General

Mengenal Tradisi Ziarah Kubur dan Munggahan Sebelum Ramadan

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Antara/Ikhwan Wahyudi

Menjelang bulan suci Ramadan, biasanya masyarakat Indonesia
memiliki tradisi khusus. Ziarah kubur ke taman pemakaman umum (TPU) untuk
mendoakan keluarga atau kerabat yang telah meninggal dunia, hingga menggelar
makan bersama atau munggahan merupakan tradisi yang umum dilakukan.

Soal kedua tradisi ini, tentu muncul pertanyaan dari mana
sebenarnya awal ziarah dan munggahan yang lekat dengan tradisi menyambut
Ramadan. Sebab, banyak dari kita yang mengikuti tradisi ini namun penasaran
dengan akar tradisinya.

Warisan Budaya Lama: Pengamat sosial dari Universitas
Indonesia (UI), Devie Rahmawati, menyebutkan kalau kedua tradisi ini lahir dari
identitas budaya dan sosial masyarakat Indonesia. Terkait ziarah, ia mengatakan
kalau tradisi ini muncul sebagai warisan kebudayaan lama bangsa ini.

“Ziarah itu kan, muncul dari tradisi bangsa Indonesia
bahkan sejak masa kerajaan kuno dengan segala bentuk kepercayaannya yang sangat
menghormati leluhur,” kata Devie kepada Asumsi.co melalui sambungan
telepon, Minggu (27/3/2022).

Ia menambahkan, tradisi ini yang kala itu dijalankan oleh
penganut kepercayaan animisme, bahkan dinamisme menjadi budaya karena dianggap
baik dan dinilai cocok dilebur dengan berbagai agama modern yang dianut oleh
masyarakat.

Bahkan, kata dia penyebaran agama Islam yang dilakukan Wali
Songo pada abad ke-15 masehi menyerap tradisi ziarah yang sebelumnya identik
dengan agama Hindu-Buddha sebagai bagian dari syiarnya.

Memberikan Berkah: Devie menerangkan, sebetulnya ziarah
kubur bisa dilakukan tanpa melulu dikaitkan dengan menyabut Ramadan. Namun,
makna Ramadan sebagai bulan suci, Devie menambahkan menghadirkan pesan
tersendiri bagi umat Muslim.

Doa-doa yang dipanjatkan untuk mereka yang telah mendahului
kita ke akhirat saat menjelang bulan suci, kata dia diyakini bakal menghadirkan
berkah tersendiri bagi yang didoakan maupun yang mendoakan.

“Jadi, meski ini merupakan warisan budaya kerajaan kuno
semisal Majapahit namun tradisi ziarah akan terus relevan untuk masyarakat
kita. Mendoakan, mengingat, dan tetap menghargai kakek, nenek, orang tua atau
yang lain yang sudah meninggal dengan meninggal adalah implementasi sikap sopan
santun yang tidak boleh pudar sebagai identitas bangsa kita,” terangnya.

Silaturahmi: Sementara itu, Devie menjelaskan tradisi
munggahan lahir dari sifat masyarakat Indonesia yang komunal alias senang
berkumpul. Adapun kata “munggah” dari munggahan ini, terang Devie dia
berasal dari bahasa Sunda yang identik dengan tradisi Jawa.

Lebih lanjut, ia mengatakan tradisi munggahan yang dilakukan
masyarakat Indonesia sebetulnya lebih menekankan pada silaturahmi dan saling
mendoakan ibadah puasa masing-masing.

“Munggah ini kan, asalnya dari bahasa Sunda yang
artinya naik. Dikaitkan dengan tradisi ini, naik dimaknai dengan berkumpul dan
makan bersama menjelang bulan suci diyakini mampu menaikkan kebersamaan
kita,” ucapnya.

Mempererat Keluarga: Sosiolog Universitas Indonesia (UI)
Paulus Wirutomo menimpali, tradisi munggahan merupakan bukti bahwa kuliner
merupakan salah satu cara yang selama ini diyakini mampu mempererat kebersamaan
keluarga.

“Makanya kan, ada istilah ngobrol sambil makan. Bahkan,
di dunia politik juga dilakukan tuh, politisi kita sambil makan buat ngobrol
lebih dekat dan mencapai kesepakatan. Ini memang sudah jadi budaya kalau dalam
makan-makan itu bukan hanya untuk memenuhi sisi biologis manusia, tapi ada
aspek sosiologis yang juga dikejar di situ,” katanya saat dihubungi
terpisah.

Baca Juga

Share: Mengenal Tradisi Ziarah Kubur dan Munggahan Sebelum Ramadan