Budaya Pop

1 Maret 1949: Serangan Umum 1 Maret dan Propaganda Soeharto

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Di bulan Desember 1948, Agresi Militer Belanda II membuat Yogyakarta dan beberapa wilayah Indonesia lainnya jatuh ke tangan Belanda. Kondisi ini pun melemahkan posisi Indonesia di mata dunia. Belanda mulai mengeluarkan propaganda-propaganda kalau Indonesia sudah kembali diduduki oleh mereka. Tidak senang terhadap kondisi ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) langsung menyusun strategi untuk memukul balik dan mengambil alih Indonesia dari Belanda. Hal ini dimulai dengan cara-cara sabotase. Sabotase yang dilakukan seperti memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, dan menyerang konvoi Belanda.

Baca Juga: 22 Februari 1987:Istiqlal Diresmikan Jadi Salah Satu Masjid Terbesar

Pukulan balik dari TNI ini membuat Belanda memperbanyak pos-pos di jalanan yang menghubungkan kota-kota di bawah penguasaan mereka. Terpencarnya Belanda membuat TNI lebih yakin untuk melakukan serangan terhadap Belanda, khususnya di kota besar seperti Yogyakarta. Hal ini lah yang menjadi strategi TNI selanjutnya.

Persiapan Pukul Balik Belanda

Di awal Februari 1948,  Letkol. dr. Wiliater Hutagalung selaku Perwira Teritorial ditugaskan untuk membentuk jaringan persiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III. Ia ditunjuk untuk bertemu Panglima Besar Sudirman dan membicarakan perihal propaganda Belanda yang menyebut Indonesia sudah tidak ada. Panglima Besar Sudirman pun langsung menginstruksikan langkah-langkah untuk menghambat propaganda tersebut.

Infografis mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949. Foto: Asumsi.co.

Peran Hutagalung pun kian sentral. Ia langsung memutar otak guna membalas propaganda tersebut. Tujuan utama dari rencana yang ia buat adalah bagaimana menunjukkan eksistensi TNI sekaligus Indonesia ke dunia internasional. Setelah pembahasan yang mendalam, rencana besar yang diajukan Hutagalung pun disetujui. Dalam rencana tersebut, disebutkan adanya serangan spektakuler terhadap satu kota besar. Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng menyarankan untuk kota yang diserang secara besar-besaran adalah Yogyakarta. Terdapat tiga alasan penting di balik pemilihan Yogyakarta ini. Pertama, Yogyakarta kala itu adalah Ibukota RI, sehingga kalau berhasil direbut dari Belanda, akan mendapat perhatian yang besar. Kedua, adanya wartawan asing di Hotel Merdeka, Yogyakarta, delegasi United Nations Commisions for Indonesia (UNCI), dan pengamat militer dari PBB. Ketiga, Yogyakarta termasuk wilayah kekuasaan Bambang sendiri, sehingga tidak perlu persetujuan panglima atau petinggi militer lainnya.

Baca Juga: 14 Februari 1945: Peristiwa Pemberontakan Tentara PETA

Persiapan terkait penyerangan pun dilakukan dengan beberapa rencana spesifik. Pertama, dipersiapkan pemuda berbadan tegap dan lancar berbahasa Belanda, Inggris, atau Perancis. Mereka wajib berseragam perwira TNI. Para pemuda ini dipersiapkan untuk masuk ke Hotel Merdeka dan menunjukkan diri ke tamu-tamu asing yang hadir di Yogyakarta.

Rencana spesifik kedua adalah dunia internasional juga perlu mengetahui serangan TNI secara langsung. Dalam menyebarluaskan berita penyerangan ini, Kolonel TB Simatupang membantu TNI dengan cara menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di di Playen, dekat Wonosari. Ia berharap ketika penyerangan dilakukan, berita mengenai penyerangan ini langsung disebarluaskan.

Perintah mengenai penyerangan ini diturunkan dari pejabat ke pasukan di bawahnya secara langsung. Hal ini dilakukan demi menjaga kerahasiaan. Rencana penyerangan atas Yogyakarta yang berada di wilayah Wehrkreise I akan dipimpin oleh Letkol. Soeharto. Informasi ke Soeharto disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Bambang Sugeng. Setelah persiapan sudah dilaksanakan dengan matang, pada bulan Februari 1949, diputuskan kalau serangan akan dilaksanakan tanggal 1 Maret 1949 pukul 6 pagi. Serangan ini sudah lebih dahulu disetujui oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, selaku Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.

Serangan Diluncurkan

Pos komando dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 ini ditempatkan di desa Muto. Malam sebelumnya, pasukan sudah merayap masuk mendekati kota. Pagi hari sekitar pukul 6, sirene dibunyikan dan serangan pun diluncurkan ke seluruh penjuru kota. Letkol. Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin oleh Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpin oleh Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno, dan sektor kota dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki. Dalam waktu 6 jam, Yogyakarta berhasil diduduki. Pukul 12 siang, sebagaimana telah ditentukan, seluruh pasukan TNI pun mundur dari kota Yogyakarta.

Korban Berjatuhan

Meski dianggap sukses menduduki Yogyakarta, Serangan Umum 1 Maret 1949 ini membuat banyak korban berjatuhan. Pihak Indonesia mencatatkan korban sebanyak 300 prajurit TNI tewas, 53 anggota Polisi tewas, dan tidak terhitung berapa rakyat yang tewas menjadi korban.Sedangkan untuk pihak Belanda, tercatat ada 6 orang yang tewas, 3 di antaranya adalah Polisi dan 14 orang mendapat luka-luka. Ketika Belanda kembali memegang kendali, kondisi perkotaan pun kembali seperti semula.

Propaganda Soeharto dalam Merevisi Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949

Sejarah mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949 ini ternyata tidak luput dari intervensi Soeharto semasa ia menjabat sebagai Presiden. Setidaknya ada dua film dari serangan ini yang dibuat di masa Orde Baru dengan tujuan memperkuat image Soeharto di hadapan masyarakatnya. Film pertama adalah Janur Kuning (1979) yang disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja. Dalam film tersebut, Soeharto digambarkan sebagai tokoh sentral Serangan Umum 1 Maret 1949. Bahkan, pejabat-pejabat yang notabene jabatannya lebih tinggi diperkecil perannya dalam film ini. Jenderal Soedirman dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah dua nama yang seharusnya memiliki peran lebih besar daripada Soeharto. Namun, dalam film tersebut, Soeharto digambarkan sebagai pahlawan yang begitu berjasa dalam menyelamatkan negeri ini dari serangan Belanda, lebih dari dua nama di atas.

Selain Janur Kuning, film propaganda serupa kembali dirilis. Kali ini, film propaganda tersebut berjudul Serangan Fajar (1981). Kedua film ini dibuat dengan tujuan mengoreksi film Enam Djam di Jogja (1951) karya Usmar Ismail yang dinilai menggambarkan Soeharto dengan cara yang biasa-biasa saja.

Share: 1 Maret 1949: Serangan Umum 1 Maret dan Propaganda Soeharto