Isu Terkini

“Perang Baliho” Elite Parpol, Bisa Bikin Rakyat Kenal dan Suka?

Irfan — Asumsi.co

featured image
Unsplash

Dalam sepekan terakhir, sejumlah baliho dari para elite partai politik tampak penuh sesak di tiap sudut jalan. Menampilkan foto diri, dan pesan yang dibubuhkan berdampingan, baliho ini konon mudah ditemui di mana saja.

Dalam perjalanan dari Bandung menuju Jakarta via Puncak misalnya, Asumsi.co melihat beberapa baliho yang dipasang cukup rapat antara yang satu dengan yang lain. Rentetan baliho ini tidak hanya diisi oleh satu elite partai saja, tetapi juga elite lainnya.

Yang mendominasi di antaranya baliho Ketua PDI Perjuangan yang juga Ketua DPR RI, Puan Maharani, baliho Ketua Umum Golkar yang juga Menko Perekonomian RI, Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum PKB yang juga Wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar. Meski tidak sebanyak tiga nama tadi, ada juga baliho yang menampilkan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono.

Dalam pemberitaan sejumlah media, partai-partai yang elitenya dipajang sepanjang jalan ini, menampik dugaan publik yang menilai kalau pemasangan baliho ini ditujukan untuk menggenjot popularitas ketuanya di ajang Pilpres 2024 nanti.

Politikus PDI Perjuangan Arteria Dahlan misalnya, menyebut baliho Puan lebih bersifat internal dan terkait kepemimpinan Puan sebagai ketua DPR RI. Sementara baliho Muhaimin, meski beberapa eksplisit membubuhkan slogan “Gus AMI 2024”, disanggah Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Jazilul Fawaid sebagai ajang tampil. Menurutnya, Cak Imin sebagai Ketum tidak pernah menginstruksikan. Bahkan, Wakil Ketua MPR RI ini mengaku tak tahu menahu inisiator dan tujuannya. 

Demokrat pun berkilah. Mereka berdalih, baliho bergambar AHY untuk mewaspadai gerakan Moeldoko yang hendak mengambil alih partai berlambang mercy tersebut. Hanya Golkar, melalui Ketua DPP-nya Ace Hasan Syadzily yang mengaku kalau pemasangan baliho Airlangga merupakan strategi sosialisasi yang sudah disepakati dalam rapat pimpinan nasional dan rapat kerja nasional Partai Golkar yang diselenggarakan Maret 2021.

Dikritik Publik 

Namun, publik kadung risih dengan baliho yang bertebaran ini. Alhasil, kritik pun banyak disuarakan. Menilik media sosial misalnya, banyak yang membuat meme dari baliho-baliho tersebut. Bahkan sempat treding sebuah tagar berbunyi #balihombakpuan. 

Cendekiawan Islam yang juga tokoh Nahdlatul Ulama, KH Mustofa Bisri, menjadi salah satu pihak yang mengkritik banjir baliho ini. Melalui unggahan di Twitter dan Instagram pribadinya, ulama karismatik yang juga piawai dalam puisi memasang empat foto empat baliho tadi di atas foto para nakes yang tengah berjibaku menangani pandemi. Seolah memperlihatkan tabiat elite politik yang berebut perhatian dan nirempati dengan kondisi rakyat yang tengah berjuang. 

Sehari lalu, jurnalis kawakan Nawa Shihab juga mengunggah foto baliho yang bertuliskan “Billboard Ini Kami Dedikasikan Buat Anak Yatim”. Foto ini seolah menyindir bom baliho para elite parpol yang menyesaki ruang publik dalam beberapa hari terakhir.

Perjalanan Panjang 

Meski disanggah, sulit untuk memungkiri modal besar untuk memasang baliho di mana-mana ini tak ada motif politik. Apalagi keempatnya santer disebut akan mencalonkan diri dalam ajang Pemilihan Presiden 2004 nanti. 

Sayang, meski memegang kendali di partai besar, keempatnya tidak begitu punya popularitas yang bagus. Nama-nama ini masih di bawah tiga nama yang selama ini unggul dalam sejumlah survey seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Guberun Jawa Tengah Ganjar Pranowo, atau Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. 

Lantas dengan menghantui publik dengan wajah-wajah mereka di setiap sudut jalan, apakah akan mendongkrak popularitas dan elektabilitas mereka?

Baca Juga: Pelaku Vandalisme Baliho Puan Maharani Terancam Empat Tahun Penjara?

Pengamat komunikasi dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, menilai, nama-nama yang sekarang sering mampir di hadapan publik lewat bentuk baliho di tiap sudut jalan sedang dalam tahap pengenalan. Jika itu ditujukan untuk mendongkrak popularitas di Pilpres, tentu perjalanannya masih sangat jauh. Masih banyak PR lain seperti pembentukan emosional suka, benci dan dampak psikomotorik atau perilaku nyata. 

