General

Ramai Soal TOEFL 550, Bagaimana Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia?

Irfan — Asumsi.co

featured image
Foto: Unsplash/Freestocks

​Cuitan Ersa Tri Wahyuni, seorang dosen akuntansi soal skor
TOEFL 550 menjadi sorotan. Dalam cuitannya, Ersa mengaku heran mengapa mereka
yang usianya 17 sampai 21 tahun masih kesulitan mendapat skor TOEFL 550. Padahal,
saat ini media belajar sudah lebih mudah lewat teknologi.

Dalam cuitannya, Ersa menyebut beberapa platform mulai dari
YouTube hingga e-book bahasa Inggris yang bisa diakses di mana saja. Cuitan
yang ia unggah pada tanggal 20 Mei itu kini telah dihapus. Namun, masih bisa
ditelusuri pada Minggu (23/5/2021) pagi tadi. Beberapa tangkapan layar di kanal
berita dan sosial media pun menyimpan cuitan Ersa soal ini.

​Ersa mungkin tidak menjustifikasi. Namun cuitannya kadung
viral dan mendapat banyak respons dari pengguna Twitter lainnya.

​Beberapa menilai Ersa sinis. Padahal, berdasarkan
pengakuannya, Ersa betulan bertanya. Sementara yang lain menanggapi dengan
seloroh.

Tetapi di luar gaduh soal cuitan Ersa, tak dimungkiri kalau
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih lemah bahasa Inggris-nya.

Baca juga: Kesempatan Lebih bagi yang Tertinggal dalam Pendidikan

​Melansir Media Indonesia, pada 2019 Indonesia menduduki
peringkat ke-61 dari 100 negara dengan penurunan skor dari 51.58 pada tahun
2018 menjadi 50.06 pada 2019.

​Data yang dilansir dari EF Education First ini menyebut,
Indonesia masih di bawah nilai rata-rata kecakapan bahasa Inggris kawasan Asia
(53.00) atau peringkat kelima di bawah negara ASEAN lainnya seperti Singapura
dengan skor (66.82), Filipina (60.04), dan Malaysia (58.55) di tingkat
kecakapan sangat tinggi, serta Vietnam (51.57) di tingkat kecakapan menengah.

​Apa Yang Bikin Sulit?

Praktisi bahasa Inggris, Sunu Farid Lathif mengatakan kepada
Asumsi.co, Minggu (23/5/2021) kalau pendidikan bahasa Inggris di
sekolah Indonesia masih berkutat pada penggunaan tenses. Padahal ketika
diujikan, tenses tidak signifikan seperti yang dipelajari. Misalnya, siswa
diajari 16 tenses, sementara yang keluar hanya satu dua saja.

​Sunu menyarankan mestinya sekolah membangun pemahaman
kosakata dalam pembelajaran ketimbang gramatika saja. Ini penting karena
vocabulary justru banyak juga ditanyakan pada tes bahasa Inggris. “Itu
yang harusnya dibentuk. Dengan begitu siswa akan memahami teks secara
menyeluruh. Grammar-nya sambil berjalan,” ucap Sunu.

Kelemahan siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris tentu
beragam. Ada yang kesulitan di struktur, mendengar, bahkan membaca. Tetapi,
harus diakui kalau pembelajaran bahasa Inggris di sekolah bukan dipersiapkan
untuk tes TOEFL. Sedangkan tes standar yang diakui secara internasional adalah
TOEFL maupun IELTS.

​”Jadi harusnya ketika buat soal ujian merujuk ke tes
standar ini. Apalagi tes-tes ini sudah lengkap dari skill untuk SD sampai dewasa,”
ucap Sunu.

​Lulusan King’s College London ini tak memungkiri kalau
penggunaan teknologi bisa memudahkan. Ini utamanya untuk generasi alpha.
Youtube bisa membangun vocabulary, listening, dan reading secara simultan.
Saat mereka menonton film misalnya, mereka mendengar kosakata, sekaligus
membaca di bagian sub-titlenya.

“Sementara untuk yang dewasa bisa digunakan untuk
pengetahuan juga bahasa Inggris. Misalnya saat mencari tutorial membuat konten,
silakan cari yang versi bahasa Inggris agar ilmunya dapat dan bahasa
Inggris-nya juga dapat,” ucap dia.

Fika Megawati, Dosen Program Studi bahasa, Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo dalam Jurnal Pedagodia (2016) menyebut proses
pembelajaran bahasa Inggris memang tidak dapat dipisahkan dengan munculnya berbagai
kesulitan-kesulitan yang terjadi terutama pada peserta didik. Kesulitan
tersebut dapat dilihat dari masing-masing keterampilan bahasa atau secara
keseluruhan.

Pada kondisi kelas yang mempunyai kompetensi bahasa berbeda, kesulitan yang dihadapi juga beragam. Pada penelitian Fika, subjek
menunjukkan kesulitan belajar bahasa Inggris pada empat keterampilan dengan
urutan yang paling sulit hingga yang paling mudah mulai dari Speaking,
Listening, Reading,
dan Writing.

“Faktor penyebab kesulitan belajar bahasa Inggris
sangat dipengaruhi oleh tingkat penguasaan bahasa masing-masing mahasiswa. Pada mahasiswa aktif kecenderungan memilih
writing. Tetapi, untuk mahasiswa pasif cenderung memilih speaking sebagai hal
yang susah dipraktekkan,” tulis Fika.

Baca juga: Bahasa Indonesia dalam Pergaulan Internasional

​Penelitian menunjukkan bahwa siswa aktif dan kurang ​aktif
dapat melaksanakan tugas akhir dengan baik dalam hal percaya diri dan tata
bahasa. Tetapi untuk siswa pasif, hasil menunjukkan bahwa mahasiswa kurang
percaya diri dan tidak dapat mendeskripsikan hal yang hendak ia sampaikan
dengan lancar.

Beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa banyak subjek
penelitian memilih speaking adalah kurangnya kosakata dalam bahasa Inggris
yang diketahui, sulit menghafal, pengucapan yang susah karena sangat berbeda
dengan bahasa Indonesia, takut membuat kesalahan, takut ditertawakan teman, dan
kurangnya pengetahuan grammar.

​”Faktor penyebab kesulitan dalam belajar berbicara
bahasa Inggris adalah jumlah frekuensi praktek berbicara bahasa Inggris dan
faktor psikologi,” tulis Fika.​

Share: Ramai Soal TOEFL 550, Bagaimana Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia?