Nama Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko muncul menjadi sasaran kritik dari berbagai pihak dalam sebulan terakhir. Ia menggusur posisi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan ditetapkan sebagai ketua umum Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara. Lantas, kenapa Moeldoko tak membuat partai sendiri saja, ketimbang mengkudeta?
Kecurigaan AHY terkait rencana kudeta posisinya di Demokrat, sebetulnya sudah terendus sejak awal Februari 2021 lalu. Saat itu, AHY menyebut ada gerakan politik yang mengarah pada upaya pengambilalihan kepemimpinan secara paksa, yang melibatkan orang-orang di lingkar kekuasaan Presiden Joko Widodo.
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyebut pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan Moeldoko terhadap AHY bukanlah contoh yang baik. Ia menyebut kudeta politik itu sebagai hal yang tak lazim.
“Dari perspektif demokrasi, peristiwa KLB Sumut ini bisa dikatakan sebagai anomali politik dan demokrasi, tentu tidak lazim,” kata Siti Zuhro dalam diskusi di kanal YouTube MNC Trijaya, Sabtu (6/3/21) lalu.
Baca Juga: Cerita Penolakan Gatot Nurmantyo saat Diajak Kudeta AHY dari Ketum Demokrat
Menurut Siti Zuhro, KLB memang bukanlah hal baru dalam sebuah dinamika di interal partai politik Sejumlah partai politik, kata Siti, juga pernah mengadakan KLB. Namun, Siti Zuhro menilai KLB Partai Demokrat tidak lazim karena tidak mengikuti anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART).
Selain itu, KLB itu juga justru menghasilkan pihak eksternal partai sebagai ketua umum.
“Untuk tentu pegiat politik, pegiat demokrasi, intelektual, akademisi yang belajar demokrasi, ini membingungkan,” ucapnya.
Siti Zuhro juga menilai penunjukan Moeldoko menandakan nilai-nilai, moral, dan etika politik sudah dipinggirkan. Apalagi, Moeldoko saat ini masih tercatat sebagai pejabat aktif di lingkaran pemerintahan.
“Ini dilarang keras, menurut saya, itu tidak perlu belajar untuk menjadi sarjana politik, ilmu politik, yang seperti itu sudah tidak etis.”
Baca Juga: Genderang Perang Usai Kudeta Partai Demokrat
Moeldoko Menuju Pilpres 2024?
Sebelumnya, Moeldoko disebut-sebut hanya menjadikan Demokrat sebagai batu loncatan agar bisa maju sebagai calon presiden di Pilpres 2024 mendatang. Namun, pada satu kesempatan jauh sebelum KLB di Deli Serdang, ia pernah menepis itu tersebut, meski ia tetap tak mempermasalahkan jika nanti dirinya diorbitkan.
“Kalau urusan 2024, pernah kah saya bicara tentang [Pilpres] 2024? Tidak pernah, kalau yang diorbitkan di sana, ya alhamdulillah kan gitu,” kata Moeldoko kepada wartawan di kediamannya, Rabu (3/2) lalu.
Meski begitu, Moeldoko mengatakan bahwa saat ini dirinya tidak memikirkan soal kontestasi di Pilpres 2024 mendatang.
“Ya urusan.. Ah, nggak usah mikir itu lah. Saya itu orang yang mencintai pekerjaan. Saya orang profesional. Dan itu bisa saya tunjukkan di mana pun. saya profesional. Saya tidak pernah mengemis jabatan. Saya bisa berdiri sebuah keyakinan saya itu,” ujarnya.
Membentuk Partai Politik Baru Bakal Sulit bagi Moeldoko
Kini, bola panas kisruh Demokrat terus bergulir. Moeldoko menerima dan berterimakasih usai ditetapkan sebagai ketum Demokrat, sementara AHY sibuk membuktikan kalau penetapan Moeldoko sebagai ketum Demokrat lewat KLB adalah ilegal dan inskonstitusional.
Perselisihan para politikus ini pun menimbulkan pertanyaan. Kenapa Moeldoko tidak membentuk partai politik baru saja ketimbang merebut partai lain dengan cara-cara yang justru menuai kritik dari publik? Padahal, sejak era reformasi, kebebasan membentuk organisasi hingga partai politik dijamin Undang-Undang. Hingga kini, partai politik pun terus bertumbuh.
