Budaya Pop

Sejarah Mural Sebagai Budaya Pop dan Sarana Kritik di Dinding Kota

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Unsplash

Belakangan ramai menjadi sorotan publik soal aksi kritik terhadap pemerintah melalui mural atau seni jalanan yang berujung dihapus oleh aparat. Pasalnya, krtitik yang disampaikan bernuansa provokatif.

Mural sendiri sudah sejak lama ada di Indonesia. Sejak zaman kolonial Belanda, mural menjadi sarana untuk menyampaikan protes dan kritik.

Sejarah Seni Jalanan Jadi Budaya Pop 

Kehadiran seni jalanan sebenarnya sudah lama ada di Indonesia. Seniman mural Darbotz menyebut cikal bakal seni jalanan dalam bentuk mural atau graffiti menjadi sebuah budaya berkesenian di negeri ini sudah ada sejak masa pra kemerdekaan. Di masa perjuangan, banyak para pejuang menyuarakan perjuanganyan melalui corat-coret atau gambar di tembok-tembok kota. Mereka sengaja meninggalkan pesan-pesan perjuangan melalui mural karena memang keterbatasan media kala itu. 

“Awalnya memang iya, tulisan atau gambar di tembok jalanan ini bagian dari bentuk protes atau menyerukan sesuatu dari era kemerdekaan. Di masa itu juga setahu saya sejarahnya banyak yang bikin coretan di jalan menyerukan pesan-pesan kemerdekaan karena waktu itu juga medianya terbatas, belum ada televisi,” ujar Darbotz kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Sabtu (14/8/21). 

Namun seiring pergantian zaman, seni jalanan terus berkembang. Bahkan saat ini banyak mural yang menghiasi dinding atau sudut-sudut sejumlah kota besar di Indonesia. Salah satunya Jakarta yang beberapa sudutnya terpampang tulisan atau gambar khas kesenian jalanan. Contohnya di kawasan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kalijodo, Jakarta Utara. 

“Sekarang memang jadi expand ya, tulisan atau gambar di jalanan maupun tembok banyak yang dibuat pure seni bahkan jadi buat dekorasi di perkotaan kayak di Kalijodo misalnya itu kan, sekarang jadi ikon tersendiri graffitinya,” jelasnya. 

Seniman graffiti TUTU ini menambahkan, graffiti mulai eksis di Indonesia sebagai salah satu cara mengekspresikan diri sejak tahun 1990-an. Sejak itu graffiti telah menjadi budaya pop di kalangan seniman mural, khususnya anak-anak muda. 

“Graffiti sudah ada sejak tahun 1990 kalau jadi budaya popnya ya. Waktu itu awalnya bisa dibilang dari coret-coret tembok sekolah, sela-sela got jalanan,” ucap pemilik akun @tutugraff ini saat dihubungi terpisah.

“Terus muncul anak-anak JIS Terogong yang memperkenalkan dan terus menyebarkan graffiti sebagai bentuk ekspresi seni. Mereka coret-coret tembok di kawasan Pondok Indah dan Pondok Pinang, Jaksel sampai akhirnya jadi bikin banyak orang yang memang dia basic-nya seniman jalanan mulai melakukannya juga,” imbuhnya.

Media Buat Kritik Pemerintah

Seiring menjamurnya seni jalanan di era modern, banyak orang yang kemudian menjadikan mural sebagai sarana menyampaikan sikap protes. kritik, atau keresahan, khususnya terkait dengan kebijakan sosial-politik oleh pemerintah. Tak jarang, mural bernada kritik sengaja dibuat di sudut-sudut strategis perkotaan agar pesan bisa tersampaikan secara langsung. 

Darbotz menilai menyampaikan kritik yang disalurkan lewat seni jalanan memang semakin menjadi tren. Sebab hal itu menjadi wadah untuk mengasah kemampuan para senimannya untuk mengeluarkan hal-hal yang ingin disuarakan oleh mereka. 

“Kalau gambar ini posisinya strategis pasti bisa menjadi perhatian publik. Banyak yang bikin graffiti di posisi-posisi tempat seperti ini (strategis) supaya gagasan yang disampaikan si senimannya ini diketahui atau bisa bikin banyak orang relate. Kalau begini, pesan-pesan kritik yang disampaikan lewat seni jalanan memang efektif sih,” tuturnya. 

Di sisi lain, TUTU menyebut mural memang menjadi salah satu media efektif untuk mengungkapkan ekspresi, baik berupa ajakan atau kritik secara ukuran dan kemampuannya untuk menarik perhatian. 

“Saya simpel saja. Orang itu bisa menyampaikan opininya lewat media apapun, enggak usah mural. Orang bisa saja bikin di kertas seukuran 3×4 terus menulis kritik di dalamnya. Ini bisa saja. Nah, ini membedakan mana seni mana maksud terselubung. Soal kritik itu masalah mendasar dan jadi bagian dari graffiti yang esensinya adalah sebagai seni,” terangnya. 

Ia menambahkan, bobot mural adalah pesan yang terkandung di dalamnya. Sayangnya, bisa saja positif tapi ada juga yang negatif. “Sementara jika dicermati dari segi seni, jika seseorang seniman mural mengkritik dia akan mengambil jalan yang elegan. 

“Bukan provokatif. Kalaupun provokatif, dia tidak akan straight to the point. Di situlah kepintaran bernarasi seorang seniman dipertaruhkan,” ucap dia.

Geger Tiga Mural 

Baru-baru ini sejumlah mural yang menjadi media untuk mengkritik pemerintah di beberapa kota akhirnya dihapus. Tempo melaporkan setidaknya ada tiga mural yang bikin geger ini. Pertama adalah mural bertuliskan “404: Not Found”. Mural yang ada di sekitar wilayah Batuceper, Kota Tangerang ini, menampilkan gambar wajah yang mirip dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) namun pada bagian matanya, ditutupi dengan tulisan 404: Not Found dan berlatar merah. Mural tersebut kini telah dihapus oleh aparat gabungan setempat beberapa hari lalu. 

Kemudian ada mural bertuliskan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” dengan dua karakter di Pasuruan, Jawa Timur. Mural yang digambar di sebuah dinding rumah kosong dan akhirnya dihapus. Kepala Satpol PP Kabupaten Pasuruan, Bakti Jati Permana mengatakan, mural itu dianggap melanggar peraturan daerah dan dinilai provokatif. 

Terakhir tulisan ‘Tuhan Aku Lapar’di sebuah dinding di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Tulisan yang dibuat dengan cat putih dengan ukuran huruf besar pada akhir Juli 2021 itu juga dilenyapkan oleh pihak kepolisian. Masyarakat pun menyayangkan aksi penghapusan yang dilakukan aparat terhadap seni jalanan tersebut. TUTU menilai wajar dengan adanya hal ini. Ia menilai orang Indonesia memang belum siap menerima kritik dengan cara seperti ini. 

“Orang kita belum bisa disuguhi kritik seperti ini, karena di Indonesia juga yang situasinya kurang menguntungkan dengan banyaknya pihak yang menunggangi, suasana sosial politik yang makin gaduh, dan sebagainya. Sementara rakyat tidak semuanya bisa menangkap pesan yang dibawa mural, sehingga bisa multitafsir,” jelas dia. 

Pendapat senada juga disampaikan Darbotz. Ia menilai, belum banyak orang Indonesia yang bisa menerima kehadiran seni jalanan sebagai salah satu media untuk menyampaikan kritik. 

“Memang balik lagi di Indonesia untuk menyampaikan pendapat enggak segampang itu. Gambar jalanan yang enggak ada pesannya saja masih banyak yang suka dihapus karena dianggap mengotori jalan, apalagi yang mengandung pesan kritis. Kritis lewat media apa saja pasti orang bisa kena masalah hukum, apalagi disampaikannya di tembok. Memang kita terhadap seni yang didalamnya mengandung pesan kritis ini masih belum diterima dengan bebas di Indonesia. Belum open minded lah, bisa dibilang begitu,” ujarnya. 

Ekspresi Keresahan Masyarakat

Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Faldo Maldini diketahui menanggapi ramainya mural yang mengandung pesan-pesan kritik yang terkait dengan pandemi, kondisi ekonomi, dan kebijakan pemerintah seperti Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tersebut. Dalam wawancara bersama tvOne, ia melontarkan celetukan terhadap mural bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” yang kini sudaha dihapus itu. 

“Lapar kita beli makan, bukan beli cat,” kata Faldo.Komentarnya itu pun ramai menjadi perbincangan warganet di Twitter hingga dirinya akhirnya menyampaikan permohonan maaf lewat salah satu cuitannya di akun pribadinya. “Selamat pagi masyarakat. Mohon maaf nih, cuma saran saja. Ini cuma saran aja,” kicau akun @FaldoMaldini

Meski tidak mau ambil pusing dengan pernyataan Faldo, Darbotz menyindir balik politikus yang pernah menjadi kader Partai Amanat Nasional (PAN) ini. 

“Gue orang yang paling benci sama politik karena lingkup yang paling hipokrit dan muka seribu itu politik. Orang yang menyuarakan ini (Faldo) tentu mereka akan menyampaikan begitu karena hidupnya sekarang sudah enak ya. Dulu mungkin ketika dia belum apa-apa dan enggak punya apa-apa, kesannya berpihak sama yang menyuarakan kritik ke pemerintah. Jadi ya, gue enggak mau banyak komen lah, namanya juga politik,” ujarnya. 

Sementara TUTU, mengatakan sebaiknya Faldo berpikir terlebih dahulu sebelum melontarkan pernyataannya terhadap mural yang mengandung pesan kritik ini. Ia menegaskan, mural itu ada karena kreatornya memang menyuarakan keresahannya yang relevan buat banyak orang di tengah situasi saat ini. 

“Mereka resah. Ini bentuk keresahan para seniman ini kan, menyuarakan pendapatnya di pinggir jalan. Ini kritik sosial yang tentu dirasakan oleh banyak orang sekarang ini. Bukan mestinya beli makan, terus kenapa malah gambar di tembok. Mereka gambar di tembok ini kan, ya cara menyuarakan pendapat bukan enggak mau beli makan gitu kan maksudnya,” tandasnya.

Share: Sejarah Mural Sebagai Budaya Pop dan Sarana Kritik di Dinding Kota