Parlemen Inggris Raya, yang juga dikenal dengan istilah House of Commons, menyetujui proposal bahwa skenario no deal Brexit harus dihindari. Pengumpulan suara dilakukan pada hari Rabu (3/4) sore waktu setempat. Jika House of Lords dan Uni Eropa menyetujui proposal ini, waktu untuk negosiasi Brexit akan kembali diperpanjang.
Dalam kondisinya saat ini, Inggris Raya akan keluar dari Uni Eropa pada tanggal 12 April 2019 jika tidak ditemui kesepakatan seperti apa hubungan kedua belah pihak ke depannya (kondisi no deal Brexit). Jika no deal Brexit terjadi, Inggris Raya dan Uni Eropa akan berhubungan menggunakan peraturan yang ditetapkan oleh World Trade Organization.
Sedangkan jika parlemen Inggris Raya dan Uni Eropa menyetujui kesepakatan pasca Brexit yang ditawarkan Theresa May (kondisi Brexit with a deal), negosiasi terkait kesepakatan tersebut akan dibicarakan hingga tanggal 22 Mei 2019.
Baca Juga: Nasib Brexit Makin Tak Jelas Akibat Suara yang Terpecah
Untuk memitigasi kesepakatan mengenai Brexit yang terus mengalami kebuntuan, Perdana Menteri Theresa May memutuskan untuk berkonsultasi dengan Jeremy Corbyn, pemimpin oposisi yang berasal dari Partai Buruh. Hal ini dilakukan oleh Theresa May untuk mencari kesepakatan seperti apa yang dapat disetujui secara mayoritas di parlemen. Perbincangan diperkirakan akan berlangsung dua hari, dari hari Rabu (3/4) hingga Kamis (4/4) waktu setempat.
Pada hari Rabu, juru bicara perdana menteri mengungkapkan bahwa kedua belah pihak menunjukkan sisi yang fleksibel. Kedua belah pihak juga dinilai memiliki komitmen untuk mengakhiri sesegera mungkin ketidakpastian mengenai Brexit ini.
Ketika diwawancarai BBC pada hari Rabu sore, Jeremy Corbyn menuturkan kalau perbincangan lintas partai ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan seperti yang ia harapkan. Namun, ia tetap optimis dengan perbincangan yang dilakukan ini.
“Perubahan (terkait proposal Brexit Theresa May) yang terjadi tidak sebanyak yang saya ekspektasikan, tetapi kami akan terus melanjutkan diskusi ini besok pagi untuk mengeksplor hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu teknis. Pertemuan berguna, namun belum menemui kesimpulan,” ujar Corbyn pada BBC.
Meski memiliki tujuan yang positif, perbincangan lintas partai ini dikritik oleh beberapa pihak dari pemerintah. Bahkan, dua menteri sudah memutuskan untuk mundur dari jabatannya karena kecewa dengan keputusan Theresa May berunding dengan oposisi.
Chris Heaton-Harris, Menteri asal Departemen Keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Department for Exiting the European Union) memutuskan mundur dari jabatannya. Ia merasa bahwa posisinya semakin tidak relevan jika pemerintah memang tidak ingin bersiap untuk keluar dari Uni Eropa dengan kondisi no deal. Selain itu, Menteri Wales Nigel Adams juga keluar dari jabatannya karena merasa pemerintah akan gagal menghadirkan Brexit selayaknya yang diminta oleh masyarakat. Mundurnya dua menteri ini menambah daftar panjang menteri-menteri yang sudah mundur dari kabinet Theresa May. Tercatat, sudah ada lebih dari 30 menteri yang mundur dari kabinet Theresa May dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun.
Perpecahan di kubu pemerintah semakin terasa jelas seiring Theresa May yang justru berunding dengan oposisi. Sekretaris Brexit, Stephen Barclay, menyalahkan kelompok Hard Brexiteers di kubu pemerintah, yakni kelompok European Research Group, yang dianggapnya sudah mempersulit Theresa May.
Perlu diketahui bahwa kelompok European Research Group ini adalah sekelompok politisi beraliran konservatif yang mengkampanyekan keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa secara keras. Didirikan pada tahun 1993, kelompok ini tidak mewajibkan seluruh anggota parlemen dari Partai Konservatif bergabung. Saat ini, ERG dipimpin oleh Jacob Rees-Mogg, anggota parlemen dari wilayah Somerset Timur Laut.