Isu Terkini

Habib Bahar Sebut Jokowi Banci, Kritik Atau Ujaran Kebencian?

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Lagi-lagi penghinaan yang tertuju pada Presiden Republik Indonesia (RI) kembali terjadi. Beberapa orang mungkin masih merasa bias, dengan apa yang dimaksud penghinaan, dan apa bedanya dengan kritikan. Namun satu hal yang perlu digarisbawahi, hingga saat ini mengkritik itu menjadi hal yang sah-sah saja untuk dilakukan, namun menyebarkan kebohongan itulah yang akan mendapatkan hukuman.

Video Habib Bahar bin Smith yang sedang melakukan ceramah baru-baru ini menjadi viral. Konteks pembicaraan Habib Bahar sendiri memang sedang membahas kesejahteraan rakyat yang menurutnya tidak bisa dirasakan sejak kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Namun jika memang konteksnya demikian, Habib Bahar nampaknya sudah terlewat batas saat mengatakan bahwa Presiden Jokowi adalah banci. Lebih dari itu, ia menyerukan para pendengarnya untuk membuka celana sang Presiden jika ada kesempatan bertemu.

“Kamu kalau ketemu Jokowi, kalau ketemu Jokowi, kamu buka celananya itu, jangan-jangan haid Jokowi itu, kayaknya banci itu,” begitu ucap Habib Bahar yang disambut tawa para pendengar, dan terekam dalam sebuah video yang sudah tersebar di berbagai lini.

Tak ayal ucapan itu langsung dilaporkan ke polisi dengan dugaan tindak pidana hate speech. Laporan itu dibuat pada Rabu, 28 November 2018 malam. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo mengatakan pihaknya telah menerima laporan tersebut dengan nomor : LP/B/1551/XI/2018/Bareskrim. “Sudah diterima oleh Bareskrim,” ujar Dedi, Kamis 29 November 2018.

Dalam laporan yang dibuat Sekjen Jokowi Mania Laode Kamarudin dan Muannas Alaidid dari Cyber Indonesia itu, Habib Bahar Smith diduga melakukan tindak pidana kejahatan terhadap penguasa umum, kejahatan tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, ujaran kebencian atau hate speech.

Pasal Penghinaan Kepala Negara

Dua pasal penghinaan terhadap kepala negara sudah masuk ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini sebelumnya dibahas dalam rapat tim perumus Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan pemerintah.

Pasal pertama yang disepakati adalah pasal 238 dalam draf RUU KUHP yang berbunyi:

Pasal 238
(1) Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori I pejabat.

(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Aturan ini sempat menjadi pro kontra juga. Awalnya beberapa pihak menganggap bahwa Presiden adalah simbol negara. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat sendir sempat mengatakan bahwa presiden adalah simbol negara.

“Presiden sebagai kepala negara itu sebenarnya mempunyai posisi yang dalam bahasa Minangnya harus ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah. Kita bisa lihat dari aturan protokoler. Itukan berbeda. Dengan Ketua MK saja lain. Saya cuman dikawal polisi 2 orang, tapi presiden kan, woh itu banyak. Bahwa itu menunjukkan kalau kita harus mendahulukan presiden sebagai simbol negara. Meskipun sama-sama warga negara,” kata Arief saat masih menjabat sebagai Ketua MK.

Tapi, menurut ahli hukum tata negara Dr Irmanputra Sidin, presiden tidak termasuk dalam simbol negara. Irman merujuk kepada BAB XV UUD 1945, di mana pasal 35 sampai 36B menyebutkan, bendera negara Indonesia ialah Sang Merah Putih, bahasa negara ialah Bahasa Indonesia, lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan lagu kebangsaan ialah Indonesia Raya.

Simbol negara itu juga diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaaan. Selain itu, memang tidak disebutkan dalam konstitusi tersebut jika presiden atau wakil presiden adalah bagian dari simbol negara. “Simbol negara itu bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaaan,” ujar Irman.

Maka dari itu, pelapor Habib Bahar lebih memilih menggunakan Pasal Ujaran Kebencian (hate speech). Sebab yang termasuk ujaran kebencian terdiri dari penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong.

Dalam Surat Edaran Kapolri, jenis-jenis ujaran kebencian dijelaskan dalam bentuk yang luas. Misal, jika seseorang menyatakan permusuhan di depan umum, maka akan terancam hukuman 4 tahun penjara (Pasal 156 KUHP). Sedangkan cacian yang disebarkan lewat tulisan, ancaman penjaranya paling lama 2,5 tahun (Pasal 157 KUHP). Lalu untuk tindakan pencemaran nama baik, penjara paling lama 9 bulan (Pasal 310 KUHP).

Share: Habib Bahar Sebut Jokowi Banci, Kritik Atau Ujaran Kebencian?