Setidaknya setengah kasus COVID-19 di Singapura tidak bergejala atau asimtomatik. Informasi ini disampaikan oleh perwakilan gugus tugas COVID-19 Singapura, Lawrence Wong, pada Senin (8/6). “Berdasarkan pengalaman kami, untuk setiap satu kasus simtomatik, terdapat setidaknya satu kasus tanpa gejala,” ujar Wong berdasarkan hasil penemuan kasus baru di Singapura selama beberapa pekan terakhir.
Hingga hari ini (9/6), jumlah kasus COVID-19 di Singapura mencapai lebih dari 38 ribu. Salah satu pemicu peningkatan kasus adalah ribuan pekerja migran yang mesti tinggal berdesak-desakan di hunian sempit.
Karena penemuan ini pula, Singapura memilih untuk berhati-hati dalam membuka kembali perekonomian seperti semula. Sekolah dan sejumlah usaha memang telah mulai beroperasi sejak pekan lalu setelah ditutup selama dua bulan. Namun, banyak warga yang masih diharuskan untuk bekerja dari rumah dan hanya bersosialisasi dengan keluarga dekat.
Menurut Wong, kasus asimtomatik punya risiko menular lebih kecil karena pasien tidak batuk atau bersin, tetapi terdapat kasus di Singapura yang membuktikan bahwa penularan dari kasus asimtomatik tetap dapat terjadi. “Orang-orang berkomentar: kenapa kita tidak membuka perekonomian lebih cepat? Sebab kita harus lebih hati-hati. Masih ada kasus tanpa gejala yang mungkin tidak terdeteksi dan beredar di masyarakat.”
Senin lalu, World Health Organization (WHO) sempat menyampaikan bahwa kasus asimtomatik bukanlah pemicu utama penyebaran virus. Menurut Kepala Unit Penyakit dan Zoonosis WHO Maria Van Kerkhove, fokus pemerintah adalah mendeteksi dan mengisolasi pasien yang bergejala. “Dari data yang kami miliki, tampaknya masih jarang kasus asimtomatik yang benar-benar menularkan ke individu lain. Ini sangat langka,” ujar Kerkhove.
“Yang ingin kami fokuskan adalah kasus bergejala. Jika kita berhasil menelusuri semua kasus bergejala, mengisolasinya, melacak orang-orang yang berkontakan dan mengkarantina mereka, kita akan secara drastis dapat mengurangi wabah ini,” lanjutnya.
Pernyataan WHO ini mengundang protes dari sejumlah ahli. Mantan Ketua Administrasi Medicare, Medicaid, dan ACA Amerika Serikat, Andy Slavitt, menilai klaim WHO ini tidak bertanggung jawab. Walaupun studi yang dapat membuktikan penularan oleh kasus asimtomatik masih terlampau sedikit, belum dapat disimpulkan bahwa kasus asimtomatik tidak berbahaya. Pernyataan WHO ini dikhawatirkan membuat orang lengah dan merasa tak perlu memakai masker.
Tipe COVID-19 dapat dibagi menjadi asymptomatic (tidak bergejala), presymptomatic (belum bergejala), dan symptomatic (bergejala). Sejumlah penelitian di Cina menunjukkan bahwa penularan COVID-19 dari kasus asimtomatik dan prasimtomatik telah terjadi—terutama di antara keluarga atau orang-orang yang tinggal serumah, ketika sedang berbagi makanan, atau ketika sedang mengunjungi anggota keluarga yang sedang dirawat inap.
Ada pula contoh kasus di negara lain, seperti warga Jerman yang terinfeksi COVID-19 oleh seseorang dari Cina yang saat itu belum menunjukkan gejala. Sang warga Jerman yang sudah tertular tetapi juga belum bergejala kemudian menularkan virus ini ke dua orang lain. Sementara itu, di Singapura, tujuh klaster penularan baru terbentuk akibat kasus-kasus prasimtomatik.
Selain itu, berdasarkan hasil uji laboratorium, sampel air liur pasien COVID-19 yang tidak pernah menunjukkan gejala diketahui mengandung virus SARS-CoV-2 cukup tinggi sehingga dapat menularkan ke orang lain.
Mencontoh Singapura, temuan kasus asimtomatik membuat mereka lebih meningkatkan waspada—alih-alih melonggarkan kebijakan jaga jarak. Imbauan untuk jaga jarak yang dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pun didasarkan atas risiko penularan lewat kasus prasimtomatik dan asimtomatik.
Menurut CDC pula, ada beberapa implikasi atas penemuan penularan virus akibat kasus asimtomatik. Pertama, tingkat fatalitas COVID-19 bisa jadi lebih rendah dari yang selama ini diperkirakan. Kedua, penemuan ini membuktikan pentingnya intevensi publik atau komunitas dalam memperlambat penyebaran COVID-19. Rekomendasi yang diberikan oleh CDC termasuk melakukan physical distancing atau jaga jarak, menggunakan masker kain di luar rumah, dan penggunaan masker secara universal di fasilitas layanan kesehatan. Ketiga, temuan ini juga menjadi peringatan untuk semakin memperbanyak pengetesan dan pelacakan kontak untuk mendeteksi kasus-kasus asimtomatik dan mencegah penularan yang tak terdeteksi.