Poster digital berisi ajakan untuk tidak membaca, mengunggah, dan membagikan berita tentang Covid-19 tiba-tiba banyak beredar di media sosial dan aplikasi percakapan WhatsApp.
Berdasarkan penelusuran ada beberapa daerah yang dicatut dalam poster itu, yakni Gresik, Lamongan, Bojonegoro, Sumenep, Purbalingga, Banyumas, Semarang, Majalengka, Yogyakarta, hingga Cirebon.
Sepintas poster tersebut miliki kemiripan karena mengatasnamakan warga di sejumlah daerah. Kemiripan lain terletak dari kalimat ajakan yang disampaikan dalam poster. Intinya, warga diminta tidak mengunggah berita tentang Covid-19 agar tenang dan tentram.
Ada aktor penggerak
Ajakan terkait hal itu juga mendapat sorotan dari putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gusdur, yakni Alissa Wahid. Lewat akun Twitter @AlissaWahid, dia curiga kenapa kampanye itu terjadi secara serentak. Dia mempertanyakan siapa oknum dibalik poster itu.
“Saat berkendara di jalan raya lalu ada kendaraan ugal2an bergerak dg kecepatan tinggi di belakang saya ke arah saya, apakah menutup mata saya akan membuat bahaya berkurang karena saya tidak melihatnya? Ini kenapa kampanye-nya serentak ya? Siapakah penggeraknya?,” kicau Alissa.
Pemerintah daerah yang dicatut dalam poster itu telah mengeluarkan bantahan, misalnya Pemda Gresik. Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat dan Dokumentasi Kabupaten Gresik, Su’udin menyampaikan bahwa pihaknya tidak terkiat dengan poster itu.
Dia justru menyampaikan Pemda Gresik mendukung adanya pemberitaan mengenai Covid-19.
“Poster itu disebarkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Kami juga akan menindaklanjuti ke satuan tugas Covid-19 Pemda, “ ujar Su’udin kepada Asumsi.co.
Melansir Antara, Polda Jawa Timur sedang mendalami dan menelusuri siapa yang pertama kali menyebarkan ajakan tersebut. Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Gatot Repli Handoko mengatakan pihaknya juga telah berkoordinasi dengan Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur untuk menelusuri penyebaran dari poster tersebut.
“Sedang didalami Satuan Tugas Penegakan Hukum Aman Nusa II Polda Jatim,” ujar Gatot, dikutip dari Antara, Kamis (15/7/2021).
Propaganda keliru
Aliansi Jurnalis Independen menyatakan ajakan itu merupakan bagian dari propaganda keliru yang bisa membahayakan keselamatan publik. Pasalnya, ajakan tersebut disampaikan di saat wabah terjadi meluas dan menyebabkan warga sulit mendapatkan layanan fasilitas kesehatan yang sudah penuh pasien.
“Ajakan ini bisa menyebabkan masyarakat terjebak pada rasa aman palsu (toxic positivity), yang justru akan membuat mereka abai dengan protokol kesehatan,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito Madrim dalam keterangan pers secara tertulis yang diterima Asumsi.co.
Baca Juga: Aksi Massa: Psikologi dan Propaganda dalam 5 Babak | Asumsi
Sasmito menuturkan informasi yang akurat mengenai skala penularan dan dampak dari pandemi sejatinya dibutuhkan warga untuk membangun kesiapsiagaan. Selain itu, tindakan publik mengunggah berita juga bagian hak kebebasan berekspresi yang telah dijamin oleh UUD.
Pasal 28F menyampaikan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Terkait hal itu, AJI mengecam penyebaran seruan itu karena dapat membahayakan keselamatan dan berpotensi membuat publik tidak mendapatkan informasi yang tepat.
Seruan ini juga dinilai merupakan bentuk pelecehan terhadap jurnalis dan karya jurnalistik karena dinilai sebagai penyebab turunnya imun seseorang dalam situasi pandemi. AJI mengingatkan jurnalis profesional selalu mematuhi Kode Etik Jurnalistik dalam bekerja.
“Kendati demikian, masyarakat yang merasa dirugikan pemberitaan dapat meminta hak jawab dan hak koreksi, serta melapor ke Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pers,” kata Sasmito.
Upaya bungkam kritis media
AJI juga melihat seruan ini sengaja dipropagandakan untuk membungkam upaya kritis media dalam memberitakan fakta-fakta mengenai pandemi dan penanganannya di Indonesia. Pemerintah, terutama Kementerian Komunikasi dan Informatika diminta meluruskan mengenai hal ini.
Dewan Pers juga diminta segera menyikapi serangan-serangan terhadap jurnalis dan pers nasional dalam pandemi Covid-19 yang semakin masif dan mengancam kebebasan pers.
Baca Juga: Belajar dari Obor Rakyat dan Indonesia Barokah: Bisakah Media Cetak Jadi Alat Propaganda? | Asumsi
Awal bulan lalu (5/7) misalnya, AJI menemukan laporan bahwa kepolisian Indonesia atau Humas Polda Bengkulu memberikan stempel hoaks terhadap berita 63 pasien meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) DR. Sardjito Yogyakarta, akibat kelangkaan oksigen.
“Stempel hoaks atau informasi bohong terhadap berita yang terkonfirmasi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme profesional, yang telah menyusun informasi secara benar sesuai Kode Etik Jurnalistik. Dewan Pers perlu berkoordinasi secepatnya dengan aparat penegak hukum untuk menghentikan kekerasan terhadap jurnalis yang mengancam kebebasan pers dan membahayakan keselamatan publik,” ujar Sasmito.