa menjadi halangan bagi penelitian-penelitian yang sensitif secara politik. Mereka yang melakukan penelitian yang dianggap berbahaya tanpa mendapatkan izin terancam hukuman satu tahun penjara.

Catatan kedua ialah terkait sanksi pidana bagi peneliti asing yang tak mendapatkan izin. Sanksi pidana tentu menjadi disinsentif bagi kolaborasi penelitian dengan komunitas internasional. Sudah menjadi hal lumrah dalam dunia akademik bahwa pertukaran ide dan gagasan antara peneliti dari berbagai mancanegara ialah hal positif yang patut didorong. Persoalan kepentingan nasional, dengan demikian, perlu untuk dilihat secara proporsional agar tidak justru menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dengan menutup diri. Dengan dimasukkannya unsur politik ke dalam BRIN, risiko-risiko di atas perlu dimitigasi secara serius oleh kelompok epistemik riset.

Aturan turunan dari UU Sisnas Iptek akan menjadi lahan utama untuk memastikan adanya jaminan pada keterbukaan Indonesia pada pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi. Pengawalan secara strategis perlu dilakukan, mengingat proses pembuatan peraturan pemerintah lebih bersifat birokratis di mana ruang partisipasi biasanya sangat terbatas. Tak dapat disangkal pula bahwa beberapa aturan turunan dari UU Sisnas Iptek sangat diperlukan bagi dunia riset saat ini, seperti  RPP Penyelenggaraan Iptek dan RPP Sumber Daya Iptek.

Fokus dalam membangun ekosistem riset sebenarnya telah tertuang dengan cukup komprehensif dalam dokumen ‘Cetak Biru Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi di Indonesia’ (EPI) yang diterbitkan oleh tiga kementerian, yaitu Kemenristek/BRIN, Bappenas dan Kementerian PAN-RB. Terdapat beberapa acuan dasar soal strategi dan fokus riset nasional yang rasanya cukup untuk menjadi acuan utama.

Baca juga: Swafoto Bareng Megawati, Isyarat Nadiem Aman dari Reshuffle? | Asumsi

Cetak biru tersebut menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam jangka pendek, menengah, hingga panjang yang bisa dijawab salah satunya dengan mengelola ekosistem pengetahuan dan inovasi secara baik dan terukur. Saya mengambil setidaknya ada dua tujuan utama dari luaran yang ingin dicapai dari perbaikan pengelolaan riset di Indonesia. Yang pertama ialah untuk mendorong pengambilan kebijakan publik yang berbasis bukti. Sementara tujuan kedua ialah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Ada beberapa catatan terkait dimensi politik di dua tujuan tersebut.

Tujuan pertama mengindikasikan BRIN akan memiliki peran strategis dalam membangun sistem riset yang bertujuan sebagai masukan kebijakan publik, policy oriented research. Penggabungan beberapa fungsi litbangjirab K/L dan juga lembaga non-kementerian dalam BRIN adalah strategi yang diambil negara untuk memastikan integrasi dan koordinasi riset. Tantangan dari integrasi dan sinergi dalam lembaga yang tergabung dalam BRIN ialah (sependapat dengan yang disampaikan oleh Akademi Ilmuwan Muda Indonesia atau ALMI) terbentuknya korporatisme negara yang bisa menjadi alat politik apabila tidak ada sistem merit dan profesionalisme yang bisa dijaga dalam struktur BRIN. Apabila tidak, lembaga yang nantinya tergabung dalam BRIN pada akhirnya tidak akan lebih sebagai pabrik legitimasi kebijakan politik tanpa independensi riset.

Sementara itu, dalam tujuan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, ekosistem riset yang akan coba dibangun nampaknya perlu memberi perhatian lebih pada prinsip keterbukaan dan kolaborasi dengan pihak swasta. Perlu menjadi catatan bahwa peningkatan kuantitas riset atau pun publikasi ilmiah tidak melulu bisa menunjang pertumbuhan ekonomi. Perkembangan teknologi dan inovasi yang berkaitan dengan pertumbuhan selalu berhubungan dengan apakah penemuan tersebut dapat mentransformasi maupun meningkatkan kualitas aktivitas ekonomi. Upaya tersebut sayangnya juga bukan hanya soal teknokratis, melainkan juga politik.

Ekosistem riset yang baik jauh dari cukup untuk menunjang pertumbuhan ekonomi apabila tidak dibarengi dengan mindset yang terbuka dengan perubahan dan kekuatan negara untuk menjaga persaingan usaha yang sehat. Seperti yang juga sudah diidentifikasi dalam EPI, ekonomi Indonesia saat ini membutuhkan transformasi dari yang bentuknya ekstraktif menuju teknologi tinggi. Sudah menjadi problem lama bahwa Indonesia mengidap apa yang disebut para ekonom sebagai the dutch disease, di mana booming di sebuah sektor sumber daya alam menjadi disinsentif untuk perkembangan industri lain seperti manufaktur misalnya. Tidak jarang juga kita mendengar narasi ‘negara kaya dengan sumber daya alam melimpah’ menjadi slogan dan jargon politik paling populer bagi para elit politik yang populis. Orientasi pada penguasaan sumber daya alam juga dekat dengan praktek ekonomi rente yang seringkali dilindungi secara politik dan menjadi masalah dalam menciptakan iklim usaha yang kompetitif. Dengan kata lain, inovasi yang berorientasi ekonomi perlu ditunjang juga oleh kementerian lain selain yang dipimpin Nadiem Makarim.

Pandemi covid-19 memang telah banyak mendisrupsi ekonomi dan politik banyak negara. Beberapa negara lebih memilih untuk berubah menjadi lebih inward-looking karena mengutamakan kepentingan nasional. Ini tentu jadi tantangan bagi negara Indonesia yang masih butuh untuk meraih banyak potensi pertumbuhan ekonomi untuk para pencari kerja yang berlimpah. Pasalnya inovasi tidak datang hanya dengan penemuan, melainkan juga pada peniruan. Replikasi maupun penyempurnaan inovasi bisa terjadi ketika ada semangat keterbukaan dan kolaborasi yang kuat di berbagai level. Tak bisa tidak, dunia riset kita harus terus dijaga dalam semangat ini. Untuk menjaganya tentu merupakan kegiatan politik.


*Untuk riset terkait original intent dari UU ITE silahkan baca di link ini: https://www.csis.or.id/publications/unintended-consequences-dampak-sosial-dan-politik-uu-informasi-dan-transaksi-elektronik-ite-2008

Edbert Gani Suryahudaya adalah peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Share: Dimensi Politik Pengelolaan Riset di Indonesia Saat Ini