Masih ingat sama foto pengendara sepeda motor berpelat kendaraan AA yang mengacungkan jari tengahnya di depan kelompok pesepeda road bike yang bikin viral di Twitter? Foto itu viral karena para pesepeda diketahui mengambil jalur tak sebagaimana mestinya. Perilaku para pesepeda road bike sampai saat ini kerap menjadi sorotan publik, khsususnya sikap dan etika mereka saat berinteraksi dengan pengguna kendaraan lainnya di jalanan. Hal ini membuat mereka sering dicap publik sebagai pengguna jalan yang arogan dan suka melanggar aturan. Masa sih?
Suka Lupa Diri di Jalan
Ketua komunitas Kompas Gramedia Cyclist (KGC), Rokhmat Prasetyo Nugroho menyayangkan munculnya persepsi publik semacam ini yang ditujukan buat para pesepeda road bike.
Menurutnya, secara perilaku sebenarnya para pengendara sepedea di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta umumnya menyamakan dirinya dengan pejalan kaki.
“Pesepeda di Jakarta misalnya, cenderungnya mengalah dan merasa lemah seperti pejalan kalau dia bersepedanya sendirian,” kata Rokhmat kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Kamis (1/7/21).
Namun ia mengakui, banyak para pesepeda bisa mendadak merasa sok jago di jalan jika gowes berkelompok dan terkadang, suka lupa diri dengan etika berlalu lintas.
“Kalau sudah ramai-ramai, sikap mereka berubah. Enggak lagi tuh, merasa pengguna jalan yang lemah. Kalau sepeda sendirian takut karena secara alamiah mereasa kurang terlindungi dari segi keamanan, jadi lebih hati-hati. Saat ramai-ramai mereka langsung merasa punya power,” terangnya.
Menurutnya, penyebab banyaknya pesepeda yang mendadak jadi sok berkuasa di jalan saat bersepeda bareng komunitasnya karena egonya hanya peduli pada kelompoknya.
“Ini jiwa kebersamaan yang begini memang bikin terganggu. Mental yang merasa cuma peduli sama kelompoknya, bikin jadi enggak mau ngalah. Cuma ini tidak bisa digeneralisir kalau semua pesepeda seperti ini ya,” tegasnya.
Baca Juga : Jalur Sepeda Selalu Jadi Anak Tiri Sejak Zaman Belanda
Ia mengungkapkan, banyak komunitas pesepeda yang menghargai sesama pengguna jalan dan tertib berlalu lintas. Bahkan, kata dia banyak para pesepeda road bike yang berjiwa sosial tinggi.
Ia menilai, seringnya pesepeda road bike dianggap sebagai penggangu jalan tak lain disebabkan oleh opini masyarakat yang beredar dari mulut ke mulut, salah satunya di media sosial.
“Persepsi ini muncul kan, memang disebabkan pesepeda selalu dianggap lawannya motor dan mobil. Bersepeda balap itu memang harus kencang dan enggak bisa pelan-pelan. Kalau gowesnya kencang dan membalap mobil atau motor di depannya,dianggap arogan. Padahal maksudnya kan, enggak begitu,” tuturnya.
Sering Jadi Ajang Pansos
Rokhmat tak menampik kalau tren bersepeda road bike yang semakin jadi tren di awal masa pandemi COVID-19 jadi ajang panjat sosial alias pansos.
“Sebenarnya bukan cuma olahraga sepeda saja. Kalau yang namanya tren itu muncul, biasanya banyak orang jadi ikut-ikutan buat jadi tempat pansos. Kayak maraton kan, sebelum tren sepeda juga begitu,” jelasnya.
Ia menerangkan, saat lagi di puncak tren, banyak orang yang tiba-tiba suka olahraga maraton. Mereka rela menghabiskan uang berjuta-juta demi perlengkapan olahraganya supaya dilirik banyak orang dan punya banyak teman karena dianggap kaya.
“Maraton itu kan, enggak murah juga keperluan olahraganya kayak sepatu atau biaya pendaftaran buat berangkat lombanya mahal. Tahu bosnya suka sepedaan, ikutan biar bisa dilihat orang dekat sama bos. Tapi enggak semuanya begitu kok,” tandasnya.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Raradiansyah menuturkan soal perilaku ini sebenarnya bergantung pada masing-masing personal pesepeda road bike.
Ia bilang para pesepeda yang menunjukkan arogansi di jalanan bisa disebabkan karena faktor sepeda yang digunakannya mahal dan merasa menunjukkan kelas sosial tinggi di mata masyarakat.
Baca Juga : Kontroversi Pembongkaran Jalur Sepeda Permanen di Jakarta, Benarkah Cegah Diskriminasi?
“Karena merasa pakai sepedanya mewah; harganya mahal jadi suka sok jago di jalan. Merasa punya kelas sosial, dia pakai itu jalan kayak punya sendiri. Jadi dia lupa diri kalau yang dipakai itu jalan umum,” kata Trubus saat dihubungi terpisah.
Soal kesadaran berlalu lintas yang baik, menurutnya semua pengguna jalan baik pengendara motor, mobil atau pesepeda masih banyak yang minim kesadarannya untuk tertib berlalu lintas.
“Kesadaran berlalu lintas dan peduli dengan pengguna jalan lain di kita memang masih rendah. Enggak pesepeda atau yang lain sama saja. Ini karena memang orang kita banyak yang masih cuek dan mengabaikan kedisiplinan berlalu lintas dan hak-hak pengguna jalan lainnya. Jadi makanya bentrok lah di jalan karena sama-sama enggak disiplin,” katanya.