Kekerasan fisik yang dilakukan anggota Kepolisian Republik Indonesia pada salah satu mahasiswa yang sedang berdemo di Tangerang beberapa waktu lalu, jadi sorotan. Aksi membanting yang membuat si mahasiswa kejang dan pingsan, dinilai publik sebagai tindakan tak profesional.
Selang beberapa hari usai kejadian itu, jagad media sosial kembali viral dengan video pemukulan yang kembali melibatkan aparat. Kali ini, kejadiannya di Sumatera Utara. Seorang pria tampak tak berdaya dipukuli oleh polisi berseragam lengkap di pinggir jalan.
Menanggapi kejadian ini, Wakil Koordinator KontraS, Rivan Lee Anandar menyebut, dua peristiwa yang viral belakangan menunjukkan nyatanya brutalisme aparat pada sipil. Menurut Rivan, dua video itu hanya sedikit dari banyak kejadian yang tidak pernah viral karena tidak disorot kamera.
Terdapat 651 Kasus Kekerasan
Merujuk data KontraS selama Juni 2020 sampai Mei 2021, terdapat setidaknya 651 kasus kekerasan yang dilakukan oleh Polri terhadap masyarakat sipil. Jenis kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah penembakan yang telah menewaskan 13 orang dan 98 luka-luka.
Sedangkan menurut catatan IMPARSIAL, sepanjang 2016-2020 ditemukan setidaknya 76 kasus penyiksaan dilakukan dalam tugas-tugas kepolisian. Dari 76 kasus tersebut, 17 di antaranya terjadi di level Polsek, 51 peristiwa di level Polres, 5 di level Polda, 1 peristiwa oleh Brimob, dan 1 peristiwa oleh Densus 88.
“Sejatinya, banyak peristiwa yang tidak terekam,” ujar Rivan kepada Asumsi.co, Jumat (15/10/2021).
Pemukulan disebut Rivan, menjadi cara yang paling sering dilakukan Polisi kepada masyarakat sipil. Dari data miliknya, pemukulan terdiri dari 57 temuan. Belum lagi kekerasan lain seperti pencambukan (11 temuan), ditodong atau diancam dengan senjata (6 temuan), disetrum (4 temuan) dan cara-cara lainnya. Berdasarkan data KontraS juga, diketahui setidaknya 25 orang telah meninggal dunia akibat praktik ini.
“Penting untuk digarisbawahi bahwa, data tersebut merupakan puncak gunung es dari praktik kekerasan dan penyiksaan yang terjadi di Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih terdapat kasus-kasus lainnya yang terjadi, namun tidak terjangkau pemberitaan media maupun pemantauan kami,” ucap dia.
Hukuman Tidak Membuat Efek Jera
Catatan rangkaian brutalitas polisi juga menunjukkan bahwa persoalan tersebut bukan hanya persoalan individu anggota semata, tetapi juga persoalan sistemik yaitu kultur kekerasan yang masih kuat di dalam tubuh kepolisian.
Masalah juga jadi makin sulit diputus karena mekanisme pengawasan yang lemah, dan model penghukuman tidak membuat efek jera bagi polisi yang melakukan pelanggaran.
“Karena hal tersebut, peristiwa kekerasan mulai dari penangkapan sewenang-wenang sampai pembantingan kemarin terus berulang. Ke depan, jika ini tidak dijadikan titik perubahan, bukan tidak mungkin akan ada bentuk kekerasan lain dan baru pada masyarakat sipil,” ucap Rivan.
Ia menyatakan, berdasarkan kondisi ini pula, hendaknya agenda reformasi Polri harus segera dituntaskan. Kepemimpinan agenda reformasi itu ada di tangan Presiden dan DPR RI.
Percepatan Agenda Reformasi Kepolisian
Dalam sikap bersama Koalisi Reformasi Sektor Keamanan yang di antaranya diisi oleh KontraS, Rivan menyebut, percepatan agenda reformasi kepolisian harus segera dilakukan dengan merevisi berbagai undang-undang. Baik yang berhubungan dengan aspek kultural, struktural, hingga instrumental. Revisi ini dapat dimulai dari revisi UU Kepolisian, KUHAP, dan berbagai aturan yang bersinggungan lainnya.
