Pemerintah Indonesia terus-menerus menganjurkan social distancing demi menghambat penyebaran pandemi COVID-19. Presiden Joko Widodo bahkan telah menerbitkan PP No. 21 tahun 2020 tentang “Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)” yang mengaturnya secara lebih spesifik. Namun, imbauan ini tak sepenuhnya ditaati masyarakat.
Harus ada upaya lebih, misalnya menawarkan perlindungan finansial lewat Universal Basic Income, agar masyarakat mau menjalankan social distancing secara sukarela. Tanpa itu, yang tersisa ialah pemaksaan.
Jumat (02/04), Polda Metro Jaya dan TNI menangkap 18 orang. 11 orang ditangkap di Bendungan Hilir dan tujuh orang lainnya diamankan di daerah Sabang. Polisi menyebut bahwa sudah diimbau tiga kali, namun tak menggubris. Kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus, mereka diduga melanggar PSBB Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau Pasal 218 KUHP.
Baca Juga: Kapasitas Tes Balitbangkes 1.700, Kenapa Jumlah Tes Setiap Harinya Bisa Hanya 100-an?
Yusri menyatakan ketentuan pidana dalam UU No. 6 tahun 2018 bisa diberlakukan sejak PP No. 21 tahun 2020 diterbitkan Jokowi. Pelanggaran Pasal 93 UU No. 6 tahun 2018 berbuah ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Sementara itu, Pasal 218 KUHP menyatakan: “Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”
Hingga Senin (06/04/20) sore WIB, jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia sudah mencapai 2.491 orang, 209 orang meninggal dunia, dan 192 orang dinyatakan sembuh. Dari angka itu, tingkat kematiannya mencapai 8,3 persen.
Terlepas dari soal cara pemerintah menegakkan anjuran (atau aturan), social distancing yang menyeluruh memang dapat meratakan kurva laju penyebaran virus COVID-19. Ada bukti yang menegaskan bahwa social distancing, mulai dari swakarantina di rumah hingga penutupan restoran dan toko, berkontribusi menurunkan jumlah orang yang terkena demam—salah satu gejala COVID-19—di Amerika Serikat.
Baca Juga: Karantina Wilayah, Seperti Apa Sih?
Seperti dilansir dari New York Times, Senin (30/03), Kinsa Health, sebuah perusahaan teknologi medis, memproduksi termometer pintar yang terhubung ke internet. Mereka pertama kali membuat peta penyebaran demam secara nasional di AS pada 22 Maret lalu. Peta itu menunjukkan secara real time bahwa social distancing justru memperlambat lonjakan kasus demam.
Kinsa memiliki lebih dari satu juta termometer yang sanggup melakukan 162.000 pembacaan suhu harian sejak COVID-19 mulai menyebar di AS. Untuk mengidentifikasi orang-orang yang terinfeksi virus Corona, baru-baru ini Kinsa mengubah perangkat lunaknya untuk mendeteksi lonjakan gejala demam yang tak biasa, atau yang tak terkait dengan flu namun bisa jadi disebabkan oleh virus Corona.
Hasil dramatis dicatat di kota-kota yang sudah memberlakukan aturan untuk menutup restoran dan tetap tinggal di rumah seperti New York City, yang mulai memberlakukan pembatasan drastis sejak Senin (16/03) lalu.
Baca Juga: Tips Social Distancing untuk Anak Kos
“Ini contoh bagus dari teknologi yang dapat menunjukkan apa yang kami alami, dan ini konsisten dengan data kami,” kata Howard Zucker, Komisaris Kesehatan Negara Bagian New York kepada New York Times.
Sementara itu, para peneliti di Imperial College, London, mengembangkan model matematis untuk mengetahui dampak dari pandemi COVID-19 terhadap dunia. Berdasarkan perhitungan mereka, kalau saja negara-negara di seluruh dunia tak mengambil langkah pembatasan sosial yang tegas dan serius, virus tersebut bisa menginfeksi sekitar tujuh miliar orang dan berpotensi menyebabkan sekitar 40 juta kematian tahun ini.
Angka tersebut bisa berkurang secara signifikan bila orang-orang mau mengurangi kontak sosial mereka sekira 40 persen. Dan jika social distancing dijalankan lebih intensif dan berskala luas, serta lebih awal dan berkelanjutan, sekitar 38,7 juta jiwa bisa diselamatkan atau setara dengan pengurangan 95 persen angka kematian.
Pandemi cepat sangat sukar ditangani dan pasti menelan banyak jiwa. Banyak orang jatuh sakit dalam waktu yang sama, maka tenaga medis dan fasilitas kesehatan akan kewalahan. Dalam situasi tersebut, risiko kematian orang-orang yang positif COVID-19 lebih tinggi karena tak tertangani, belum lagi kalau ada tim medis yang terpapar dan sakit. Situasi ini akan memperburuk kapasitas sistem kesehatan.
Baca Juga: Efektifkah Rapid Test COVID-19 di Indonesia?
Seluruh dunia seharusnya berperan untuk menjadikan COVID-19 sebuah pandemi lambat. Pandemi diperlambat dengan respons yang tepat, terutama pada fase awal, sehingga semua yang sakit bisa mendapatkan perawatan, sehingga tak ada kondisi genting di mana rumah sakit kewalahan.
Langkah rekayasa sosial seperti social atau physical distancing adalah pilihan yang sangat tepat di saat dunia belum menemukan vaksin untuk COVID-19 ini. Namun, sekali lagi, tak ada artinya bila rakyat tak bisa diyakinkan untuk menjalankannya secara sukarela.