Isu Terkini

Tagihan Listrik Mendadak Bengkak, Warga Harus Apa?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Publik mengeluhkan tagihan listrik yang tiba-tiba membengkak di tengah pandemi COVID-19. Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyebut rata-rata konsumsi listrik masyarakat memang meningkat karena pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja, belajar, dan beraktivitas di rumah.

Namun, sebagian orang menilai pembengkakan itu tak wajar mengingat ada warga yang harus membayar hingga dua kali lipat dari biasanya.

Executive Vice President Corporate Communcation and CSR PLN I Made Suprateka menjelaskan bahwa penghitungan tagihan berdasarkan rata-rata tiga bulan pemakaian terakhir. Misalnya penggunaan listrik pada bulan Desember sebesar 50 kWh, Januari 50 kWh, dan Februari 50 Kwh. Made menjelaskan bahwa dalam tiga bulan sebelumnya diambil rata-rata 50 kWh.

Sementara pada bulan Maret terjadi keanehan konsumsi listrik dalam kurun waktu dua minggu, yang merupakan dampak dari penerapan kebijakan PSBB dan work from home (WFH). Imbasnya, kondisi tersebut membuat penggunaan listrik praktis meningkat menjadi 70 kWh.

Kemudian, lantaran menggunakan rata-rata tiga bulan sebelumnya, konsumsi listrik Maret masih 50 kWh yang dibayarkan di bulan April. Masih ada sisa 20 kWh yang belum tertagih di bulan Maret. Sisa pemakaian yang belum tertagih akan di-carry over ke bulan berikutnya.

“Kita catat tiga bulan terakhir 50 kWh. Dengan catatan 50 kWh ada 20 kWh yang belum tertagih. Nah ini tidak ada masalah, pada dasaranya carry over di April,” kata I Made dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (06/05/20).

Lalu, memasuki bulan April, PSBB diterapkan sebulan penuh, sehingga kondisi tersebut membuat penggunaan listrik meningkat lagi menjadi 90 kWh. Alhasil konsumsi listrik April menjadi 90 kWh + 20 kWh yang merupakan hasil carry over dari bulan Maret.

Sehingga total tagihan melonjak menjadi 110 kWh untuk tagihan April yang dibayar Mei. “Ada kontribusi Maret dan April. Yang tertagih 110 kWh, biasanya 50 kWh, jadi seolah naik 200% lebih,” ucapnya.

Menurut Made, kondisi ini memang perlu disampaikan secara baik dan transparan agar tak menimbulkan kecurigaan pada masyarakat. Untuk itu, PLN pun menegaskan bahwa kenaikan ini bukanlah akibat dari kenaikan tarif.

Made pun menepis dugaan bahwa PLN melakukan intervensi atau mengotak-atik meteran. Menurutnya, penmbengkakan tagihan listrik semata-mata disebabkan kegiatan selama 24 jam di rumah.

General Manajer PLN UID Jakarta Raya, Ikhsan Asaad, mengungkapkan bahwa untuk DKI Jakarta saja jumlah komplain yang masuk mencapai 2.900 aduan. Sebanyak 2.200 aduan sudah diselesaikan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 94% angkanya sesuai dan sisanya 6% perlu koreksi.

Ikhsan menjelaskan kasus lain: misalnya saat didatangi rumah dalam keadaan terkunci, kosong, tetapi pemiliknya diwajibkan membayar Rp1 juta. Ia menyebut memang ada minimum pemakaian, di mana kalau ada kelebihan tagihan maka akan menjadi pengurangan di bulan berikutnya.

“Kita ada energi minimum 40 jam. Meskipun rumah kosong pelanggan harus dikenakan energi minimum 40 jam minimalnya. Ini akan kami selesaikan lewat komunikasi dengan pelanggan,” kata Ikhsan.

Dalam kondisi seperti ini, Ikhsan pun mengajak masyarakat untuk berhemat dalam penggunaan listrik supaya tagihan tidak membengkak. Menurutnya, selama masyarakat masih menerapkan WFH, maka konsumsi listrik rumah tangga dipastikan akan naik.