Baca Juga: Perang Moeldoko vs AHY di Demokrat: Matinya Keteladanan Politik
Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komaruddin menilai, sulit bagi Moeldoko jika harus membentuk partai politik sendiri. Selain memang harus membangun konsolidasi dulu, membentuk partai politik baru tentu membutuhkan energi besar karena mesti mencari basis massa, membangun semuanya dari bawah, dan mencari figur-figur tepat bagi partai.
“Jika buat partai sendiri susahnya minta ampun. Dan Moeldoko paham itu. Makanya dia tak buat partai baru dan lebih memilih mencaplok partai milik orang lain,” kata Ujang saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (10/3/21).
Jika melihat lagi proses penetapan Moeldoko sebagai ketum Demokrat lewat KLB di Deli Serdang yang serba cepat, maka dengan mudah bisa ditarik kesimpulan bahwa mantan Panglima TNI itu memang tak butuh energi besar dan memilih cara instan. Apalagi sebelumnya, Moeldoko sama sekali tak tercatat sebagai kader Demokrat.
“Moeldoko mungkin ingin enaknya saja, tak mau bersusah-susah dan berkeringat untuk membuat partai baru. Seandainya bisa dibuat partai baru pun, belum tentu bisa ikut Pemilu,” ucap Ujang.
Rekam Jejak Moeldoko di Dunia Politik
Moeldoko tak punya rekam jejak yang mentereng di kancah politik. Setelah pensiun dari militer, ia memutuskan terjun ke politik praktis, dengan bergabung ke dalam jajaran pengurus Partai Hanura yang dipimpin oleh Oesman Sapta Odang (OSO) pada akhir Desember 2016 lalu.
Moeldoko pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Hanura. Namun, kiprahnya bersama Hanura tak berumur panjang karena pada 2018, ia justru mengundurkan diri dari partai tersebut.
Saat itu, Moeldoko menepis kabar yang menyebutkan dirinya mundur dari Partai Hanura karena masuk bursa calon wakil presiden. Ia menegaskan sudah membicarakan keinginannya mundur dari Partai Hanura itu dengan pengurus partai, termasuk Wiranto.
Baca Juga: Inilah Beberapa Dualisme Parpol Indonesia Di Masa Lalu
Moeldoko juga tercatat aktif di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dengan menjadi Ketua Umum untuk periode kepemimpinan 2017-2020. Ia kembali menjabat untuk periode 2020-2025.
Selain itu, Moeldoko juga dipercaya menjadi Ketua Ikatan Alumni Universitas Terbuka (IKA UT) periode 2019-2024. Di samping itu, Moeldoko juga terlibat dalam tim pemenangan Pasangan Jokowi-Maruf Amin di Pilpres 2019 lalu.
Moeldoko menjabat wakil ketua tim kampanye nasional (TKN) yang juga merangkap sebagai ketua harian TKN Jokowi-Maruf. Karier politiknya melesat pada 17 Januari 2018, saat dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Kepala Staf Kepresidenan, menggantikan Teten Masduki.
Di periode kedua pemerintahan Jokowi, Moeldoko kembali dipercaya sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Dari perjalanan kariernya itu, Moeldoko tercatat baru pernah bergabung di satu partai saja.
“Ya. Bukan hanya sulit buat partai sendiri, tapi juga bisa nyungsep dan terkubur. Di Hanura saja tak bergerak dia,” kata Ujang.
Baca Juga: Testimoni Peserta KLB Demokrat: Diimingi Rp 100 Juta, Dapat Cuma Rp 10 Juta
Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bakir Ihsan juga tak melihat hal positif dari kudeta yang dilakukan Moeldoko terhadap AHY di Partai Demokrat. Menurutnya, Moeldoko belum cukup mampu untuk membangun partai politik sendiri yang harus diperjuangkan dari bawah.
“Untuk membuat partai butuh modal besar. Modal tidak hanya uang, tapi juga modal sosok (figur). Moeldoko belum punya hal tersebut, karenanya ia menggunakan kesempatan yang kurang elegan itu,” kata Bakir kepada Asumsi.co, Rabu (10/3).
Terpilihnya Moeldoko tanpa melalui proses kaderisasi di partai tentu saja bisa menjadi preseden buruk bagi partai-partai lainnya. Apalagi kalau sampai statusnya di Demokrat disahkan pemerintah melalui Kemenkumham. Di masa mendatang, peristiwa kudeta serupa bisa saja terjadi di partai politik lain, di mana pejabat pemerintah dengan gampangnya mengambilalih partai politik untuk menjadi ketua umum.