Orang-orang di Myanmar, Minggu (25/4/21), mengkritik kesepakatan antara kepala Junta Militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, dan para pemimpin negara Asia Tenggara untuk mengakhiri krisis di negara yang dilanda kekerasan tersebut. Mereka juga mengatakan bahwa kesepakatan itu justru gagal memulihkan demokrasi dan meminta pertanggungjawaban tentara atas kematian ratusan warga sipil.
Namun, tak ada protes langsung di kota-kota besar Myanmar, sehari setelah pertemuan para pemimpin ASEAN dengan Jenderal Hlaing di Jakarta, Sabtu (24/4/21).
Meski dalam konferensi, Jenderal Hlaing setuju untuk mengakhiri kekerasan ke warga tetapi tak ada peta jalan tentang bagaimana cara mewujudkannya.Akhirnya, kecaman dan kritik terhadap kesepakatan tersebut justru muncul di media sosial.
“Pernyataan ASEAN adalah tamparan di wajah orang-orang yang dianiaya, dibunuh, dan diteror oleh militer,” kata seorang pengguna Facebook bernama Mawchi Tun, seperti dikutip dari Reuters, Minggu (25/4/21).
“Kami tidak membutuhkan bantuan Anda dengan pola pikir dan pendekatan itu.”
ASEAN memang mencapai lima poin konsensus pada pertemuan tersebut. Di antaranya adalah mengakhiri kekerasan, dialog konstruktif di antara semua pihak, utusan khusus ASEAN untuk memfasilitasi dialog, penerimaan bantuan, dan kunjungan utusan ke Myanmar.
Namun, poin yang dibuat justru tak menyebutkan pembebasan tahanan politik. Padahal para pemimpin sipil Myanmar yang partainya memenangkan Pemilu 2020, termasuk Aung San Suu Kyi, telah ditahan sejak 1 Februari 2021 lalu.
Para pemimpin ASEAN menginginkan komitmen Jenderal Hlaing untuk menahan pasukan keamanannya, yang menurut AAAP–sebuah kelompok aktivis Myanmar atau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik–aparat keamanan di sana telah menewaskan 748 orang sejak gerakan perlawanan sipil massal untuk menentang kudeta pecah.
Lebih lanjut, AAPP mengungkapkan bahwa ada lebih dari 3.300 orang ditahan. Bukan hanya politisi, penahanan juga dilakukan pada dokter, akademisi, hingga selebriti yang menentang junta militer.
“Pernyataan tersebut tidak mencerminkan keinginan orang Myanmar mana pun,” tulis Nang Thit Lwin dalam komentarnya di sebuah berita di media domestik Myanmar tentang kesepakatan ASEAN.
“Untuk membebaskan narapidana dan tahanan, untuk bertanggung jawab atas nyawa yang meninggal, untuk menghormati hasil pemilihan dan memulihkan pemerintahan sipil yang demokratis.”
Aaron Htwe, pengguna Facebook lainnya, malah menyindir dengan menyebutkan jumlah angka korban warga yang tewas. “Siapa yang akan membayar harga untuk lebih dari 700 nyawa tak berdosa,” tulisnya mengungkit kematian 748 orang yang menjadi korban.
Sementara itu, pemerintahan bayangan Myanmar, National Unity Government (NUG), yang terdiri dari tokoh-tokoh pro demokrasi, sisa-sisa pemerintahan Suu Kyi yang digulingkan, dan perwakilan kelompok etnis bersenjata, mengatakan pihaknya menyambut baik konsensus yang dicapai.
Kemudian mereka menegaskan bahwa junta harus berpegang pada janjinya.”Kami menantikan tindakan tegas oleh ASEAN untuk menindaklanjuti keputusannya dan memulihkan demokrasi kami,” kata Dr. Sasa, juru bicara NUG.
Selain Jenderal Junta, hadir pula para pemimpin Indonesia dalam hal ini Presiden Joko Widodo beserta para menterinya, lalu Vietnam, Singapura, Malaysia, Kamboja, dan Brunei Darussalam. Termasuk Menteri Luar Negeri Laos, Thailand, dan Filipina.
Adapun militer Myanmar telah mempertahankan kudeta dengan menuduh bahwa kemenangan telak partai Suu Kyi pada pemilihan November merupakan penipuan. Padahal komisi pemilihan menolak dan pemantau internasional membantah hal tersebut.
Pertemuan ASEAN merupakan upaya internasional terkoordinasi pertama untuk meredakan krisis di Myanmar. Selain protes, kematian dan penangkapan hingga pemogokan nasional telah melumpuhkan kegiatan ekonomi di negara tersebut.