Lama tidak terdengar kabarnya, RUU KUHP kini sudah disahkan
 oleh DPR pada tingkat I. Sempat ditentang habis-habisan pada aksi September
 2019 lalu, pembahasan RUU KUHP memang sempat ditunda. Namun, di tahun ini,
 pembahasan RUU KUHP akan dilanjutkan.
Dengan sudah disahkannya RUU ini pada tingkat I, maka
 tinggal satu langkah di sidang paripurna lagi untuk mengesahkan drafnya.
 Pemerintah sendiri saat ini sedang menyosialisasikan draf tersebut ke berbagai
 daerah di Indonesia.
Pada 2019, RUU KUHP ditentang karena banyak muatannya yang
 berpotensi mengkriminalisasi masyarakat. Banyak pula urusan privat yang jika
 RUU KUHP ini menjadi UU, maka akan terancam pidana.
Dari banyak muatan yang dibahas, salah satu yang menjadi
 sorotan di antaranya urusan ranjang.
Draft RUU KUHP yang sedang dibahas memperluas cakupan
 definisi zina. Dalam Pasal 418 RUU KUHP, pasal zina adalah siapa pun yang hidup
 sebagai suami-istri di luar perkawinan akan dipidana dengan pidana penjara
 paling lama enam bulan dengan denda kategori II yakni maksimal Rp10 juta.
Baca juga: Sederet Pasal di RKUHP Ini Bisa Bikin Wartawan Dipenjara
Ini berbeda definisi dengan KUHP yang digunakan saat ini.
 Mengutip detik, dalam KUHP sekarang, delik zina hanya dikenakan jika salah satu
 atau kedua pelaku hubungan di luar nikah terikat dengan perkawinan yang sah.
 Bila kedua pasangan sama-sama masih lajang dan dewasa, meski hidup bersama
 tanpa ikatan pernikahan maka tidak kena delik.
Sementara dalam draft RUU KUHP yang sedang dibahas, pelaku
 hidup bersama tanpa ikatan pernikahan bisa diadukan oleh suami, istri, orang
 tua, atau anaknya. Kepala desa juga bisa mengadukan pelaku yang diduga
 melakukan tindakan itu selagi ada izin dari keluarga pelaku. Pengaduan ini bisa
 dicabut kapan pun sepanjang sidang belum dimulai.
Lain dari itu, adalah ancaman pidana untuk perilaku oral
 seks. Ini terjadi karena pasal perkosaan ikut mengalami perluasan.
Dalam Pasal 285 KUHP yang digunakan saat ini, perkosaan
 haruslah dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang bukan istrinya.
 Sementara makna persetubuhannya adalah masuknya penis terhadap vagina.
Dalam RUU KUHP, makna ini diperluas dengan oral seks yang
 masuk pada tindak pidana perkosaan. Ini kena baik kepada orang yang memasukkan
 alat kelaminnya ke mulut orang lain atau sebaliknya: memasukkan kelamin orang
 lain ke mulutnya sendiri.
Memasukkan bagian tubuh yang bukan alat kelamin atau suatu
 benda ke dalam alat kelamin juga dianggap tindak pidana perkosaan. Hukumannya
 maksimal 12 tahun.
Sewenang-wenang
Menanggapi ini, peneliti Institute Criminal for Justice
 Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menyebut kalau draft yang dibawa keliling oleh
 pemerintah saat ini adalah draft yang sama dengan draf RKUHP yang ditentang
 pada 2019. Tidak ada beda.
“Jadi demokrasi kita ya sama saja,” kata Maidina
 kepada Asumsi.co.
Padahal, sejak 2019, sejumlah LSM termasuk ICJR sudah
 mengingatkan kalau upaya memasukkan urusan privasi pada delik pidana adalah
 sikap yang sewenang-wenang. Beberapa yang dikritisi di antaranya penambahan
 pihak pengadu yakni kepala desa dalam pasal zina. Menurut ICJR, ini akan
 menimbulkan overkriminalisasi pada pihak yang melakukan persetubuhan di luar
 perkawinan.
Baca juga: Mengapa Pengesahan RKUHP Perlu Ditunda
Pasal ini juga bisa menimpa mereka yang kesulitan akses
 pada dokumen perkawinan resmi seperti masyarakat adat. Mengutip data ICJR, ada
 40 hingga 50 juta masyarakat adat dan 55%  pasangan menikah di rumah
 tangga miskin yang selama ini masih kesulitan memiliki dokumen perkawinan
 resmi.
Dampak lain adalah akan semakin meningkatnya perkawinan
 muda. Ini dilakukan dengan alasan menghindari hukuman penjara. Namun, hal ini
 akan berakibat pula pada usia kehamilan yang terlalu muda.
Melihat satu pasal ini saja, ICJR sudah melihat celah
 masuknya kesewang-wenangan negara pada urusan privat warganya. Oleh karena itu
 ICJR dengan tegas menolak ketentuan-ketentuan yang masuk ke RKUHP dan mendorong
 Pemerintah serta DPR untuk kembali membahas secara terbuka khususnya terkait
 pasal-pasal dalam RKUHP baik yang bersifat overkriminalisasi maupun yang masih
 bermasalah lainnya dengan mengedepankan pendekatan berbasis bukti.
”Kalau kerja pemerintah tidak memperbaiki ini ya
 harusnya bukan sosialisasi namanya,” kata dia.
Ya, kita boleh berdebat tentang norma. Namun, jika semua
 ancamannya pidana, maka bukan tidak mungkin lembaga pemasyarakatan yang
 sekarang sudah sangat sesak semakin sesak. Perkaranya, cuma karena mudahnya
 negara memasukkan warganya ke penjara.