Bagi Fadli Zon, mengkritik pemerintah mungkin sudah jadi kebiasaan sehari-hari. Apa pun yang pemerintah lakukan, selalu saja ada celah baginya untuk dikomentari. Terkini, ia menyebut sejumlah penyesuaian dalam PPKM Level 4 sebagai hal yang tidak dipikirkan secara matang.
Politisi Partai Gerindra ini memang kadung punya citra tukang kritik. Citra ini bukan baru disematkan kepada Fadli kemarin sore. Mulut pedasnya mulai mentereng saat ia menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI di periode lalu.
Tak sendiri, ia seolah jadi tandem untuk Fahri Hamzah yang punya kebiasaan serupa. Di periode yang sama, Fahri juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI dari fraksi PKS.
Beberapa Komentar Fadli
Komentar Fadli di tahun ini yang cukup keras gaungnya adalah soal penangkapan mantan pentolan Front Pembela Islam, Munarman. Lewat akun twitter-nya @fadlizon, ia menyebut penangkapan yang dilakukan polisi pada eks advokat YLBHI itu kurang kerjaan.
“Saya mengenal baik Munarman dan saya tidak percaya dengan tuduhan teroris ini. Sungguh mengada-ada dan kurang kerjaan,” kata Fadli.
Ia juga bereaksi saat terjadi polemik Tes Wawasan Kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi yang dianggap melemahkan lembaga anti-rasuah itu. Menurutnya, pertanyaan diskriminatif yang ditanyakan asesor kepada pegawai KPK menggangu privasi dan jadi bentuk kemunduran dalam berbangsa.
“Sejumlah pertanyaan itu tak ada hubungan dengan integritas. Malah bisa menganggu ranah privat kebebasan jalankan ajaran agama dan keyakinan yang dijamin konstitusi,” cuit Fadli.
Baru-baru ini ia juga menyindir kerja intelijen di Indonesia terkait informasi demo “Jokowi End Game” yang ternyata tidak pernah terjadi. Lagi-lagi lewat akun Twitter-nya, Fadli menyebut kepanikan aparat soal demo “Jokowi End Game” bikin malu dunia intelijen.
“Memangnya tak ada intel lagi, kok bisa heboh Demo “Jokowi End Game” tapi tak ada demonya. Apakah ini gladi resik?” cuitnya.
Kontradiktif
Celoteh miring Fadli pada kebijakan dan tindakan pemerintah, saat ini mungkin terdengar kontradiktif. Musababnya, Gerindra, partai Fadli bernaung, bukan lagi partai oposisi sebagaimana periode 2014-2019.
Alih-alih lawan politik Joko Widodo, Gerindra kini cenderung mesra dengan rezim yang tengah menjalani periode kedua kepemimpinannya ini. Apalagi setelah ketua umumnya, Prabowo Subianto didapuk sebagai Menteri Pertahanan RI.
Lalu apa arti kritik-kritik yang dilontarkan Fadli? Tidakkah ada peluit dari partai yang mengingatkan Fadli?
Asumsi mencoba melayangkan pertanyaan ini kepada Fadli. Baik melalui pesan singkat maupun telepon. Namun hingga berita ini diturunkan, tidak ada respons dari Fadli.
Kendati demikian, kalau melacak sejumlah pemberitaan, alasan Fadli tetap kritis meski partainya berkoalisi dengan pemerintah cukup retoris. Menurutnya, sikap ini adalah untuk menjalankan perannya sebagai anggota dewan.
Mengutip wawancara Fadli dengan Rosiana Silalahi yang diunggah di laman YouTube Kompas TV, Fadli menyebut sebagai negara yang menganut sistem presidensil, sudah semestinya DPR sebagai kamar legislatif “Beroposisi” kepada eksekutif.
“Supaya ada check and balances. Mengawasi,” kata Fadli.
Menurut dia, kritik yang ia lontarkan tak berhubungan dengan posisi Prabowo di kabinet. Soalnya, keberadaan Prabowo di Kementerian Pertahanan sudah tepat sesuai dengan kecakapan mantan Jenderal Kopasus itu.
“Tapi bukan berarti suara itu harus dibungkam. Kita itu kan dipilih oleh rakyat, konstituen,” kata dia.
Fadli juga menyebut meski kerap melontarkan kritikan pedas pada kebijakan-kebijakan pemerintah, hingga saat ini tidak pernah ada teguran yang dilayangkan partai secara langsung kepadanya. Menurutnya, ini tak lepas dari sosok kepemimpinan Prabowo yang demokratis di Gerindra.
Ia juga menampik anggapan bahwa dirinya sengaja dipajang sebagai tukang kritik, untuk menjalankan politik dua kaki Gerindra. Satu sebagai koalisi di kabinet, sementara Fadli menjadi kaki lain yang bergerak sebagai oposan.
“Kaki Gerindra memang selalu dua, kan biar bisa jalan harus dua. Tapi bukan berarti dua kaki dua muka. Enggak. Kita kan harus memperjuangkan aspirasi rakyat di DPR itu,” ucap Fadli.
Untuk Amankan Suara?
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyebut celoteh miring Fadli di tiap momen yang terjadi bisa ditafsirkan banyak sekali. Menurutnya, bisa saja aksi Fadli disengaja agar Gerindra bisa main di dua kaki. Namun, bisa juga tindakan itu berarti sebaliknya.
Kendati demikian, terlepas dari disengaja atau tidak, ada hal positif yang bisa diraup oleh Gerindra terkait sikap Fadli. Menurutnya, sikap seperti Fadli tetap dibutuhkan, karena jika Gerindra hanya manut dan larut dalam koalisi pemerintah, maka elektabilitas Gerindra bisa turun.
“Makanya mesti ada kader yang tugasnya mengkritik pemerintah, agar dapat simpati publik,” kata Ujang kepada Asumsi.co.
Apalagi di era kepemimpinan Jokowi, oposisi di Indonesia tidak bisa berjalan mulus. Selain karena jumlahnya yang sedikit, saat mereka vokal pun keburu dilawan oleh partai-partai pendukung Jokowi yang jumlahnya lebih banyak.
Ujang pun tak memungkiri, langkah-langkah alternatif yang mungkin dilakukan oleh Gerindra lewat Fadli punya peran sebagai penyeimbang yang ujungnya adalah elektabilitas di 2024.
“Bisa aja muaranya ke sana,” ucap Ujang.
Ujang menambahkan, karena meski benar Gerindra main di dua kaki, apa yang dilakukan oleh Fadli saat ini cukup punya gaung. “Cukup lumayan berpengaruh. Dan itu bisa saja dijaga oleh Gerindra,” kata Ujang.