Indonesia punya sejarah kekerasan yang panjang terhadap LGBTQIA, atau sering kali disebut queer.
Transgender di Aceh mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian, para politikus berlomba-lomba mengkampanyekan “anti-LGBT” untuk mendulang suara dari masyarakat heteronormatif, belum lagi pemberitaan-pemberitaan di media yang masih bias dan penuh prasangka terhadap queer.
Pada saat yang sama, karya-karya seni populer yang membicarakan tentang queer juga semakin sering bermunculan, meskipun belum banyak.
Di film, terdapat film panjang The Sun The Moon and The Hurricane karya Andri Cung yang mengisahkan proses coming of age laki-laki homoseksual. Ada pula film pendek dan dokumenter seperti Emak dari Jambi karya Anggun Pradesha tentang transgender, dan Calalai: In Betweenness karya Kiki Febriyanti yang membahas lima gender masyarakat Bugis.
Sastra Indonesia pun punya Norman Erikson Pasaribu dengan Sergius Mencari Bacchus dan Clara Ng dengan Gerhana Kembar.
Namun, apa itu sebenarnya karya queer? Apakah identitas seksual mempengaruhi gaya penulisan dan pemilihan bahasa seseorang? Bagaimana bahasa Indonesia yang tidak mengenal gender berpengaruh terhadap karya penulisan yang queer?
Dalam diskusi bertema “Fluid Identity and Writing” yang diadakan oleh JILF (Jakarta International Literary Festival) pada 22/08/19, Hendri Yulius, penulis buku Coming Out, dan Akhil Katyal, penyair India, mengekspresikan pendapat dan pengalaman mereka sebagai penulis queer.
“Kata ganti yang genderless menyediakan ruang bagi penulis untuk mengekspresikan aspek-aspek tertentu dalam queerness,” ujar Hendri, yang juga menamatkan studi di bidang gender dan kajian budaya di Universitas Sydney.
“Penulis queer Indonesia suka memberikan elemen kejutan pada tulisannya. Mereka menggunakan kata ‘ia’ dan ‘dia’ untuk menceritakan kisah asmara antara dua kekasih. Mindset pembaca yang heteronormatif akan menganggap kisah tersebut terjadi antara seorang perempuan dan laki-laki. Barulah di akhir cerita penulis mengungkapkan kedua karakter tersebut adalah laki-laki atau perempuan,” lanjut Hendri.
Berbeda lagi ceritanya dengan bahasa Hindi yang melekatkan gender bahkan pada objek-objek mati. “Kursi itu perempuan, meja itu laki-laki. Kereta itu perempuan, sementara pesawat adalah laki-laki. Kamu bisa menganalogikan kisah asmara dengan dua kursi, yang berimplikasi sebagai hubungan asmara sepasang queer,” ujar Akhil yang juga termasuk dalam penulis “International Writing Fellow” pada International Writing Programme 2016.
Bagaimana Mendefinisikan Karya Queer?
Mengklasifikasikan sebuah tulisan sebagai karya queer tak mudah. Pembaca juga perlu memerhatikan konteks sosial budaya dari tulisan itu sendiri.
Akhil yang menulis dalam bahasa Inggris membacakan puisinya yang berjudul “But Who Will Take Care of You in Your Old Age” dan meminta pengunjung untuk menentukan apakah puisi tersebut queer atau tidak.
“But who will take care of you
in your old age?”
is the only question my parents ask that actually stumps me.
It’s the only one I have stopped finding reasonable-sounding answers to.
I lay down my arms with “I do not know.”
Under my breath, I still refuse to treat love as a retirement policy.
But maybe it is just that. Why should I stud it with moons and stars. Why should I bejewel a simple need.
Maybe all of life does come to “but who will take you to the hospital when you will fall down.”
I foreclose the thought under a violet moon.
“Di satu sisi, pembaca bisa memaknainya sebagai puisi tentang orang yang bertambah tua, tentang rasa rindu dan kehilangan. Namun, di tengah masyarakat yang tak membiarkan orang-orang queer hidup dengan tenang, yang melarang dan merepresi kehadiran mereka, orang-orang queer bisa merasa lebih teralineasi dan kesepian. Puisi ini jadi bisa dianggap sebagai puisi queer,” ucap Akhil.
Di India, walaupun aktivitas seksual sesama jenis telah dilegalkan, diskriminasi terhadap orang-orang queer atau LGBTQIA masih terjadi. Orang tua malu mendapati anak mereka homoseksual, orang-orang tak berani mengungkapkan seksualitas mereka ke publik dan berakhir merasa kesepian dan suicidal, ada pula yang masih percaya bahwa homoseksualitas adalah sebuah penyakit dan perlu diobati.
Selain definisi tulisan queer yang amat bergantung pada latar belakang tulisan tersebut, sebuah karya pun tidak hanya dipengaruhi oleh seksualitas dan gender penulisnya, tetapi bersifat interseksional: bergantung pada kelas, warna kulit, kepercayaan, ras secara bersamaan.
