Dugaan keterlibatan pejabat negara dalam bisnis tes polymerase chain reaction (PCR) kian menjadi perhatian publik.
Terlebih ketika Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) mengajukan aduan ke KPK baru-baru ini.
Di dalam laporannya, PRIMA menyebut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir diduga terlibat bisnis tes PCR.
Perlu Didalami KPK
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan bahwa KPK tidak boleh pilih-pilih dalam mengusut kasus korupsi. Termasuk jika ada dugaan pejabat negara yang terlibat.
Sejauh ini, kata dia, KPK belum membeberkan kepada publik isi laporan dari PRIMA ihwal keterlibatan Luhut Pandjaitan dan Erick Thohir.
Menurutnya, itu perlu dilakukan agar publik turut mengawal jika memang ada dugaan kerugian negara.
“Sepatutnya KPK perlu menyampaikan secara terbuka apa yang ditemukan dan perlu ditindaklanjuti dari laporan tersebut. Jangan sampai ada dalih untuk mengabaikan pengusutan kalau ditemukan unsur kerugian negara atau dugaan gratifikasi,” kata Wana saat dihubungi, Selasa (9/11).
Ancaman Hukuman
Bila ditemukan dugaan tindak pidana korupsi, bisa jadi berupa suap terkait kebijakan yang dibuat pemerintah terkait tes PCR. Bisa pula berupa dugaan gratifikasi yang tidak dilaporkan oleh pejabat.
Keduanya bisa dikenakan pidana dalam Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
“Sesuai temuannya nanti. Kalau gratifikasi bisa dikenakan pasal 12B Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan kalau ditemukan dugaan suap bisa dikenakan ancaman pidana pasal 5 atau pasal 11 Undang-undang Tipikor,” terangnya.
Sanksi di pasal gratifikasi adalah penjara maksimal seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan Pasal 5 Undang-undang Tipikor mengatur ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Ancaman pasal 11 Undang-undang Tipikor adalah pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
“Kalau ada potensi graftifikasi dilakukan pejabat publik, rasanya KPK perlu dan penting menindaklanjuti laporan tersebut,” kata Wana.
Respons Epidemiolog
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko enggan ikut berspekulasi ihwal pejabat negara berbisnis PCR selama pandemi Covid-19.
Dia tidak ingin bicara banyak karena bisa ditafsirkan menuduh pihak tertentu.
Yunis lebih menekankan soal kebijakan penggunaan PCR. Menurutnya, jangan ada kebijakan yang memaksa masyarakat untuk melakukan tes PCR saat berkegiatan di tempat tertentu.
“Intinya buat warga negara kita dibebaskan saja mau memilih antigen atau pcr untuk syarat perjalanan dalam negeri dan di dalam wilayah,” kata Yunis saat dihubungi.
“Bagi warga negara asing yang datang ke Indonesia baru mesti pakai PCR. Buat saya yang penting bijaksana dalam pemanfaatannya,” sambungnya.
KPK Jamin Usut
Sejauh ini, Ketua KPK Firli Bahuri sudah menyatakan pihaknya tidak akan tebang pilih dalam mengusut dugaan korupsi.
Termasuk jika ada dugaan keterlibatan pejabat negara.
“KPK tidak akan pernah lelah untuk memberantas korupsi. Siapapun pelakunya, kita akan tindak tegas sesuai ketentuan hukum. KPK tidak akan pandang bulu, KPK bekerja profesional sesuai kecukupan bukti,” cuit Firli dalam akun Twitternya, Kamis (4/11).
“Terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi termasuk dugaan korupsi Formula-E dan tes PCR, kami sedang bekerja,” lanjutnya.
Baca juga:
Jubir Klarifikasi Luhut Dalam Bisnis Tes PCR
Tak Ada Anggaran, Pemerintah Tidak Akan Gratiskan PCR
Tarif PCR Dianggap Bisa Lebih Murah Jika Tak Ada Kepentingan Bisnis