Siapa bilang perlawanan pada otoritarianisme hanya romantisme segelintir generasi? Meski dunia sudah banyak berubah lewat digitalisasi dan keterbukaan informasi, toh gurita otoritarianisme masih saja menghantui banyak negeri tak terkecuali kita yang di Asia. Generasi masa kini pun punya wadah perlawanan yang unik. Namanya Milk Tea Alliance!
Kalau didengar sepintas, mungkin kamu akan teringat pada jenis minuman segar berasa manis yang kini banyak dijajakkan di mana-mana. Tapi tunggu dulu. Milk Tea Alliance yang ini sarat dengan perlawanan.
Dikenal Luas Lewat Krisis Myanmar
Meski sudah mulai ramai digunakan saat demonstasi besar di Thailand tahun lalu, penggunaan hashtag #MilkTeaAlliance semakin besar gaungnya lewat aksi yang tak kunjung selesai di Myanmar.
Sejak terjadi kudeta oleh Junta Militer Myanmar atas pemerintahan demokratis Aung San Suu Kyi, Februari 2021, banyak anak muda Myanmar yang turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan mereka pada kudeta militer. Krisis di sana makin menjadi sorotan publik internasional setelah militer memakan korban seorang demonstran perempuan muda bernama Kyal Sin. Foto Kyal Sin yang sedang dalam barisan aksi beredar hingga kematiannya beredar luas di internet dan memantik simpati.
Dari situ, unggahan foto dengan tagar #MilkTeaAlliance sering terlihat di lini masa. Menjadi simbol solidaritas bersama bagi para pejuang pro-demokrasi di negara yang semula bernama Burma ini.
Lahir Dari Gerakan Demokrasi di Hong Kong dan Thailand
Milk Tea Alliance sendiri lahir dari geliat aksi demonstrasi panjang di Hong Kong yang menolak kembalinya dominasi Beijing atas Hong Kong. Tak lama kemudian, pecah pula demonstrasi di Bangkok yang juga mendorong demokratisasi di negara tersebut. Kesamaan semangat pro-demokrasi ini yang memicu pembentukan aliansi non-formal yang berbasis pada kampanye di dunia maya ini.
Mengutip TIME, tagar #MilkTeaAlliance pertama kali muncul di Twitter pada bulan April 2020. Saat itu, aktor dan idola remaja Thailand Vachirawit Chivaaree, yang dikenal sebagai “Bright”, menyukai tweet yang menunjukkan empat kota berbeda, termasuk Hong Kong, dengan teks yang menyebut Hong Kong sebagai “negara”. Padahal, bagi China, Hong Kong adalah wilayah semi-otonom China yang tidak merdeka.
Cuitan Bright disangkut pautkan dengan unggahan media sosial pacarnya, Weeraya “Nnevvy” Sukaram, yang terkesan menyarankan kemerdekaan Taiwan yang demokratis.
Unggahan pasangan ini lantas menuai kemarahan netizen China. Karena sama dengan Hong Kong, Taiwan juga masih dianggap China sebagai bagian dari wilayahnya. Serangan bertubi-tubi netizen pro-Beijing ke sosial media pasangan tersebut dijawab oleh para pendukung Bright-Nnevvy dengan tagar #MilkTeaAlliance tadi.
Kemenangan melawan troll netizen pro-Beijing menginspirasi anak muda Thailand lainnya untuk meneruskan tagar tersebut. Bedanya, kini mereka memfokuskan kritik pada pemerintah Thailand, ekonomi, dan monarki. Materi ini ternyata menyenangkan para pengguna media sosial muda Thailand yang dengan antusias setuju pada kritik-kritik yang muncul.
Pengguna Hong Kong dan Taiwan juga mulai ikut campur. Mereka merasakan kedekatan ideologis dengan orang Thailand dalam perang melawan otokrasi dan tentara Twitter Beijing. Sejak saat itu tagar #MilkTeaAlliance jadi simbol kampanye pro-demokrasi utamanya di negara Asia.
Kok Namanya Teh Susu?
Nama teh susu sendiri mengacu pada kesamaan orang-orang di Asia dalam mengkonsumsi teh. Hong Kong punya Góngsīk náaihchà yang artinya teh susu gaya Hong Kong, Thailand punya Thai Tea, sementara Taiwan punya Boba Tea yang belakangan populer. Ketika gerakan pro-demokrasi Myanmar masuk ke aliansi, mereka juga punya kesamaan dalam mengkonsumsi teh dengan susu dalam minuman bernama laphet.