Akhil membandingkan pengalamannya tinggal di India dan di luar India. “Tiga tahun lalu, ketika saya tinggal di Amerika Serikat, saya dikenal sebagai penulis India atau penulis kulit coklat. Sementara itu, ketika saya di India, saya dikenal sebagai penulis asal Delhi, penulis queer, atau penulis laki-laki. Queerness adalah satu dimensi kepenulisan kita, tetapi bukan satu-satunya,” lanjut Akhil.
Hendri juga merasakan ada beban yang mesti ia tanggung sebagai seorang penulis queer.”Terkadang kita merasa dibebani untuk merepresentasikan semua kelompok queer. Padahal hal tersebut tidak memungkinkan,” ujar Hendri.
Hal ini pun diamini Akhil. Ia berkata, “kita cenderung menganggap penulis queer sebagai sebuah spesies tertentu yang punya pemikiran seragam, padahal kan tidak begitu.”
Menulis adalah Bentuk Kuasa
Banyak penulis heteroseksual yang mencoba menulis tentang homoseksualitas, penulis cis-gender yang mencoba menulis tentang transgender, atau penulis laki-laki yang mencoba menulis tentang perempuan.
Tak cuma dalam lingkup literatur, ada kecenderungan serupa dalam karya-karya seni di sektor lain. Praktik white washing, aktor kulit putih memerankan karakter non-kulit putih, banyak terjadi di film-film Hollywood.
Ada pula kasus Blue is The Warmest Color, film yang bercerita tentang perempuan homoseksual dan disutradarai oleh Abdellatif Kechiche–seorang laki-laki cis-gender dan heteroseksual. Alih-alih merepresentasikan dan meng-empower perempuan dan homoseksual, Blue is The Warmest Color malah berakhir mengobjektifikasi tubuh perempuan. Bahkan si sutradara dituduh mengeksploitasi aktris-aktrisnya dengan mensimulasikan adegan seks berkali-kali.
Akhil sendiri lebih memilih untuk menuliskan cerita sesuai dengan kapasitas atau pengalaman personal dirinya. “Kita seringkali menemukan penulis laki-laki menganalogikan organ seks perempuan sebagai “bunga yang mengembang,” seperti bunga krisan atau bunga seroja. It’s awful,” contohnya.
Namun, ia mengamini bahwa karakteristik sebuah tulisan tak selalu berkaitan dengan identitas penulisnya. Seorang laki-laki bisa bersifat lebih feminin dari perempuan.
“Helene Cixous, penulis feminis asal Perancis, mendorong perempuan lain untuk menulis tentang diri mereka dan mengajak lebih banyak perempuan untuk menulis. Namun, Helene juga mengatakan bahwa tulisan paling feminin yang pernah ia baca datang dari seorang laki-laki queer,” kata Akhil.
Walaupun tak ada larangan atau batasan untuk menulis dari sudut pandang orang lain, tetapi Akhil menyarankan untuk menulis secara selfless dan hati-hati. “Biasanya, ada relasi kuasa yang membuat seseorang dapat menuliskan pengalaman orang lain, seperti orang heteroseksual menulis tentang orang queer, orang kulit putih menulis tentang orang kulit hitam, dan laki-laki menulis tentang perempuan. Ketimpangan kuasa ini biasanya melahirkan karya yang buruk,” ujar Akhil.
Akhil menceritakan pengalamannya menulis tentang Kashmir, daerah konflik yang menjadi rebutan negara India dan Pakistan.
“Saya orang India. Saya tak punya pengalaman sebagai warga Kashmir yang hidupnya hingga kini dibatasi oleh jam malam. Maka saya memposisikan diri saya sebagai pendengar, bukan mengambil sudut pandang mereka,” tutur Akhil yang kemudian menulis tentang Kashmir dari sudut pandang seorang India yang turut bertanggung jawab terhadap perpecahan yang terjadi di sana.
Hendri punya sudut pandang yang agak berbeda. Ia merasa tak masalah memposisikan dirinya sebagai perempuan, dan mengaku lebih nyaman mengambil sudut perempuan ketika menulis. “Saya mengambil sudut pandang karakter perempuan untuk mengekspresikan hasrat diri saya. Karakter perempuan memberikan saya ruang untuk mengeksplorasi dan mewujudkan rasa yang oleh masyarakat dibatasi kepada laki-laki,” ujar Hendri.
Menurutnya, tak masalah bagi seorang laki-laki untuk menulis dari sudut pandang seorang perempuan. “Toh banyak pula perempuan yang menulis dari sudut pandang laki-laki,” ujarnya. Sebab, menurut Henri, penting pula untuk mengakui perasaan-perasaan personal yang tak selalu politically correct.
Hendri juga menganggap definisi queerness itu sendiri lebih luas dari sekadar identitas seksual dan gender.
“Saya tak mau mengkotak-kotakkan orang dalam label yang kaku. Di Indonesia, banyak praktik seksual, pertemanan, hubungan asmara, dan hubungan-hubungan non-normatif lain yang tak bisa sesederhana dilabeli ‘LGBT’,” tutur Hendri. Menurutnya, pasangan heteroseksual pun dapat dikelompokkan sebagai queer.
Hendri menekankan, “yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menulis dan membaca queerness secara kritis.”