Isu Terkini

Nasib Brexit Makin Tak Jelas Akibat Suara yang Terpecah

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Sudah dicanangkan sejak 2016, Brexit ternyata masih belum mencapai kesepakatan hingga hari ini. Padahal, hasil referendum pada tanggal 23 Juni 2016 telah memutuskan bahwa Inggris Raya akan keluar dari keanggotaannya di Uni Eropa. Namun, berbagai macam opsi tentang seperti apa hubungan Inggris-Uni Eropa pasca keluar dari Uni Eropa urung disetujui oleh parlemen. Perdana Menteri Inggris Raya saat ini, Theresa May, dan Uni Eropa pun setuju untuk memperpanjang masa negosiasi Brexit ini. Dalam skema yang disetujui, Brexit akan terjadi bila gagasan Brexit milik Perdana Menteri May kembali ditolak parlemen untuk ketiga kalinya. Inggris Raya akan berpisah tanpa aturan apapun yang mengikat (no deal) per tanggal 12 April 2019. Sedangkan bila gagasan Brexit milik May disetujui, proses negosiasi aturan dan legislasi akan berlanjut hingga tanggal 22 Mei 2019.

Ketidakjelasan nasib Brexit ini berangkat dari masalah utama di parlemen, yakni tidak adanya suara mayoritas parlemen mengenai gagasan Brexit. Jika disederhanakan, ada beberapa fraksi yang berbeda pandangan, tetapi tidak ada yang membentuk mayoritas.

Beda Pandangan, Tidak ada Mayoritas

Fraksi pertama adalah kelompok remainers, yakni para anggota parlemen yang terus berusaha agar keputusan referendum diabaikan dan Inggris kembali ke pangkuan Uni Eropa. Kelompok ini juga dikenal dengan istilah pro-Uni Eropa. Mereka mewakili suara masyarakat yang kalah saat referendum. Salah satu poin utama yang dibawa dari kelompok ini adalah mereka mendukung freedom of movement (kebebasan berpindah tempat lintas batas negara) untuk orang, barang, jasa, dan modal yang dicanangkan oleh Uni Eropa. Kebijakan ini didukung karena kebebasan berpindah tempat di seluruh Uni Eropa memiliki arti adanya kesempatan untuk bekerja lebih luas bagi warga Inggris Raya.

Yang terbaru, kelompok remainers melakukan gerakan ‘Cancel Brexit’. Gerakan berlandaskan petisi ini menyuarakan keinginan kelompok remainers untuk bertahan di Uni Eropa dan menon-aktifkan Artikel 50 yang berisikan basis legal terkait pengunduran diri Inggris Raya. Dilansir dari BBC News, per hari Kamis (21/3), sudah lebih dari 2 juta orang yang menandatangani petisi ini.

Fraksi kedua adalah kelompok Brexiteers, yakni orang-orang yang mendukung Inggris Raya keluar dari Uni Eropa secara utuh tanpa ikatan. Kebijakan yang didukung oleh kelompok ini adalah hard brexit, yakni lepasnya keterikatan secara penuh dari Uni Eropa. Mereka tidak menginginkan adanya aturan-aturan baru yang mengikat Inggris Raya dan Uni Eropa sehingga membuat Brexit menjadi percuma. Salah satu kebijakan yang paling didukung oleh kelompok ini adalah penghapusan freedom of movement dari dan ke Uni Eropa. Menurut mereka, kebebasan ini telah mengancam keamanan Inggris Raya.

Kelompok ini juga memiliki pandangan yang bersifat euroscepticism, atau sikap skeptisisme terhadap Uni Eropa. Pandangan ini berangkat dari keengganan mereka untuk melepaskan kedaulatan negara pada elite-elite Uni Eropa yang dianggap tidak dipilih secara demokratis. Opsi kebijakan kelompok ini adalah meninggalkan Uni Eropa dan berhubungan dengan institusi tersebut menggunakan basis aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Fraksi ketiga adalah kelompok yang mendukung Brexit, namun bersifat Soft Brexit. Kelompok ini mendukung keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa, namun juga berharap ada aturan-aturan terikat antara Inggris Raya dan Uni Eropa pasca Brexit. Kelompok ini yakin bahwa ada kepentingan-kepentingan, khususnya di sektor ekonomi, yang akan terkena dampak negatif jika hubungan yang telah terjalin selama puluhan tahun antara Inggris Raya dan Uni Eropa tiba-tiba diselesaikan begitu saja. Salah satunya adalah pengiriman logistik. Tanpa aturan, pengiriman logistik yang sebelumnya dapat keluar masuk dengan mudah akan terhambat di perbatasan Inggris. Hal ini dapat menimbulkan dampak ekonomi yang buruk.

Semakin Terbelah dalam Isu

Selain ketiga kelompok besar ini, ada berbagai pandangan lain dalam skala yang lebih kecil. Biasanya, kelompok ini berlandaskan isu-isu tertentu. Salah satu isu yang terus menjadi perdebatan adalah perbatasan Irlandia dan Irlandia Utara.

Ada perbedaan pandangan terkait isu perbatasan Irlandia tersebut. Ada kelompok yang merasa bahwa Irlandia dan Irlandia Utara harus tetap terbuka, karena meskipun berbeda negara, mereka memiliki keterikatan budaya. Namun, ada juga yang merasa bahwa keterbukaan perbatasan ini dapat berbahaya bagi kesatuan Inggris Raya. Perbedaan-perbedaan yang kompleks ini telah membuat negosiasi Brexit menjadi buntu.

Share: Nasib Brexit Makin Tak Jelas Akibat Suara yang Terpecah