Isu Terkini

Di Balik Anies Ganti Nama Jalan dengan Tokoh Betawi

Manda Firmansyah — Asumsi.co

featured image
ANTARA/Luthfia Miranda Putri.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan pergantian puluhan nama jalan dan zona dengan nama tokoh Betawi. 

Penulis buku Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan Surabaya 1930-1960, Sarkawi bin Husain mengatakan, penamaan jalan merupakan bagian dari simbol kota yang mencerminkan identitasnya. Pada masa kolonial, upaya penamaan jalan dengan nama yang berasal dari tokoh-tokoh Belanda merupakan hal yang biasa. 

Ini juga menjadi penanda kekuasaan kolonial Belanda. Pasca proklamasi khususnya di tahun 50-an, upaya serupa juga dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Misalnya, nama jalan Van heutz straat di Surabaya diganti dengan Jalan Teuku Umar yang menjadi lawannya saat perang Aceh. 

“Siapa yang berkuasa di kota itu terlihat dari simbol yg ada. Ketika Saddam Hussein jatuh, hal yg pertama dilakukan adalah merubuhkan patungnya, karena patung itu merefleksikan kekuasaannya,” ucap Sarkawi kepada Asumsi.co, Selasa (21/6/2022). 

Ini termasuk penggantian nama stadion Jakarta International Stadium (JIS) menjadi stadion M. Husni Thamrin adalah bagian dari upaya untuk ‘merebut’ kembali identitas ke-Betawi-an Jakarta. 

Pada level tertentu, secara mental tentu dapat mengangkat harkat dan martabat, serta spirit masyarakat Betawi. Namun, tentu tidak cukup sampai di situ. Sebab, penting juga mengangkat harkat dan martabat dengan cara meningkatkan taraf hidup masyarakat Betawi secara ekonomi. 

Pengangkatan harkat dan martabat penting karena masyarakat Betawi saat ini terkesan tersingkirkan. 

“Ya tentu, tetapi penyingkiran itu bisa jadi karena terjadinya perubahan struktur demografi masyarakat Jakarta, bukan karena secara sadar hendak dihilangkan oleh kelompok-kelompok tertentu,” tutur dosen sejarah dari Universitas Airlangga ini.

Menurut Sarkawi, politikus Indonesia gemar menggunakan politik penamaan karena masyarakat saat ini masih terbuai dengan simbol. Entah simbol keagamaan maupun kedaerahan. Ia menilai, politikus Indonesia suka membangun memori kolektif dengan mengganti jalan. 

“Bisa diduga bahwa itu adalah bagian dari upaya merebut simpati bahwa para politikus itu peduli pada budaya dan identitas lokal,” ujar Sarkawi. 

Sementara itu, pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai, kebijakan itu tidak tepat, terlalu cepat, terburu-buru, dan tidak ada urgensinya. Perubahan nama jalan berdampak ke berbagai segi, seperti administrasi hingga anggaran. Perubahan nama jalan bisa mengubah berbagai dokumen, seperti sertifikat tanah. 

Pemprov DKI Jakarta semestinya terlebih dahulu mengajak RT/RW terdampak berdiskusi segala konsekuensinya. Ketua RT/RW ‘menjerit’ karena mengurus konsekuensi perubahan nama jalan membutuhkan biaya besar dan tenaga. Sebagai pejabat sosial yang tidak bayar dan akan menampung semua keluhan warga, Ketua RT/RW tentu akan ‘ketiban’ tumpukan kerjaan. 

“Di saat dia (Anies) mau selesai injury time jabatannya, keluarkan kebijakan-kebijakan yang aneh-aneh. Padahal, nama jalan itu menyangkut hak publik, Pemprov tidak bisa sewenang-wenang. Kecuali, semuanya dijamin oleh Pemprov,” ucapnya. 

Menurut Trubus, penggantian nama jalan itu pencitraan belaka. Pergantian nama tidak melalui kajian terlebih dahulu, padahal Jakarta merupakan kota metropolitan dengan wilayah yang sudah turun temurun puluhan tahun. Apalagi, pergantian nama jalan di perkampungan yang padat penduduk. 

Merujuk pergantian nama kementerian di era kepresidenan Joko Widodo, biasanya menghabiskan anggaran ratusan miliar rupiah. “Misalnya, Kemendikbud menjadi Kemenristek Dikti itu anggarannya miliar karena harus mengganti seluruh dokumen. Hampir menyentuh diatas 500 miliar,” ujar Trubus. 

Ia menilai, pencitraan Anies melalui pergantian nama jalan itu untuk mencari simpati orang Betawi demi Pemilu 2024 nanti. Ia mengkritik cara Anies menggalang dukungan melalui politik identitas. 

“Jangan politik identitas yang dibenturkan, tetapi ini kan kasihan masyarakatnya. Kalau membawa budaya betawi, misalnya ada yang tidak setuju, dianggap memusuhi budaya Betawi, seperti itu arahnya, memunculkan konflik di bawah. Efek domino dari perubahan itu harus dipertimbangan menjadi dasar pengambilan keputusan,” tutur Trubus. 

Baca Juga:

Saat Suara-suara Dukungan Nama JIS jadi MH Thamrin 

Daftar Puluhan Tokoh Betawi jadi Nama Jalan di Jakarta 

Polisi Buru Petinggi Khilafatul Muslimin di Berbagai Daerah

Share: Di Balik Anies Ganti Nama Jalan dengan Tokoh Betawi