Beredar isu yang menyebutkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, terlibat dalam bisnis tes polymerase chain reaction (PCR) sejak awal terjadinya pandemi COVID-19 di tanah air.
Isu ini mencuat ke publik, usai munculnya tudingan yang dilontarkan mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Agustinus Edy Kristianto.
Diduga Terafiliasi
Melalui unggahan lewat akun Facebook pribadinya, Agustinus menyebut Luhut yang menjabat Menko Marves dan merangkap jabatan sebagai Koordinator PPKM tentu memiliki peranan sebagai pucuk pimpinan dalam hal kebijakan COVID-19 dan investasi.
Ia mengatakan kalau perusahaan Luhut, PT Toba Sejahtera diduga terafiliasi dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang memiliki unit usaha berbama GSI Lab yang menjual berbagai jenis tes COVID-19. Perusahaan tersebut, disebut menjadi salah satu pemegang saham PT GSI.
Masih di dalam unggahannya, Agustinus mengungkapkan produk-produk tes COVID-19 yang dikelola GSI Lab, antara lain PCR Swab Sameday seharga Rp275 ribu, Swab Antigen seharga Rp95 ribu.
Selain itu, mereka juga menjual produk PCR Kumur yang harganya Rp495 ribu dan S-RBD Quantitative Antibody seharga Rp249 ribu. Ia pun mempertanyakan moral Luhut yang terkesan mencari laba di tengah masa pandemi.
“Sangat tidak bermoral menjadikan jabatan publik sebagai pintu masuk untuk berbisnis memanfaatkan masa pandemi yang menyusahkan rakyat,” katanya.
Bantah Dirikan GSI
Juru Bicara Kemenko Marves, Jodi Mahardi, pun angkat bicara soal isu ini. Ia menegaskan saat ini, saham yang dimiliki Luhut melalui Toba Sejahtra sudah sangat kecil, yaitu di bawah 10 persen. Dengan demikian, menurutnya Luhut tak lagi memiliki kuasa penuh atas operasional perusahaan tersebut.
“Dengan demikian, Pak Luhut tidak memiliki kontrol mayoritas lagi di perusahaan tersebut,” ucapnya kepada Asumsi.co.
Sementara itu, soal tudingan yang menyebutkan Luhut terlibat bisnis tes COVID-19, Jodi menerangkan kalau mantan Menko Polhukam itu memang diajak oleh rekan-rekannya dari Grup Indika, Adaro, dan Northstar Bhakti Persada.
Kala itu, perusahaan-perusahaan tersebut berinisiatif mengajak Luhut untuk ikut membantu menyediakan tes COVID-19 dengan kapasitas tes yang besar. Sebab, di awal masa pandemi hal ini menjadi kendala pada masa-masa awal pandemi ini di Indonesia.
Namun ia menegaskan kalau Luhut bukan merupakan pihak yang menjadi pendiri GSI. GSI, kata dia didirikan atas kesepakatan kolektif. “Jadi total kalau tidak salah ada sembilan pemegang saham di situ. Yayasan dari Indika dan Adaro adalah pemegang saham mayoritas di GSI ini,” ucapnya.
Tak Cari Untung
Jodi membantah kalau perusahaan-perusahaan yang ada di dalam lingkaran GSI berniat mencari laba dari masyarakat melalui tes COVID-19. Sebab menurutnya, perusahaan-perusahaan tersebut sudah memiliki kekuatan bisnis yang baik. Kehadiran GSI hadir dengan menerapkan prinsip kewirausahaan sosial.
“Malah diawal-awal GSI ini gedungnya diberikan secara gratis oleh salah satu pemegang sahamnya agar bisa cepat beroperasi pada periode awal dan membantu untuk melakukan testing COVID-19,” ujarnya.
Lebih lanjut, Jodi memastikan kalau sampai saat ini, tidak ada pembagian keuntungan dalam bentuk dividen atau bentuk lain kepada para pemegang saham di GSI. Keuntungan para pemegang saham, lanjut dia banyak digunakan untuk memberikan test swab gratis kepada masyarakat.
“Malah lebih banyak untuk kegiatan tes swab gratis bagi masyarakat yang kurang mampu dan petugas kesehatan di garda terdepan. Kalau tidak salah lebih dari 60ribu test yang sudah dilakukan untuk kepentingan tersebut, termasuk juga membantu di wisma atlet,” jelas dia.
Pihak Kemenko Marves pun belum terpikir untuk melaporkan tudingan yang dialamatkan Agustinus kepada Luhut ke polisi. Namun Jodi menyanyangkan kemunculan isu ini. “Sangat disayangkan upaya framing seperti ini. Ini berpotensi menyebabkan para pihak yang ingin membantu jika terjadi krisis berfikir dua kali,” tandasnya.
Baca Juga