“AC, lampu, kalau nggak terpakai matikan saja. Membantu supaya tidak mahal bayar tagihan listriknya,” katanya.

Lebih lanjut, Ikhsan menjelaskan bahwa di DKI Jakarta konsumsi listrik secara keseluruhan anjlok sebesar 20% dibandingkan dengan hingga bulan Mei tahun lalu. Adapun konsumsi listrik rumah tangga naik sebesar 6%, namun tidak sebanding dengan turunnya listrik.

Ada Dugaan Maladministrasi PLN

Sekjen Forum Indonesia untuk Transparan Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, menyebut bahwa pembebanan perhitungan PLN yang selama tiga bulan terakhir dari Desember, Januari, Februari, lantaran petugasnya tidak melakukan perhitungan atau pengecekan langsung. Lalu dihitung rata-rata untuk bulan Maret dan kemudian selisih antara perhitungan ril dengan rata-rata itu kemudian dibebankan kepada bulan April.

“Menurut saya, ini mekanisme yang dilakukan sepihak oleh PLN dan merugikan masyarakat karena masyarakat kan tidak pernah diberitahu, tidak pernah mendapatkan informasi terkait model pencatatan seperti ini,” kata Misbah saat dihubungi Asumsi.co, Jumat (08/05).

Menurut Misbah, hal ini merugikan masyarakat, terutama bagi yang secara ekonomi pas-pasan. Ketika kemudian terbebani dengan biaya listrik yang terakumulasi antar selisih di tiga bulan itu kan, menurutnya masyarakat pun syok.

“Ini kekeliruan dari PLN sendiri, meskipun secara perhitungan, mungkin dianggap tepat, tetapi ini pertama tidak terinformasi dengan jelas. Yang kedua masyarakat juga tidak diberikan edukasi bagaimana melakukan pencatatan secara mandiri atau bagaimana mengelola penggunaan listrik ketika situasi work from home semacam ini, masalah utamanya ada di situ,” ujarnya.

Tentang kondisi ini, Misbah menyebut masyarakat bisa mengadu kepada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) atau Ombudsman RI. Sebab, hal ini kan terkait dengan potensi maldministrasi terhadap pencatatan penggunaan listrik karena masyarakat juga tidak memahami perihal pencatatan tersebut.

Sementara itu, Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Laode Ida, menduga PLN telah melakukan maladministrasi berupa ketidakprofesionalan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menurutnya, tak sedikit masyarakat yang memprotes keras ketidakprofesionalan PLN.

Salah satunya ialah inkonsistensi penjelasan atas komplain para pelanggan.

“Semula menyatakan bahwa kenaikan tagihan listrik disebabkan oleh meningkatnya daya listrik pada saat WFH, sekolah dari rumah, dan sejenisnya. Namun, pada hari-hari terakhir malah mengakui ada tambahan pembayaran sebagai carry over dari pemakaian pada bulan-bulan sebelumnya,” kata Laode melalui keterangan tertulis, Kamis (07/05).

Laode menyebut hal itu menandakan kalau PLN tidak menjalankan tugasnya dengan baik, yakni dengan tidak melakukan pencatatan dengan cermat dan benar tentang jumlah pemakaian yg tepat setiap bulannya. Padahal angka penggunaan daya adalah sesuatu yg eksak.

Laode pun menilai pengenaan tagihan pada bulan Mei 2020 ini adalah produk kerja spekulatif. Sebab, kenaikan tagihan pada Mei 2020 tanpa didasari fakta ril penggunaan di lapangan. Untuk itu, ia menegaskan perlu adanya investigasi untuk mengetahui apa yang terjadi di internal PLN.

“Apa ada unsur kesengajaan dengan memanfaatkan momentum COVID untuk secara paksa menyedot uang rakyat? Jangan sampai ada potensi yang merugikan rakyat,” kata Laode.

Share: Tagihan Listrik Mendadak Bengkak, Warga Harus Apa?