Sejarah

23 Tahun Lengsernya Soeharto dan Reformasi Yang Belum Selesai

Irfan — Asumsi.co

featured image
Foto: Wikipedia/Kantor Wakil Presiden

Hari ini, 23 tahun lalu, menandakan babak baru bagi bangsa Indonesia. Soeharto yang selama 32 tahun memimpin Indonesia harus lengser setelah mendapat banyak tekanan dari publik.

Diumumkan di Istana, dalam pidatonya, Soeharto menyatakan ia memilih mundur setelah melihat situasi yang tidak kondusif di tahun tersebut. “Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998,” kata Soeharto.

Mundurnya Soeharto diiringi dengan demisionernya Kabinet Pembangunan VII. Sesuai pasal 8 UUD 1945, otomatis Wakil Presiden yang saat itu dijabat oleh BJ Habibie naik ke tampuk RI satu.

Dalam pengakuan Yusril Ihza Mahendra, situasi saat itu mencekam. Ia yang menulis pidato pengunduran diri Soeharto, kepada CNN Indonesia mengenang, semua orang hening mendengar pidato Soeharto.

Beberapa orang sangat gugup. Ketua MA Sarwata, misalnya, sampai tak sadar mengenakan toga terbalik di acara itu. Bahkan, Sarwata tetap mengenakan toga terbalik saat melantik Habibie sebagai presiden.

Baca juga: Ini Aset Berperkara di Balik Gugatan Kepada Keluarga Soeharto

Usai lengser, Soeharto berjalan menghampiri orang-orang yang hadir. Ia menyalami satu per satu pejabat negara. Setelah itu, ia melangkahkan kaki keluar Istana dengan tetap tersenyum.

“Saya menyaksikan terakhir Pak Harto keluar dari Istana dan tidak pernah kembali lagi sampai meninggal,” tutup Yusril dengan suara yang mulai parau.

Disambut Gembira

Jika Istana disebut mencekam, lain halnya dengan situasi di luar. Gedung DPR-MPR di Senayan misalnya, yang jadi tempat konsentrasi massa dari elemen mahasiswa dan sipil, justru riuh. Dalam buku “80: 10 Windu LKBN Antara” (2017), fotografer Antara yang bertugas di DPR kala itu menyebut mahasiswa bersorak gembira saat Seoharto mengumumkan pengunduran dirinya.

Ditonton bersama di TV yang ada di Senayan, mahasiswa menjawab pidato mundurnya Soeharto dengan nyanyian “Indonesia Raya” hingga pekik takbir yang sahut menyahut.

Momen ini memang yang ditunggu mahasiswa penuntut reformasi. Mereka sudah menduduki Senayan sejak 18 Mei 1998. Ini imbas dari peristiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998 yang kemudian diikuti dengan kerusuhan besar di ibukota Jakarta dari 13-15 Mei 2021.

Selo Soemardjan dalam “Kisah Perjuangan Reformasi” (1999) mencatat, ketika massa di luar gedung melakukan aksi, di dalam gedung DPR pimpinan DPR dan fraksi-fraksi mengadakan rapat dengan mahasiswa yang diwakili oleh Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se Jabotabek (FKSMJ) untuk membahas situasi bangsa. Keputusan tersebut diambil mengingat keadaan bangsa Indonesia semakin tidak terkendali dan sangat membahayakan kesatuan bangsa.

Siangnya masyarakat tiba-tiba dikejutkan dengan pernyataan Harmoko yang sebelumnya sangat dikenal sebagai pengikut setia Soeharto menyerukan kepada Presiden agar mengundurkan diri demi persatuan dan kesatuan bangsa. 

Pukul 15.20 WIB, ketua DPR RI Harmoko yang didampingi para Wakil Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metaareum (F-PP), Abdul Gafur (F-KP), Fatimah Achmad (F-PDI), dan Syarwan Hamid (F-ABRI), menyatakan bahwa sebaiknya presiden Soeharto mengundurkan diri.

Dalam “Berakhirnya Pemerintahan Presiden Soeharto 1998” (2014) disebut pada tanggal 19 Mei 1998 pukul 09.00 di Gedung MPR/DPR diselenggarakan Rapat Pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi untuk membahas soal permintaan pimpinan DPR kepada Presiden Soeharto untuk mundur yang dikemukakan Ketua DPR Harmoko.

Pertemuan yang berlangsung selama lima jam ini mendukung permintaan pimpinan DPR kepada Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri secara hormat dan dilaksanakan secara konstitusional (Luhulima, 2006:153). 