“Jadi perjalanan masih sangat jauh, untuk sampai dipilih oleh masyarakat. Ini melelahkan bagi pelaku komunikasi, maupun khalayak jika pesan-pesan yang mereka kembangkan, tak relevan dengan kebutuhan masyarakat,” kata Firman. 

Setidaknya ada dua strategi yang hendak digunakan oleh para elite parpol lewat “serangan” baliho ini. Pertama, tampil dalam ukuran besar yang memuat wajah mereka. Kedua, intensitas yang tinggi lewat pemasangan baliho di mana-mana. Kedua strategi itu dalam tinjauan ilmu komunikasi memang mampu membentuk ingatan khalayak.

​“Teori ingatan menyatakan, bahwa memori khalayak dapat dibentuk oleh sesuatu yang tidak biasa: Ukuran ekstra besar pada baliho, pesan yang unik, warna yang menyolok, dan pengulangan yang intensif seperti tampil di mana-mana dengan pesan yang konsisten,” ucap dia.

​Menurut dia, meski isi pesannya buruk, dua formula ini mampu membangun memori khalayak. Ia lantas mencontohkan adanya mars yang dilantunkan oleh sebuah parpol baru di televisi secara intensif. Tanpa disadari dan bukan lantaran pesannya yang menarik, banyak khalayak mampu melantunkan mars itu dengan fasih.​

“Tanpa sadar dan direncanakan material pesan telah masuk ke memori khalayak. Efek macam inilah yang diharapkan bekerja oleh para perancang pesan: Mampu menembus ingatan khalayak, paling tidak di level pengenalan,” ucap dia.​

Perkara akan populer atau sebaliknya, tentu strategi pemasangan baliho hari ini bukanlah menjadi strategi tunggal. “Ketika yang diingat publik adalah persepsi negatifnya, pada kesempatan berikutnya kan bisa diajukan materi komunikasi yang lain. Memori baru publik mudah diperbaharuin dengan strategi pesan yang berbeda,” ucap dia.

Namun, tak dimungkiri banyak PR besar yang harus dikejar oleh para elite ini jika hendak menyalip elektabilitas dan popularitas para jagoan survei seperti Anies, Ganjar, dan Ridwan Kamil. Apalagi, ketiga gubernur ini diuntungkan oleh posisinya sebagai yang terus bersentuhan langsung dengan persoalan masyarakat. 

“Sehingga ketiganya sangat kerap jadi bahan pemberitaan, selain aktif di media sosialnya yang dikelola sendiri maupun dikelola para haters dan loversnya. Sehingga, memori publik selalu terhubung,” ucap Firman. 

“Jadi kalau mengandalkan baliho saja, “tidak bunyi”, di masyarakat luas,” ucap dia.

Baca Juga: Untuk Apa Pejabat Pasang Wajah Sendiri di Mana-mana?

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menyebut kalau ditanya efektif atau tidak, penerapan baliho ini tentu efektif. Namun, yang jadi pertanyaan apakah rakyat akan respek dan mau milih? 

“Bisa saja sebaliknya, rakyat makin sebal karena dinilai tak sensitif dengan kondisi susah rakyat di tengah pandemi. Wajar kalau belakangan banyak hujatan ke mereka. Di sinilah letak pentingnya menterjemahkan baliho itu sepeti apa,” kata Adi. 

Ia juga menilai wajar protes publik atas baliho ini. Soalnya, baliho tersebut dinilai tak punya empati dan tak membantu apapun masalah saat ini. Apalagi di tengah dampak pandemi yang membuat banyak orang butuh sembako. “Eh elite di baliho itu malah butuh perhatian rakyat,” kata dia. 

Adi menyebut, sebetulnya elite politik pasang baliho adalah perkara biasa, etis, dan mesti dilakukan untuk publikasi dan sosialisasi diri. Tapi menjadi paradoks karena baliho yang tersaji sekarang lebih mirip ‘benda mati’ yang tak tak faham dengan kondisi rakyat di tengan pandemi. 

Beda ceritanya kalau selain pasang baliho, para elite melakukan langkah nyata dengan mengintruksikan semua kader partainya untuk membuka kantor partai mereka dari pusat hingga daerah untuk membantu rakyat terdampak pandemi. 

“Meski tak bisa membantu langsung, setidaknya pengurus partai bisa membantu memudahkan akses terhadap kesehatan dan bansos. Selain negara, hanya partai yang bisa menjangkau seluruh lapisan rakyat. Kalau begini ceritanya, baliho itu serupa ‘benda hidup’ yang bisa merasakan denyut nadi rakyat. Elite yang pasang baliho dipastikan makin dapat simpati karena dianggap dewa penolong, bukan lagi cemoohan,” ucap dia.

Share: “Perang Baliho” Elite Parpol, Bisa Bikin Rakyat Kenal dan Suka?