Isu Terkini

Bahasa Indonesia dalam Pergaulan Internasional

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Presiden Joko Widodo baru saja menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, Rabu (09/10/19). Pasal 5 Perpres menyebutkan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.

Perpres ini berlaku sejak diundangkan, yakni pada 30 September 2019.

Perpres No. 63/2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang diteken Presiden Jokowi ini berisi lebih lengkap ketimbang Perpres No. 16/2010 yang diterbitkan SBY. Selain soal pidato, Perpres ini mengatur penggunaan bahasa Indonesia dalam dokumen resmi negara, bangunan, nama jalan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi, nota kesepahaman, hingga informasi di media massa.

Sebagian orang merespons Perpres ini dengan mempertanyakan kemampuan berbahasa Inggris Presiden Jokowi, namun sebagian lagi tentu tak mempermasalahkan hal itu, bahkan bangga karena bahasa Indonesia akan dikenal seantero dunia.

“Kita kurang gaul, kita menyangka bahwa ini menyalahi norma yang ada di dunia internasional. Kalau kita lihat, Prime Minister of Japan Speech atau Prime Minister of France berpidato dalam forum-forum dunia menggunakan bahasa nasional masing-masing,” kata penulis dan pemerhati bahasa Indonesia Ivan Lanin saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (10/10/19).

Baca Juga: Aksen Bahasa Inggris Jokowi Diributin, Substansinya Dilupain

Menurut Ivan, para pemimpin yang menggunakan bahasa nasionalnya sendiri saat berpidato di forum dunia merupakan hal yang sangat biasa dan sudah berlaku sejak lama. Itu sama sekali bukan kemunduran di tengah-tengah tuntutan para kepala negara harus berbahasa Inggris atau berbahasa asing lainnnya. Hanya, banyak orang Indonesia yang belum tahu soal kelaziman tersebut.

Kemampuan Berbahasa Asing Para Pemimpin Dunia

Perdana Menteri India Narendra Modi memutuskan untuk memakai bahasa Hindi di forum-forum dunia sejak 2014. Tentu saja ia fasih berbahasa Inggris, sebagaimana tampak dalam pidatonya di Forum Pertemuan Global tentang Pasar Berkembang pada 2013. Modi tak butuh penerjemah untuk memahami apa yang disampaikan pemimpin negara lain dalam bahasa Inggris. Ia hanya butuh penerjemah ketika dirinya berbicara bahasa Hindi di depan pemimpin negara lain, sehingga bahasa nasional negaranya itu mesti diterjemahkan ke bahasa Inggris.

Modi juga tak butuh penerjemah saat ia berhadapan dengan pemimpin negara lain yang bisa berbicara bahasa Hindi atau Urdu. Misalnya ketika ia bertemu langsung dengan Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif. Bahkan, ia juga tak butuh penerjemah lantaran bisa memahami kalimat yang keluar dari mulut Presiden Afghanistan Hamid Karzai, yang berbicara dalam bahasa Urdu dicampur dengan beberapa kalimat bahasa Hindi.

Namun, Modi justru menggunakan penerjemah saat bertemu dengan Barack Obama, yang saat itu masih berstatus Presiden AS, pada September 2014. Menurut berbagai pihak, pilihan itu diambil berdasarkan pertimbangan politik.

Baca Juga: Media Sosial Pekan Ini: Bahasa Inggris Jokowi Hingga Meme Biawak

Perlu diketahui, India sendiri sebetulnya sangat beragam secara kebahasaan, meski di satu sisi bahasa Inggris juga cukup umum di sana, meskipun mungkin tidak seluas yang dibayangkan banyak orang. Sebab, hanya lima persen saja penduduk India yang lancar berbahasa Inggris.

Di negara seperti India, bahasa bisa menjadi persoalan politis. Biasanya kalangan lulusan sekolah kelas atas begitu membanggakan kemampuan bahasa Inggris mereka. Sementara Modi hanya merupakan sosok yang berasal dari keluarga yang sederhana dan tak bersekolah di tempat elite.

Suatu waktu saat Modi berbincang-bincang dengan bahasa Inggris, kaum nasionalis Hindu di sana justru bisa merasa berjarak dengan Modi. Sebab, orang dengan kemampuan berbahasa Inggris yang fasih di India identik dengan kaum elite yang kurang merakyat. Di sisi lain, bahasa Inggris di sana terkesan seperti bahasa penjajah.

Mahatma Gandhi, dalam buku English as a Global Language oleh David Crystal, pernah menulis secara terang-terangan soal ketidakterimaannya pada bahasa Inggris. Tulisan itu dibuat Gandhi pada 1908, saat India dijajah Inggris.

“Memberi pengetahuan bahasa Inggris berarti memperbudak mereka…. Tidakkah ini sangat menyakitkan, bila saya hendak pergi ke pengadilan, saya harus menggunakan bahasa Inggris sebagai cara menyampaikan kata-kata. Ketika saya menjadi pengacara, saya mungkin tidak berbicara dalam bahasa ibu saya, dan orang lain harus menerjemahkan dari bahasa saya sendiri? Apakah ini tidak absurd? Apakah ini bukan tanda perbudakan?” tulis Gandhi.

“Seperti yang diusung oleh Badan Bahasa kita, ada tiga hal penting yakni utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing. Artinya ya ketiga bahasa itu mesti seimbang kita gunakan. Itu bisa dipraktikkan kok oleh bangsa lain, misalnya saja orang-orang Eropa, ya,” ujar Ivan yang juga merupakan seorang Wikipediawan Indonesia.

Ivan menyebut bahwa orang-orang Eropa daratan, seperti orang Belgia, menguasai setidaknya tiga bahasa yakni bahasa Belanda, bahasa Prancis, dan bahasa Inggris. Banyak di antara mereka bisa menggunakan ketiga bahasa itu dengan sama fasihnya.

Sementara itu, Presiden Iran Hassan Rouhani dikenal jarang berbahasa Inggris di dalam forum internasional. Padahal, Rouhani diketahui meraih gelar PhD dari Skotlandia.

Penulis Iran-Amerika Azade Moaveni, seperti dilansir Public Radio International, menyebut Rouhani tampaknya memang ingin bermain aman, sebab memakai bahasa Persia lebih baik. “Bahasa Persia adalah satu-satunya bahasa yang memungkinkan mereka mengartikulasikan kalimat dengan kuat, dipoles, dan bisa memuat pernyataan dan argumen rumit,” kata Moaveni.

Menariknya, menghadirkan seorang penerjemah juga bisa membuat kondisi jadi lebih aman. Pasalnya, jika seorang politikus menyampaikan pernyataan yang menjadi kontroversi di kemudian hari, politikus tersebut justru bisa saja menyalahkan si penerjemahnya.

Beda halnya dari Modi dan Rouhani, Presiden Cina Xi Jinping terlihat jarang berbicara bahasa Inggris lantaran dianggap kurang fasih. Tak hanya itu, pemimpin negara lain seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bahkan menghindari berbahasa Inggris karena memang terkendala bahasa.

Bagi para pemimpin dunia lain yang menghindari bahasa Inggris, itu tampaknya bukan masalah keterampilan dan lebih merupakan keputusan yang beralasan. Misalnya saja Presiden Prancis periode 2012-2017 Francois Hollande saat wawancara dengan Slate, menyombongkan dirinya bisa berbahasa Inggris lebih baik ketimbang pendahulunya, Nicholas Sarkozy.

Namun Hollande masih mempertahankan gengsi sejarah, lantaran bahasa Prancis pernah menjadi lingua franca. “Seorang Presiden Prancis harus berbicara dalam bahasa Prancis!” kata Hollande.

Selanjutnya, Hollande ditanya apakah pemimpin Prancis perlu bisa berbicara dalam bahasa internasional yang umum, Hollande menjawab demikian: “Pemimpin Prancis perlu memahami bahasa itu dan punya kemampuan untuk bertutur kata dengan lawan bicaranya. Namun saya tetap terikat pada bahasa Prancis dan kepada Francophonie (negara-negara berbahasa Prancis),” ucapnya.

“Saat saya menghadiri pertemuan pemimpin Eropa, sangat tidak nyaman bagi saya untuk mendengar teman-teman yang berbahasa Romania, Polandia, Portugis, dan kadang Italia atau Inggris. Tapi saya mengakui, dalam level informal, interaksi bisa dilakukan dengan bahasa ini. Namun saya akan mempertahankan penggunaan bahasa Prancis di mana pun,” kata Hollande.

Selain itu ada pula Kanselir Jerman Angela Merkel yang diketahui jarang berbahasa Inggris. Pernah dalam satu kesempatan, ia bahkan tetap berbicara bahasa Jerman pada Kongres Amerika Serikat (AS). Menariknya, saat hadir di parlemen Inggris, ia justru berbicara bahasa Inggris yang tidak sempurna, meski masih bisa dimengerti. Momen langka Merkel itu bisa disaksikan di link YouTube ini.

Perlu diketahui, Merkel berasal dari Jerman Timur (Republik Demokratik Jerman/DDR). Faktanya, ia malah lebih lancar berbahasa Rusia, ketimbang Inggris.

Namun, menariknya, meski jago berbahasa Rusia, Merkel tetap saja membawa penerjemah saat melangsungkan diplomasi formal dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Hal itu dilakukan Merkel demi menghindari kesalahpahaman kecil karena ia beralasan bahwa peperangan bisa saja dimulai dari kesalahpahaman kecil.

Baca Juga: Menyorot Sistem Bahasa dan Kritik Kuasa Seniman Tiongkok Xu Bing

Begitu pula sebaliknya, Putin juga ternyata lancar berbahasa Jerman dan sering berbincang dengan Merkel yang juga jago berbahasa Rusia. Sementara untuk bahasa Inggris, Putin ternyata memang baru belajar beberapa tahun lalu.

