Media sosial, tempat di mana semua orang merasa kenal satu sama lain dan dapat berpendapat dengan (bisa dibilang) bebas. Melihat manfaat media sosial sebagai salah satu sarana komunikasi dan banyaknya pengguna, enggak heran kalau perusahaan-perusahaan banyak yang memanfaatkan perkembangan teknologi yang bergantung pada koneksi internet sebagai salah satu cara berkomunikasi dengan pelanggannya.
Bahkan lewat akun-akun ofisial mereka, informasi-informasi penting bisa disampaikan di situ. Salah satunya adalah informasi terkait isu yang bisa jadi mengancam reputasi baik perusahaan. Misal, ada isu tentang pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu partner perusahaan tersebut. Karena ramai dibicarakan khalayak ramai, perusahaan tersebut memberikan konfirmasi melalui akun media sosialnya. Alih-alih menutup masalah yang sedang hangat dibicarakan, malah orang-orang makin banyak yang membincangkan dan menilai kalau apa yang mereka nyatakan dalam cuitannya tidak tepat. Akibatnya, imej perusahaan makin terancam.
Di sinilah peran Public Relations Officer (PR Officer) dibutuhkan. Untungnya, ada banyak pilihan PR Officer yang bisa menjadi konsultan dalam menyelesaikan masalah semacam itu. Ancaman terhadap nama baik perusahaan itu bisa disebut sebagai krisis komunikasi.
Dalam sesi wawancara dengan Asumsi.co, Marsha Imaniara sebagai Senior Consultant di Maverick Indonesia mengungkapkan bahwa penanganan kurang tepat dalam menyelesaikan masalah komunikasi perusahaan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Tapi Marsha juga mengingatkan kalau ‘not everything is a crisis’. Juga penting bagi perusahaan untuk memiliki pemahaman yang sama tentang kategorisasi krisis agar perusahaan dapat menanggapi situasi seperti itu secara proporsional. Dua masalah yang seringkali dikira sebagai krisis adalah Insiden dan Emergency. “Pertama, Insiden. Peristiwa yang terjadi di luar best practice atau prosedur yang seharusnya. Umumnya peristiwa tersebut bisa diatasi secara internal oleh departemen atau unit bisnis yang bersangkutan. Kedua, Emergency. Peristiwa yang terjadi, umumnya tanpa diduga, dan membutuhkan intervensi dari level senior manajemen untuk mengendalikan dampaknya terhadap perusahaan, publik, pegawai, ataupun pemangku kepentingan lainnya.”
Sebenarnya ada level selanjutnya. Di level ketiga ini lah baru suatu masalah dapat dikatakan sebagai krisis. “Ketiga, Krisis. Situasi emergency yang tidak terkendali. Umumnya, media, pemerintah, konsumen, kompetitor ataupun pemangku kepentingan lainnya menyoroti bagaimana perusahaan menangani situasi tersebut. Oleh karena itu, krisis umumnya berada di ranah publik, di mana opini publik dapat dengan cepat berganti melawan perusahaan; bersifat dinamis dan berkembang pesat; serta berdampak pada reputasi ataupun bottom line perusahaan,” ungkap Marsha. Ia pun melanjutkan bahwa, “intinya, karakteristik kunci dari krisis ialah ketika perusahaan telah kehilangan kendali atas situasi yang terjadi. Oleh karena itu, tujuan utama dari crisis management adalah mengembalikan kendali tersebut. Caranya? Dengan menjaga kepercayaan publik dan para pemangku kepentingan bahwa perusahaan tersebut paham apa yang harus ia lakukan untuk menangani krisis yang ia hadapi.”
Untuk mendapatkan kepercayaan publik dan pemangku kepentingan, Marsha mengungkapkan bahwa pertemuan rutin sangat dibutuhkan. Namun itu tidak harus dilakukan setiap hari. “Umumnya tim PR perusahaan maupun konsultan bertemu secara rutin tiap beberapa waktu sekali, misalnya seminggu sekali, untuk membahas progres rencana komunikasi yang sudah disepakati di awal,” ungkap Marsha. Cara lainnya adalah dengan memanfaatkan teknologi. Ia dan timnya memilih untuk menggunakan kecanggihan gawai untuk berkoordinasi harian. “Untuk koordinasi sehari-hari, tim dapat menggunakan metode komunikasi seperti grup Whatsapp ataupun project management tool seperti Basecamp.”
