Budaya Pop

Sweta Kartika, Seniman Lokal yang Angkat Nilai Keindonesiaan Tanpa Campur Tangan Pemerintah

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Sweta Kartika

Bicara soal industri kreatif Indonesia, belum banyak yang mengetahui kreator lokal yang sudah menghasilkan karya dengan mengangkat tema keindonesiaan. Salah satunya Sweta Kartika, seniman komik lokal yang karyanya banyak mengangkat sisi budaya Indonesia dengan memasukkan unsur kekinian.

Pria yang juga dikenal sebagai novelis dan penulis skenario ini, pernah membawa karyanya mewakili Indonesia untuk ikut pameran Bologna Children’s Book Fair di Italia pada tahun 2015. Di tengah kesibukannya, Sweta menyempatkan waktu untuk berbincang bersama Asumsi.co soal kesibukannya di masa pandemi saat ini.

Selain itu, Sweta juga memberikan pandangannya soal mengapa karya seniman lokal yang mengangkat budaya Indonesia, terkesan kalah bersaing dengan produk luar negeri.

Halo Mas Sweta, apa kabar?

Kabar baik. Sehat-sehat. Terima kasih sudah diajak wawancara.

Lagi sibuk apa, nih? Boleh cerita enggak tentang diri Mas Sweta sebagai seniman lokal dan karya-karyanya?

Kesibukan sih bikin komik dan menulis saja terus. Kebetulan menulis novel dan skrip juga untuk beberapa produk dan podcast. Saya juga mengampu Padepokan Ragasukma, suatu komunitas komikus di Bandung, yang fokusnya membuat cerita pendekar. Sampai sekarang masih aktif memproduksi konten YouTube yang mengajarkan bikin komik dan secara simultan.

Baca Juga: Darbotz: Street Art Indonesia Bagus-bagus tapi Kurang Terekspos | Asumsi

Kemudian juga masih terus (bikin) komik yang dijual fisik dan digital melalui aplikasi Ragasukma Komik, dan ragasukma.com. Kami juga sudah merambah penjualan ke Tokopedia supaya lebih banyak memajang karyanya.

Mas Sweta ada gaya atau elemen tertentu dalam berkarya yang jadi ciri khas?

Kalau saya memang menitikberatkan pada tiga hal, yaitu visual dengan lebih memperkenalkan produk budaya lokal, kedua penceritaan, dan ketiga mengemas elemen. Saya ambil contoh, komik Wanara itu komik action. Sebetulnya superhero, tapi saya buat antitesis bagaimana mengeksplor ulang dari konsep pahlawan super dari kacamata lokal, karena superhero itu dari pandangan barat, sementara aspek kepahlawanan itu di Indonesia menekankan gotong royong.

Komiknya menceritakan sekelompok anak muda pakai baju sehari-hari, tapi pakai topengnya bentuk topeng monyet. Hero development-nya juga enggak linear. Mereka juga punya jurus pakai aksara Jawa buat elemennya. Jadi memang mengangkat tema folklore dan sejarah keindonesiaan yang belum banyak orang kenal.

Sejak kapan Mas Sweta mengangkat tema-tema keindonesiaan di setiap karyanya?

Saya memang sudah suka sama budaya lokal dan besar pengaruhnya dari bapak saya yang sering memperkenalkan budaya Indonesia dari kecil. Sering baca dongeng wayang, ngajarin karawitan dan gamelan. Mbah saya juga ngajarin keroncong, memang dekat dengan kesenian.

Sebetulnya kalau masuk ke industri mulai tahun 2011, itu bikin komik Wanara awalnya dan sampai sekarang konsisten membawa unsur itu. Sebenarnya trigger berkarya pas kuliah di ITB, ada pameran keris koleksinya Haryono Haryo Gurtino penulis “Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar”.

Saya orang Jawa yang sudah  biasa lihat keris saja masih kagum saat itu, apalagi teman saya yang belum pernah lihat dari dekat keris. Saya langsung berpikir bagaimana men-deliver kekaguman saya terhadap budaya dengan mood sekeren apa yang saya rasakan, sehingga kekagumannya terasa. Inilah yang menjadi rel saya dalam berkarya.

Selama ini, budaya atau cerita Indonesia relatif sulit diterima masyarakat Indonesia sendiri, selain mungkin di dunia perfilman sejak The Raid. Apa pandangan Mas Sweta tentang itu? Terutama karena karya-karya Mas sering membawa elemen budaya atau seni lokal?