Harmoko dan pimpinan MPR kembali meminta Soeharto untuk mundur pada tanggal 20 Mei. Presiden Soeharto menolak mundur dari jabatannya sehingga Harmoko memberi ultimatum kepada Soeharto, mundur pada hari Jumat (22/5/1998) atau menghadapi sidang istimewa pada hari Senin (25/5/1998). Soeharto akhirnya mau menyerah setelah menerima jaminan bahwa keluarga dan hartanya akan dilindungi.

Tuntutan Reformasi

Melengserkan Soeharto dari kursi kepresidenan mungkin jadi salah satu dari enam tuntutan reformasi. Lengkapnya adalah mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. Lainnya adalah supremasi hukum, pemberantasan KKN, amandemen konstitusi yang membatasi waktu jabatan presiden, pencabutan dwifungsi ABRI, dan yang terakhir adalah pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Sejarawan Peter Kasenda dalam wawancara dengan Balairung Press menyebut bahwa banyak dari tuntutan reformasi ini tidak tercapai. Terkait adili Soeharto dan kroninya, Peter melihat hanya terjadi setengah jalan.

“Kita tidak pernah melihat Pak Harto duduk di bangku terdakwa,” ucap dia.

Untuk supremasi hukum, saat ini juga belum menunjukkan perbaikan signifikan. Begitu pun dengan KKN. Malah belakangan banyak yang sangsi pada perbaikan sistem pemberantasan korupsi di Indonesia.

Yang sudah dilakukan mungkin terkait amandemen konstitusi dan pencabutan dwifungsi ABRI. Namun, itu juga tidak lepas dari upaya curi-curi pihak yang berkepentingan untuk mengembalikan lagi hal-hal lama itu.

Sementara pemberian otonomi daerah, semata-mata hanya memperluas kekuasaan saja. “Makanya sekarang orang bilang kalau dulu rajanya di Pusat, sekarang di daerah-daerah. Bupati-bupati itu seringkali menganggap keputusan di Pusat itu tidak berlaku di mereka karena mereka merasa dipilih rakyat. Akan tetapi, otonomi itu memang memberi kebebasan,” ucap dia.

Baca juga: Vokal Jadi Tukang Kritik, Perjalanan Manuver Keras Amien Rais ke Jokowi dan Presiden Lainnya

Dijegal Oligarki

Kepada Asumsi.co, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), Prof. Dr. Firman Noor, M.A menyebut saat ini tuntutan reformasi yang dulu digaungkan 1998 justru dijegal oleh oligarki.

Menurut Firman fenomena ini dikenal sebagai fenomena post democracy. Di satu sisi, masyarakat memang sudah tidak hidup dalam keterkungkungan. Tapi di sisi lain, nuansa otoritarianisme tetap masih terasa.

“Hasil survei LIPI pun mengkonfirmasi situasi ini. Survei 2019 mengatakan 58% responden, dari 119 responden para ahli di seluruh Indonesia, mengatakan kita alami stagnasi atau regresi atau lebih buruk,” kata Firman.

Ia menambahkan, nuansa otoritarianisme ini justru terasa seiring menguatnya pemerintah Jokowi dari tahun ke tahun. Padahal, dia awal periode kepemimpinannya, Indonesia masih sangat menikmati kebebasan perbaikan sipil. Bergabungnya kubu oposisi ke pemerintahan Jokowi di periode kedua pun dinilai menjadi sebab.

“Ini menguatkan dominasi Jokowi. Tak hanya di tingkat pemerintahan, gejala absolut kekuasaan ala orba menguat karena adanya dukungan sebagian masyarakat. Saya kiranya inilah adagium lama Lord Acton (John Dalberg-Acton), power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Ketika kekuatan berada dalam satu genggaman yang betul-betul menjadi sangat unlimited,” kata Firman.

Firman juga mengendus hal itu dari pidato inagurasi Jokowi di periode kedua kepemimpinannya pada 2019. Menurutnya, di pidato itu, Jokowi memfokuskan pandangannya pada urusan pembangunan hingga ekonomi, khususnya terkait investasi. Namun, ia tak menyinggung sama sekali tentang demokrasi, penegakan HAM, ataupun tentang anti-korupsi.

“Seperti ini kurang lebih jadi mirip-mirip orba menurut sebagian kalangan, di mana ekonomi akhirnya menjadi panglima,” kata Firman.

Share: 23 Tahun Lengsernya Soeharto dan Reformasi Yang Belum Selesai