Uniknya, ini berbeda dengan cara konsumsi teh yang sering diminum di China yakni murni tanpa susu. Bagi para pengunjuk rasa, cara mereka minum teh mewakili perasaan pro-demokrasi yang umum dan sikap anti-China.
Wasana Wongusurawat, dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok kepada The Economist menilai preferensi susu dapat dilihat sebagai warisan dari kolonialisme Inggris di Hong Kong dan Myanmar atau hubungan perdagangan di Taiwan dan Thailand. “Tidak diragukan lagi kami adalah negara dengan pengaruh China yang kuat, tetapi pada saat yang sama kami juga berbagi sejarah kosmopolitan ini,” kata Wasana.
Aliansi antar aktivis demokrasi di kawasan bukanlah hal baru. Namun yang membedakan Milk Tea Alliance adalah kehadirannya di jejaring media sosial yang membuatnya makin nyaring. Di luar teritori China daratan, internet sulit dikendalikan meskipun pemerintah telah mencobanya.
Tentara Myanmar mematikan internet setelah kudeta, dan kemudian membatasi akses ke Facebook, sumber informasi daring utama bagi banyak orang di negara itu. Pada bulan Januari, penyedia internet di Hong Kong menggunakan undang-undang keamanan nasional yang baru untuk menyensor situs web pro-demokrasi untuk pertama kalinya. Tetapi para aktivis mahir untuk tetap selangkah lebih maju.
Milk Tea Alliance yang tidak memiliki pemimpin juga membuat para penggeraknya sulit untuk ditargetkan. Para pendukung berbagi tip tentang bagaimana menghindari diidentifikasi saat menggunakan internet dan bagaimana pengunjuk rasa jalanan dapat dengan cepat membubarkan diri.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Dalam beberapa pamflet daring #MilkTeaAlliance, gerakan memang tidak hanya terbatas pada Thailand, Hong Kong, Taiwan, dan Myanmar. Nampak disematkan juga bendera India mengacu pada perselisihan India dengan China pada 2020, hingga negara kita Indonesia yang sempat diwarnai aksi menentang UU Omnibus Law tahun lalu. Lagi-lagi keduanya pun punya kesamaan dalam mengkonsumsi teh dengan susu lewat menu Masala Tea di India dan Teh Susu di Indonesia.
Solidaritas juga ditunjukkan oleh Filipina dan Malaysia terutama setelah krisis Myanmar terjadi.
Manik Marganamahendra dari Milk Tea Alliance Indonesia menyebut aliansi ini di Indonesia dimulai oleh individu-individu yang sebelumnya secara aktif turut ambil bagian dalam pengorganisiran aksi seperti Reformasi Dikorupsi, Mosi Tidak Percaya, dan menolak omnibus law. Saat Hong Kong dan Thailand bergejolak, individu ini tergabung juga dalam solidaritas untuk demokrasi di Thailand dan Hong Kong serta negara Asia lainnya meski baru terlibat secara aktif membentuk aliansi di Indonesia sejak kudeta Myanmar.
“Aksi pertama Milk Tea Alliance Indonesia adalah solidaritas untuk Myanmar secara daring melalui zoom, kemudian aksi langsung di depan gedung ASEAN, aksi langsung di kedutaan Myanmar, dan terakhir Gowes for Democracy beberapa hari lalu. Besok, Sabtu (24/4/21), kami akan melakukan Gowes for Democracy lagi dan untuk aksi demontrasi kami akan bergabung dengan aksi yang telah diorganisir oleh Front Muda Revolusioner,” kata Manik.
Sejak membangun aliansi di Indonesia, pihaknya pun mulai menjalin kontak erat terkait kondisi kawan-kawan di aliansi serta rencana diplomasi maupun gerakan solidaritas apa yang bisa dilakukan.
Terdapat komunikasi dan rapat mingguan sejak pekan pertama kudeta terjadi antara kawan-kawan aktivis di Myanmar dengan aktivis di Hong Kong, Thailand, Malaysia, Korea, Filipina, dan warga diaspora Myanmar di AS dan Eropa.
“Komunikasi ini awalnya dibentuk sebagai Friends for Myanmar yg kemudian berkembang menjadi aliansi MTA yg lebih luas lagi,” kata dia.
Adapun aliansi yang terdiri dari aktivis pro-demokrasi Asia ini juga melakukan berbagai upaya, mulai dari naming and shaming junta Militer di media digital untuk ikut ambil bagian sebagai penekan. “Tujuannya tak lain untuk mengamplifikasi perjuangan di dalam Myanmar dan menjalin solidaritas transnasional,” ucapnya.