Misi
bersama antara Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) dengan
Agensi Antariksa Eropa (ESA), yang mengirim wahana lewat program Solar Orbiter, berhasil menangkap cuplikan pertama ledakan Matahari. Apa pengaruh ledakan
Matahari ini bagi Bumi?
Pemandangan
Menakjubkan
Melansir Space.com, wahana
tersebut diluncurkan pada 10 Februari 2020. Fenomena ledakan matahari terjadi
saat mereka melakukan pendekatan pertamanya ke Matahari. Data yang terlihat dari
ledakan matahari ini, menurut para peneliti NASA, ialah dua pelepasan lontaran
massa Matahari atau coronal mass ejections (CME),
yang terjadi ketika sang bintang raksasa memuntahkan gumpalan besar atmosfernya
ke luar angkasa.
Saat peristiwa itu terekam, lokasi wahana
berada sekitar setengah jarak dari Matahari dengan posisi Bumi berada pada sisi
yang berlawanan. Lokasi ini menunjukkan Solar Orbiter mampu memperlihatkan
bagian-bagian Matahari yang benar-benar tidak terlihat oleh para ilmuwan dari
pemantauan di Bumi. Kini para ilmuan tengah meneliti lebih lanjut hasil dari
temuan tersebut.
Baca juga: Misteri Baru Venus: Perbedaan Waktu Super Lama Hingga Sinyal Misterius | Asumsi
“Ini adalah peristiwa pertama yang
diamati oleh instrumen Solar Orbiter Heliospheric Imager (SoloHI), yang merekam
aliran materi yang meledak dari matahari. Instrumen itu hanya mengumpulkan data
secara kebetulan, ketika SoloHI mengamati dengan hanya satu dari empat
detektornya. Secara sporadis, hanya 15% sesering itu terjadinya dan kami akan
mengumpulkan data selama misi utama,” kata pihak NASA sebagaimana dilansir
dari Space.com.
Instrumen tersebut, lanjut mereka, mampu
menangkap pemandangan yang sangat menakjubkan dari salah satu lontaran massa
Matahari yang terekam pada 12 Februari dan 13 Februari. “Masing-masing
dari tiga instrumen di Solar Orbiter berfokus pada wilayah yang berbeda, sehingga
pemandangannya membentang 20 kali dari lebar permukaan matahari yang
terlihat,” imbuh ESA.
Ada tiga pesawat ruang angkasa lain yang
mengamati peristiwa serupa, yakni STEREO-A NASA, Proba-2 ESA dan misi gabungan
Solar and Heliospheric Observatory (SOHO). Secara keseluruhan, pengamatan
keempat misi tentang CME menawarkan semacam perspektif global tentang matahari
dan sekitarnya yang sejauh ini sulit ditemukan oleh para ilmuwan.
“Seperti jenis cuaca antariksa,
kategori luas efek di seluruh tata surya yang disebabkan oleh lontaran massa
Matahari menjadi minat para ilmuwan dan ahli karena dapat berpotensi merusak
pesawat ruang angkasa serta membahayakan astronot yang tidak terlindungi,
terutama di luar orbit Internasional dan stasiun ruang angkasa,” jelas
NASA.
Sejauh ini, para ilmuwan memiliki
kemampuan terbatas untuk memantau dan memprediksi cuaca luar angkasa. Oleh
sebab itu, misi Solar Orbiter membuat para ahli antariksa antusias untuk
mendalami lebih jauh cara kerja matahari.
Keunikan Solar Orbiter, kata NASA, disebabkan orbitnya yang
miring selama menjalankan misinya. Hal ini memungkinkan para ilmuwan untuk
menggambarkan kutub Matahari untuk pertama kalinya.
Ledakan
Matahari Berpotensi Rusak Satelit
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin mengatakan, sejauh ini Solar Orbiter
merupakan wahana penelitian Matahari yang sejauh ini berhasil meneliti
aktivitas Matahari dari jarak yang relatif dekat.
“Selama ini ada wahana lain juga
tapi masih relatif jauh. Sebenarnya, peristiwa lontaran massa Matahari atau CME
ini sudah sering diamati dari Bumi dan dari wahana pengamatan Matahari yang
lainnya. Namun ini sebetulnya peristiwa pertama yang berhasil direkam Solar
Orbiter dari jarak yang dekat,” jelas Thomas kepada Asumsi.co melalui
sambungan telepon, Kamis (20/5/21).
Baca juga: Misi di Mars, Babak Baru Rivalitas AS-Cina | Asumsi
Ia menjelaskan CME merupakan salah satu
peristiwa yang menjadi bagian dari fenomena badai Matahari. Secara umum, kata
dia ada dua penyebab yang memicu terjadinya badai Matahari.