“Presiden dan DPR RI untuk segera merevisi undang-undang yang berhubungan dengan kewenangan besar dari Kepolisian dengan tujuan memberikan pengawasan dan kontrol yang efektif terhadap kewenangan besar Kepolisian tersebut, dengan setidaknya segera mendorong pembahasan RUU Hukum Acara Pidana (RKUHAP), RUU Kejaksaan, dan undang-undang lain yang berhubungan,” tuturnya.
Presiden dan DPR juga harus memerintahkan Kapolri untuk melakukan evaluasi menyeluruh, dan mengambil langkah perbaikan bagi pelaksanaan tugas kepolisian yang mengedepankan prinsip-prinsip pemolisian demokratik, serta penghormatan hak asasi manusia.
Petugas yang melakukan tindak kekerasan, harus segera ditindak melalui proses peradilan pidana yang transparan. Sehingga, bisa menjadi bagian komitmen dari penegakan hukum di tubuh internal kepolisian.
“Kapolri melakukan evaluasi terhadap aturan internal. Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian sebagai aturan pengamanan demonstrasi perlu direvisi dengan memasukan aturan sanksi yang tegas dan kewajiban untuk memproses pidana bagi anggota yang terbukti melakukan pelanggaran protap dan pidana, “ ujar Rivan.
“Selain itu, Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar HAM dalam Tugas Kepolisian perlu direvisi dengan menyertakan lampiran SOP terkait tugas-tugas pemolisian yang demokratis,” sambungnya.
Perlu Adanya Perbaikan Proses Pendidikan Kepolisian
Kapolri dituntut memperbaiki proses pendidikan untuk mengakhiri budaya kekerasan yang selama ini masih kuat di kepolisian. Anggota kepolisian sudah harus meninggalkan cara pandang lama yang melihat dirinya sebagai ‘penghukum’.
“Anggota Polri harus menyadari bahwa tugasnya adalah memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat. Karenanya, anggota kepolisian tidak dibenarkan memberikan penghukuman apalagi dengan cara-cara kekerasan kepada masyarakat,” terang Rivan.
Ia juga meminta agar presiden membentuk sebuah tim independen percepatan reformasi di kepolisian, yang bekerja langsung di bawah presiden. Hal itu untuk memastikan perubahan terjadi di semua lini kepolisian.
Polisi Perlu Menghormati Hak Asasi Manusia
Sementara itu, lewat pernyataan tertulis yang diterima Asumsi.co, Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menyebut, dalam melakukan tindakan, Polisi harusnya menggunakan pendekatan humanis bukan kekerasan.
Dalam menghadapi aksi unjuk rasa dan pembubaran massa misalnya, polisi hendaknya tetap menghormati hak asasi manusia. “Tidak boleh ada kekerasan berlebihan,” kata Poengky.
Ia menyebut, kejadian yang terjadi belakangan juga mesti ditindaklanjuti dengan pemeriksaan terhadap anggota yang melakukan kekerasan. Lebih jauh lagi, Polri juga harus lebih giat memberi pendidikan terhadap anggota dalam menindak.
Apalagi, Polri punya Perkap 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan, dan Perkap 8 tahun 2009 tentang Implementasi Standar dan Prinsip HAM dalam pelaksanaan tugas Polri.
“Mindset-nya perlu diluruskan, bahwa dalam menghadapi demonstran, polisi harus bertindak bijaksana,” ucap dia.
Asumsi.co telah mencoba menghubungi Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Ahmad Ramadhan mengenai hal ini. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada respons dari Ahmad.
Baca Juga:
Mahasiswa Korban Dibanting Polisi Dibawa ke Rumah Sakit
Deret Sikap Polri Usai Anggota Terbukti Banting Mahasiswa Hingga Kejang
Mabes Polri Tak Akan Ambil Alih Kasus Pencabulan di Luwu Timur