Seperti dikutip dari The Guardian pada 2014, Putin pernah masih berjuang mengucapkan huruf vokal bahasa Inggris. Ia tercatat memang jarang berbicara bahasa Inggris dan tak pernah berbahasa Inggris dalam agenda diplomatik resmi.

Namun di luar agenda diplomatik formal, Putin tak menolak untuk berbicara bahasa Inggris, misalnya saja saat Putin diwawancara oleh CNN. Dalam berbagai kesempatan, ia berbahasa Inggris untuk menekankan kalimat-kalimat tertentu supaya lebih dramatis. Bahkan ia pernah merayu Komite Olimpiade Internasional (KOI) menggunakan bahasa Inggris dengan aksen yang jelas, agar Rusia bisa menjadi tuan rumah Olimpiade musim dingin 2014 lalu, di Sochi.

Menurut Adam Taylor, kolumnis rubrik internasional Washington Post dari Universitas Manchester dan Universitas Columbia, sebuah hal yang lumrah bila pemimpin dunia tidak mau berbahasa asing, bahasa yang tak terlalu familiar dengan aktivitas sehari-harinya. Menggunakan bahasa nasional dalam interaksi global tentu merupakan usaha mereka agar tak ingin disalahpahami, sebab kata-kata yang mereka lontarkan tentu saja bermakna penting.

Menariknya, seperti dikutip dari RT News, Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker pernah berbicara soal bahasa Inggris yang makin kehilangan arti pentingnya saat ini. Padahal, ia sendiri dikenal sebagai sosok yang lancar berbahasa Prancis, Jerman, dan Inggris sekaligus.

“Pelan tapi pasti, bahasa Inggris sedang kehilangan arti pentingnya di Eropa,” kata Juncker dalam konferensi di Florence, Mei 2017. Saat itu ia berbicara dalam bahasa Inggris, lalu langsung berganti ke bahasa Prancis. Ini adalah sindiran bagi perkembangan isu Brexit.

Saatnya Bahasa Indonesia Mendunia?

Jika PM India Modi, Presiden Iran Rouhani, Presiden Cina Xi Jinping, Presiden Turki Erdogan, hingga Perdana Menteri Jepang Abe, memilih jarang berbahasa Inggris, tak ada salahnya Jokowi melakukan hal serupa. Kewajiban berbahasa Indonesia di forum internasional juga wajar saja.

“Yang penting itu sebenarnya bagaimana menertibkan pola berpikir kita. Ketika kita berbicara bahasa Indonesia, kita nggak bilang meeting-nya di-cancel, kita nggak bilang pesawatnya di-delay, berbahasa Indonesialah yang baik,” kata Ivan.

Menurut Ivan, yang perlu ditekankan dan diterapkan adalah menertibkan pikiran setiap individu agar berbicara itu satu kalimat satu bahasa. “Justru menurut saya dengan norma seperti itu, orang Indonesia akan memiliki pola pikir yang lebih maju. Kita terbiasa untuk menertibkan pikiran, nantinya juga terbiasa untuk belajar lebih dari satu bahasa.”

Kemampuan bahasa Inggris Presiden Jokowi sendiri pernah dipuji oleh Max Walden, wartawan sekaligus produser media Australia ABC News. Komentarnya itu ia lontarkan merespons sebuah video saat Jokowi diwawancarai Christiane Amanpour, jurnalis kantor berita AS CNN.

Jokowi’s English has improved immensely, even if it’s medok! https://t.co/VeTH9yXTtI— Max Walden (@maxwalden_) July 4, 2019

Dalam wawancara yang berlangsung akhir Januari 2015 lalu itu, Jokowi dan Amanpour berbincang-bincang sambil berjalan santai di jalanan kota Jakarta. Dalam video itu, Jokowi menjawab pertanyaan-pertanyaan Amanpour seputar infrastruktur menggunakan bahasa Inggris dengan aksennya yang khas. Tentu satu kalimat satu bahasa.

Ivan menyebut dengan adanya Perpres No. 63/2019 itu, bukan berarti bahasa asing dikesampingkan dan bukan berarti pula orang Indonesia jadi menarik diri dari pergaulan dunia. Malah, aturan itu sebagai cara untuk menunjukkan nasionalisme

“Ini salah satu bentuk perlindungan pemerintah terhadap masa depan bahasa kita. Jadi kalau khawatir kemudian kita jadi nggak gaul, menurut saya sih terlalu paranoid ya. Justru saya khawatir bahasa Indonesia kemudian terkikis oleh bahasa asing, itu yang dikhawatirkan. Kan unsur perekat suatu bangsa itu salah satunya adalah bahasa, selain ras dan agama. Jadi bahasa itu penting bagi bangsa kita,” ujarnya.

Share: Bahasa Indonesia dalam Pergaulan Internasional