Sebenarnya itu cara mengemasnya saja yang jadi problem. Kan ada yang gini, bosan lihat wayang lagi tapi karya saya ada yang angkat wayang. Orang menerima karena saya bikin tokoh wayang dalam konsep cerita futuristik. 

Baca Juga: Sejarah Mural Sebagai Budaya Pop dan Sarana Kritik di Dinding Kota | Asumsi

Saya belajar bagaimana Jepang mengemas musashi yang awalnya hanya dibaca cendekiawan, tapi pada akhirnya dikemas dalam bentuk novel dan punya inisiatif untuk mengubahnya, dengan menyesuaikan berdasarkan perkembangan kontennya termasuk “Rurouni Kenshin”.

Mengapa masyarakat Indonesia sepertinya lebih mudah menerima budaya, gaya, musik, atau cerita luar negeri ketimbang domestik?

Mungkin kreatornya belum banyak yang bisa mengemaskan budaya kita jadi seni populer. Saya rasa, bagaimana juga mampu mengemasnya dalam bentuk karya yang bagus. Produk budaya yang penting bagaimana mengemasnya, dan perlu melakukan riset dengan betul-betul supaya tahu pendalaman maknanya.

Adakah yang perlu dilakukan supaya orang Indonesia lebih menerima karya, cerita, atau budaya kita sendiri? Apa saja?

Pengenalan sih yang paling penting. Bagaimana kreator bisa mengemas karyanya menjadi sesuatu yang kekinian, tapi di dalamnya ada nilai-nilai tradisional kita yang melekat di dalamnya. Hal yang paling penting itu kan, nilainya.

Apakah pernah dapat dukungan dari pemerintah untuk memasarkan atau mempopulerkan karyanya? Selama ini dukungan didapat dari siapa atau mana saja?

Pemerintah belum. Selama ini kami berjuang sendiri saja, saya dan teman-teman saya. Intinya kami bergerak sendiri dan kalau ngomongin pemerintah Indonesia, belum pernah terjadi ada dukungan tertentu.

Pernah pada satu kesempatan tahun 2015, saya dan rekan-rekan berangkat ke Bologna Children’s Book Fair ada pameran dan ketemu orang Malaysia yang juga ikut pamerannya. Saya lihat komiknya full color harganya murah banget yang dijual di pasaran Malaysia, harganya 20 ribu kalau di Rupiah.

Ternyata ada faktor yang bikin murah. Ternyata, kertas di Malaysia disubsidi pemerintah. Sementara di Indonesia dipajaki. Jadi kreator itu dobel pajak, saat dapat penghasilan royalti dipotong dan pajak kertas.

Baca Juga: Perjalanan Skateboard, dari Budaya Jalanan ke Kompetisi Level Dunia | Asumsi

Jadi lucu, narasi negara kita memang digalakkan budaya membaca tapi ekosistemnya tidak didukung penuh. Makanya yang terjadi banyak kreator yang kaya secara materi, itu kaya banget dan yang miskin ya miskin banget. Di salah satu simposium  juga pernah saya sampaikan ke Pak Triawan Munaf saat masih menjabat Kepala Bekraf.

Waktu itu saya sampaikan gimana industri kreatif mau maju kalau kertas dipajaki. Pak Triawan pun mengamini. Perlu saya garis bawahi, kalau orang kreatif sebetulnya diinjak-injak saja masih bisa hidup apalagi di-support pemerintah. Jadi, kalau bicara dukungan ya, selama ini keluarga, teman-teman yang bareng-bareng di komunitas ini, dan tentunya pembaca.

Lebih jauh tentang Sweta Kartika dan karyanya

Nah, dari cerita Sweta di atas kita jadi tahu, bahwa masih banyak seniman lokal yang punya karya-karya yang keren dan patut disimak dan didukung. Sweta pun menjadi salah satu seniman lokal yang terus konsisten menghasilkan karya-karyanya. Tidak cuma menghibur, tapi karya yang dihasilkan pun, punya nilai budaya keindonesiaan.

Jika kalian ingin tahu lebih banyak soal karya-karya yang dihasilkan Sweta, bisa langsung follow akun Instagram @swetakartika, @padepokan.ragasukma, Twitter @SwetaKartika atau unduh aplikasi komik Ragasukma dari Play Store.

Share: Sweta Kartika, Seniman Lokal yang Angkat Nilai Keindonesiaan Tanpa Campur Tangan Pemerintah