Komnas Perempuan mencatat RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah mencakup 6 elemen kunci untuk payung hukum penghapusan kekerasan seksual.
Elemen yang diatur: Yaitu, tindak pidana kekerasan seksual, sanksi dan tindakan, hukum acara pidana khusus, mulai dari restitusi, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan pengadilan sampai pelaksanaan putusan.
Kemudian, sistem pelayanan terpadu untuk pemenuhan hak korban, pencegahan dan peran serta masyarakat, serta pemantauan. Bahkan, RUU TPKS juga mengatur kekerasan seksual berbasis elektronik untuk menanggulangi sebagian bentuk kekerasan berbasis gender online.
“Untuk elemen kunci yang belum sepenuhnya terakomodir adalah pada tindak pidana kekerasan seksual yaitu tidak diaturnya pemaksaan hubungan seksual dan pemaksaan aborsi. Yang dijanjikan oleh pemerintah akan diatur dalam RKUHP,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi ketika dihubungi Asumsi, Kamis (7/4/2022).
Perkosaan: Senada, Direktur Eksekutif LBH Apik Jakarta, Siti Mazuma menyayangkan perkosaan tidak masuk dalam RUU TPKS. Padahal, selama ini banyak laporan kasus perkosaan. Alasan DPR dan pemerintah tidak memasukkan perkosaan dalam RUU TPKS, karena akan diatur dalam RKUHP yang dibahas pada Juni 2022 nanti.
Ia berharap DPR dan pemerintah menepati janjinya. Ia berharap DPR dan pemerintah memasukkan perkosaan dalam RKUHP dengan pemaknaan yang tidak sempit lagi. Jadi, harus mengakomodir hak-hak korban perkosaan.
“Kami harapkan di KUHP tidak mempersempit unsur, alasan, bukti, sampai dengan hukum acara, sehingga korbannya tidak lagi sengsara. Pembuktian sendiri, kemudian harus membuktikan dirinya korban perkosaan dan berbagai macam lagi alasan-alasan lainnya yang harus dibuktikan bahwa dia adalah korban perkosaan,” ucapnya.
Aborsi: Mazuma juga menyesalkan RUU PKS tidak mengatur penunjukkan layanan kesehatan untuk korban perkosaan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. Selama ini, akses layanan aborsi sangat susah. Padahal, sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
“Selama ini akses pelayanan tidak bisa didapatkan oleh korban, karena tidak ada penunjukkan mau di rumah sakit mana dan dokter siapa yang berani. Sekarang belum ada, dan ternyata itu juga tidak diatur lagi ke dalam RUU TPKS sebagai bagian dari hak korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan yang tidak inginkan,” tuturnya.
Korban perkosaan: Ia menilai, korban perkosaan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan masih dalam kondisi rentan, karena harus menjalani aborsi ilegal. Apalagi, jika mengalami kriminalisasi karena dituduh membunuh bayinya. Padahal, aborsi merupakan bagian dari hak perempuan.
Harapan: Menurut Mazuma, perkosaan dan akses layanan aborsi sudah diusulkan ke DPR dan pemerintah untuk dimasukkan ke RUU TPKS.
“Kami berharap sih itu tidak dijadikan sebuah tawaran politik atau apalah, karena ini menyangkut nasib korban, pemerintah dan DPR harus benar-benar memperhatikan hak-hak korban kekerasan seksual yang selama ini dibaikan negara,” ujarnya.
Ia berharap, RUU TPKS menjadi payung hukum yang dapat memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Ia juga berharap, negara dapat mempersiapkan aparat penegak hukumnya, sehingga tahu bagaimana harus bersikap, bertindak, dan menghadapi korban perkosaan.
“Kami harapkan ini bisa teraplikasi dengan baik di lapangan tidak hanya berfungsi dalam kertas, tetapi implementasinya. Jadi, kami harapkan benar-benar dikawal betul oleh semua masyarakat yang selama ini sudah bosan karena hampir tiap hari kasus-kasus kekerasan seksual selalu ada,” ucapnya.
Baca Juga:
Fakta-fakta Ayah Perkosa Anak Kandung Hingga Tewas di Semarang