Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengklaim, penetapan perwira tinggi (pati) TNI aktif sebagai penjabat (Pj) kepala daerah dibenarkan undang-undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 dan UU Nomor 5 Tahun 2014.
Kata dia, penetapan itu juga dibenarkan peraturan pemerintah PP Nomor 11 Tahun 2017 dan putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022.
Diketahui, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sulawesi Tengah Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin baru saja diangkat menjadi Pj Bupati Seram Bagian Barat, Maluku.
Menanggapi hal itu, pengamat politik Ujang Komarudin menilai, pengangkatan Pj dari unsur TNI-Polri aktif merupakan kebijakan yang salah arah dan salah kaprah. Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyatakan TNI-Polri aktif tidak akan menjadi Pj kepala daerah pada Rabu (19/1/2022) lalu.
“Artinya, ini bernegara, pemerintah semestinya tidak main-main dengan persoalan Pj ini. Jangan sampai melanggar aturan. Jangan sampai mencari celah atau melangkahi aturan, seolah-olah dia tidak aktif, dan dia ada di BIN,” ucapnya kepada Asumsi.co, Rabu (25/5/2022).
Menurut Ujang, Pj kepala daerah merupakan persoalan menjaga demokrasi, karena rakyat memiliki kedaulatan. Ia menganggap, pengangkatan TNI-Polri menjadi Pj kepala daerah bisa menjadi preseden buruk. Semestinya pemerintah konsisten menjaga demokrasi. Ia berharap, pemerintah tidak mengebiri demokrasi, sehingga wibawanya semakin merosot.
“Jangan mengelola negara dengan cara yang asal-asalan. Jangan sampai negara ini salah kelola,” tutur Ujang.
Sementara itu, pengamat militer Khairul Fahmi mengatakan, pengangkatan Pj kepala daerah dari unsur TNI-Polri merupakan kemunduran agenda reformasi. Sebab, agenda reformasi menuntut peningkatan kualitas demokrasi, hingga itikad membatasi peran militer dalam politik pemerintahan.
Ia mempertanyakan urgensi pelibatan TNI-Polri sebagai Pj kepala daerah. Apalagi, Pj kepala daerah memiliki posisi yang nyaris setara dengan kepala daerah definitif hasil pemilu.
“Perannya ini nyaris setara, cuma Pj kepala daerah masa jabatan dan kewenangannya (dalam) beberapa (hal) dibatasi,” tuturnya saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (25/5/2022).
Penunjukan Pj kepala daerah seharusnya memiliki legitimasi dan mandat dari rakyat.
“Kalau (kepala daerah) definitif kan pemilihan langsung, sedangkan ini (Pj kepala daerah) kan tiba-tiba nongol, ditunjuk, dilantik, ini bagaimana, ini siapa?,” ucapnya.
Ia mengingatkan, argumen operasi militer selain perang (OMSP) tidak cukup kuat untuk membenarkan pelibatan TNI-Polri sebagai Pj kepala daerah. Pengangkatan TNI-Polri sebagai Pj kepala daerah membutuhkan payung hukum yang lebih kuat.
Namun, kata dia, persoalan ini perlu ditilik juga dari segi political will dari rezim atau pemerintah saat ini. Sebab, jika pemerintah tidak mengambil kebijakan kepala daerah dari unsur TNI-Polri, maka tidak akan ada polemik ini.
Disisi lain, TNI-Polri tentu dapat berkilah bahwa mereka bukan menawarkan diri, tetapi diminta untuk mengisi kekosongan jabatan.
“Mereka diundang untuk terlibat. Jadi, saya kira tidak fair kalau kita melihat hal ini dengan menganggapnya bentuk kemunduran reformasi TNI. Yang harus dipertanyakan, apa motif pelibatan TNI-Polri, apakah mereka benar-benar sangat dibutuhkan. Jadi, kan tidak bisa bersandar pada klaim niat baik,” ujar Khairul.
Baca Juga:
Mahfud: TNI-Polri Aktif Jadi Pj Kepala Daerah Tak Langgar Aturan
Mahfud MD Sebut Pemukul Ade Armando Berasal dari Elemen Liar