“Pertama CME dan kedua flare atau ledakan di Matahari. Semuanya terjadi karena
aktivitas magnetik di permukaan matahari. Jumlah ledakan di Matahari atau
kondisi Matahari aktif, ditandai dengan jumlah bintik Matahari kemudian
biasanya dari area bintiknya timbul yang disebut lontaran masa matahari maupun flare,” terangnya.
Thomas menyebut kedua peristiwa ini
menjadi pemicu utama terjadinya fenomena badai matahari yang mampu mempengaruhi
kondisi di Bumi, khususnya terkait dengan gangguan pada satelit. Bila satelit
yang ada di luar angkasa terkena badai Matahari, maka sistem yang ada di
dalamnya bisa terganggu.
“Kalau satelit kena badai Matahari,
terpapar paritkel enegetik Matahari seperti lobtaran CME, itu mengandung banyak
sekali proton dan elektron yang bisa mengganggu sistem elektorinik satelit
tersebut. Sebelum tahun 1990 banyak terjadi pada satelit dan penelitian cuaca
antariksa akhirnya semakin intensif dilakukan,” tuturnya.
Oleh sebab itu, menurutnya, penelitian
terkait CME dan flare sangat penting, termasuk memprakirakan peristiwanya dapat
terjadi. “Dengan begini para operator satelit bisa siap-siap,”
ucapnya.
Apa
Pengaruhnya ke Bumi?
Selain bisa merusak satelit, Thomas
mengatakan lontaran maupun ledakan massa Matahari juga bisa masuk ke Bumi dan
menyebabkan ledakan pada suplai energi listrik yang ada di suatu wilayah bila
tak diantisipasi dengan baik.
“Wilayah Bumi yang kemungkinan
berpengaruh misalnya wilayah belahan utara dekat Kutub. Partikel energetik
proton atau elektron memasuki Bumi melalui Kutub, sehingga wilayah sekitar
Kutub harus waspada. Ada
kejadian ketika terjadi flare, partikel energetik Matahari masuk ke Bumi
menyebabkan induksi pada muatan berlebih, sehingga terbakar kayak yang terjadi
di Quebec, Kanada, pada tahun 1989 itu ada suplai energi listrik di sana
akhirnya terbakar dan tentu mempengaruhi pasokan listrik untuk wilayah yang
cukup luas,” ujarnya.
Thomas menambahkan, secara umum misi
pengamatan Matahari berbasis antariksa seperti yang dilakukan Solar Orbiter
juga melakukan pemantauan terhadap sumber-sumber badai Matahari yang biasanya
kemudian dilanjutkan pada pengamatan badai magnetik dan badai ionosfer.
Baca juga: Disebut Gerbang Alam Semesta, Anuradhapura Jadi Perhatian Ilmuwan | Asumsi
“Artinya medan magnet bumi akan
terganggu karena badai Matahari dan di ionosfer juga akan terganggu. Jadi
selain operasional satelit yang kemungkinan terpengaruh, badai
Matahari bisa berpengaruh pada semua aktivitas yang terkait medan magnet
Bumi, seperti survei geologi juga akan mengalami gangguan. Kemudian juga yang
terkait satelit GPS untuk penentuan posisi karena sinyalnya melalui ionosfer
dan bila terganggu, maka otomatis sinyal GPS juga mengalami gangguan,”
jelas dia.
Di samping itu, radio dengan frekuensi
tinggi (high frequency/HF)
yang gelombangnya disalurkan lewat ionosfer sebagai pemantul radio juga bisa
mengalami gangguan bila terjadi CME atau flare.
“Dua kejadian ini kan bisa
menyebabkan ionosfer berubah ketebalannya, sehingga ketinggian ionosfer yang
memantulkan gelombang radio juga akan berubah. Contohnya, komunikasi dari
Jakarta ke Papua yang menggunakan frekuensi tinggi atau HF kalau frekuensinya
tidak diubah maka bisa tidak sampai. Itu sebabnya dilakukan prakiraan ulang
kalau terjadi gangguan ionosfer dan seberapa besar gangguan ini terjadi karena
akttivitas Matahari,” tuturnya.
Gangguan radio HF yang disebabkan
aktovitas Matahari inilah yang menjadi bagian penelitian LAPAN. Prakiraan ulang
frekuensi dilakukan dengan mengukur kembali panjang gelombang yang paling
efektif digunakan untuk komunikasi bila terjadi gangguan pada ionosfer.
“Itu yang dilakukan LAPAN,
memprakirakan frekuensi komunikasi radio HF dengan memperhatikan cuaca
antariksa. Radio dengan frekuensi HF, di Indonesia masih banyak digunakan instansi
seperti TNI dan Polri juga instansi-instansi daerah karena pertimbangan
menggunakan komunikasi satelit, biayanya mahal dan ada wilayah tertentu yang
sinyalnya kurang bagus. Maka radio HF masih digunakan. Komunikasi bisa sangat
terganggu jika ada aktivitas Matahari semacam ini,” tandasnya.