General

Jalur Sepeda Selalu Jadi Anak Tiri Sejak Zaman Belanda

Citra — Asumsi.co

featured image

Isu pembongkaran jalur sepeda di Jalan Sudirman-Thamrin masih mencuat. Kontroversi bermula saat Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, mengusulkan ide tersebut saat Rapat Kerja di Senayan, Rabu (16/6/2021) lalu.

Menurut Sahroni, adanya jalur sepeda selama ini mendiskriminasi pengguna jalan lain, utamanya pengendara motor. Selain itu Sahroni menyebut penggunaan jalur sepeda juga tidak efisien, pasalnya pesepeda hanya menggunakan jalur tersebut selama dua jam, sedangkan 22 jam sisanya justru dilalui oleh pengendara lain.

Kapolri Jenderal Listyo pun mengamini ide Sahroni. Ia mengatakan, pihaknya akan mencari formula yang tepat untuk menindaklanjuti pembongkaran jalur sepeda tersebut, serta melakukan studi banding ke negara lain.

Jika usul tersebut direalisasikan, maka pesepeda tidak akan memiliki jalur khusus lagi di ibukota.

Lantas, jika dibandingkan dengan masa lalu, bagaimana sih riwayat pesepeda selama ini di Indonesia?

Melansir dari RRI, sepeda di Indonesia mengalami pasang surut. Berbagai euforia bersepeda pernah melanda Indonesia, sebut saja sepeda santai, safari sepeda, pawai sepeda, atau gowes bareng.

Namun, seiring berjalannya waktu, euforia tersebut tidak bertahan lama. Sepeda yang telah dibeli pada akhirnya berakhir teronggok di garasi. Hingga akhirnya, musim bersepeda kembali datang. Munculnya sepeda gunung, sepeda fixie, hingga road bike, kembali menghiasi jalanan.

Baca Juga : Kontroversi Pembongkaran Jalur Sepeda Permanen di Jakarta, Benarkah Cegah Diskriminasi?

Pandemi Covid-19 pun hadir. Era new normal datang, kembali membawa musim bersepeda. Bahkan, bersepeda meenjadi fenomena ikonis di kala new normal.

Prioritas untuk para pesepeda pun juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 62 ayat (1) menyebut, Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda. Dalam ayat (2), pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas.

Penggunaan jalur sepeda juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Satu di antaranya adalah dalam Pasal 26 huruf g, bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan, termasuk fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat.

Dalam Pasal 54 ayat 2 menyebutkan, fasilitas untuk pesepeda sebagaimana yang dimaksud berupa lajur dan/atau jalur sepeda yang disediakan secara khusus untuk pesepeda dan/atau dapat digunakan bersama-sama dengan Pejalan Kaki.

Begitu pula dalam Pasal 54 ayat 3, bahwa fasilitas yang disediakan berupa fasilitas yang disediakan secara khusus Pejalan Kaki dan/atau dapat digunakan bersama-sama dengan pesepeda. Jalur sepeda juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 59 Tahun 2020 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Lalu, bagaimana sejarahnya?

Kepada Asumsi.co, penggagas dan aktivis Transport for Jakarta, Adriansyah Yasin Sulaeman mengatakan, bersepeda dalam mindset orang Indonesia zaman dahulu berbeda dengan sekarang.

Dulunya, sepeda menjadi moda transportasi yang digunakan oleh berbagai golongan sebagai mobilitas. Baik ke kantor, sekolah, hingga belanja, mayoritas masyarakat Indonesia menggunakan sepeda. Sepeda ibarat kendaraan sejuta umat di zaman Belanda.

Kala itu, infrastruktur untuk pesepeda di dalam jalan perkotaan pun sudah diatur. Jalur-jalur sepeda pun terproteksi.

“Jadi, jalur sepeda terproteksi ini sebetulnya bukan barang baru, dari zaman Hindia Belanda pun sudah ada,” kata Adriansyah.

Apa buktinya?

Banyak kota di Indonesia memiliki sistem jalan ada jalur lambat dan jalur cepat. Awalnya, adanya jalur cepat dan lambat di era lampau adalah untuk memisahkan lalu lintas kendaraan bermotor dan tidak bermotor. Sebenarnya, jalur lambat merupakan jalur sepeda yang terproteksi sejak zaman Belanda, dan sudah direncanakan.

“Namun, seiring dengan berjalannya waktu, apalagi setelah Indonesia merdeka dan kalangan intelektual Belanda dalam hal tata kota juga diusir, mereka-mereka ini digantikan oleh engineer dari Amerika Serikat yang pada tahun 1950-an terkenal dengan ekspansi car-oriented-nya untuk perkotaan,” terang Adriansyah.

Hasilnya, terjadi perubahan paradigma besar-besaran terhadap cara masyarakat kota bermobilitas. Menurut Adriyansah, dulunya, fokus mobilitas masyarakat urban yang berfokus kepada sepeda, transportasi umum (kereta dan trem), diubah menjadi mobil.

Baca Juga : Dinilai Diskriminatif, Ini Rekomendasi B2WI Soal JLNT Untuk Road Bike

Jalur trem dibongkar, dan jalur lambat untuk sepeda dicaplok dengan dalih pelebaran jalan, agar lalu lintas mobil bisa diprioritaskan.

“Yang terjadi, akhirnya lambat laun kota-kota di Indonesia tumbuh dan dirancang dengan fokus mobil sebagai moda utamanya. Angka pesepeda pun merosot, apalagi semenjak meledaknya tren sepeda motor,” ujar Adriansyah.

Posisi sepeda pun lambat laun berubah, dari alat mobilitas harian menjadi alat olahraga dan rekreasi saja. Walaupun masih ada banyak masyarakat di kampung kota bersepeda untuk kegiatan harian. Namun, fitrah sepeda sudah sangat berubah dari 70 tahun lalu.

Hingga akhirnya, perencanaan mobilitas urban di seluruh dunia kini sedang bergeser menuju mobilitas aktif. Artinya, masyarakat bepergian dengan beragam cara, baik jalan kaki, bersepeda, maupun mengendarai transportasi umum.

“Ketiga moda ini adalah kunci untuk membangun sistem mobilitas yang ramah lingkungnan dan sustainable,” tuturnya.

Di piramida mobilitas yang kontemporer, pejalan kaki dan pesepeda didapuk sebagai prioritas tertinggi dalam mobilitas kota. Banyak kota di dunia mulai melakukan banyak intervensi untuk memprioritaskan sepeda kembali, apalagi sejak pandemi.

Namun, berbeda cerita di Indonesia. “Hasil pembangunan kota yang car-oriented berdekade membuat usaha untuk menumbuhkan kembali kultur bersepeda sebagai alat mobilitas jadi makin sulit. Jadi, butuh waktu yang memang lama agar masyarakat lambat laun sadar. Belanda juga butuh 40 tahun kok agar bisa seperti sekarang,” pungkas Adriansyah.

Share: Jalur Sepeda Selalu Jadi Anak Tiri Sejak Zaman Belanda