Kemajuan teknologi ini sekaligus mengubah proses komunikasi yang tadinya searah menjadi lebih kompleks. Dulu, kata Marsha, organisasi dapat mengatur reputasinya lewat kanal-kanal yang tersedia. “Sebelum teknologi digital berkembang pesat, proses komunikasi antara sebuah organisasi dengan audiensnya cenderung berjalan satu arah. Organisasi dapat menjaga atau memperkuat reputasinya lewat kanal-kanal seperti iklan di TV atau artikel di koran.” Ia pun melanjutkan bahwa, “Kini, dengan perkembangan teknologi digital khususnya media sosial, proses komunikasi tersebut berlangsung dari berbagai arah. Audiens tidak hanya memandang suatu organisasi berdasarkan informasi yang organisasi tersebut sampaikan, tetapi juga dari testimoni pihak-pihak lain yang memiliki pengalaman bersentuhan dengan organisasi tersebut. Misalnya, LSM yang berkampanye melawan organisasi tertentu, konsumen lain yang memiliki komplain, dan sebagainya.”
Menghadapi pergeseran ini, Marsha pun bilang kalau di Maverick Indonesia sendiri, sudah ada pergeseran untuk membantu klien berpindah dari crisis management mindset, menjadi ke arah crisis preparedness, atau bahkan sampai crisis avoidance mindset. Terdapat beberapa cara untuk melakukan hal ini. Salah satunya adalah dengan proaktif memetakan risiko. “Salah satu caranya ialah dengan proaktif memetakan berbagai risiko yang dimiliki perusahaan sedini mungkin, beserta kategori dan respons umum yang dapat digunakan, serta berbagai aset dan kanal yang dapat dipakai untuk menyampaikan informasi secara cepat dan efektif. Informasi ini kemudian disusun ke dalam Crisis Management SOP dan disimulasikan oleh CMT setidaknya setahun sekali untuk meningkatkan waktu dan kemampuan tim dalam merespons situasi krisis.” Begitu ungkap Marsha.
Nah, ketika benar-benar krisis terjadi, ada langkah pertama dan mekanisme penangannya sendiri agar penanganan krisis dapat efektif. “Crisis management yang efektif terjadi ketika perusahaan bisa menyelaraskan respons operasional dan komunikasinya. Ini yang kami sebut dengan pendekatan dual track.” Kalau di Maverick sendiri, menurut Marsha, “langkah pertama yang Maverick lakukan adalah membantu klien mengumpulkan semua fakta yang ada dan menyusunnya menjadi informasi yang actionable. Mengapa? Salah satu kesalahan fatal yang bisa dilakukan perusahaan saat krisis adalah mengambil tindakan, atau mengkomunikasikan sesuatu, yang keliru karena melakukannya berdasarkan asumsi. Akibatnya, perusahaan dapat kehilangan kredibilitas di mata publik, sehingga mempengaruhi kemampuannya untuk mengambil alih kendali atas situasi tersebut dan narasi yang beredar. Padahal, seperti saya sebutkan di atas, tujuan utama dari crisis management adalah mengembalikan kendali tersebut.”
Nah, untuk tahapan selanjutnya, dan dengan alasan krisis bersifat dinamis, “perusahaan membutuhkan keterlibatan level senior manajemen untuk dapat membuat keputusan dengan cepat dan efektif. Inilah mengapa Maverick umumnya mensyaratkan keterlibatan CEO ketika menangani klien yang tengah menghadapi krisis,” ujar Marsha. Tidak sampai keterlibatan CEO saja, Marsha juga menyatakan perlunya anggota pimpinan perusahaan lain ikut serta. “Selain CEO, eksekutif senior yang mengepalai bidang-bidang kunci seperti Chief Financial Officer, Legal & Corporate Affairs Director, Operations Director, dan Corporate Communications Director juga harus terlibat di dalam proses crisis management. Hal ini untuk memastikan bahwa pengambil keputusan memiliki informasi yang menyeluruh dalam pertimbangannya.”
Beberapa pihak yang terlibat ini pun akan tergabung dalam sebuah tim yang dikenal dengan nama Crisis Management Team (CMT). “Tim ini kita kenal dengan nama Crisis Management Team (CMT). Ketika membantu klien menyusun CMT, kami selalu menyarankan agar tim ini hanya beranggotakan 6-7 orang, karena biasanya semakin banyak kepala, semakin sulit juga untuk mencapai keputusan,” ungkap Marsha.
Menutup perbincangan, Marsha pun menyatakan bahwa sebelum krisis, yang perlu dilakukan adalah untuk terus berupaya dapat membantu klien menemukan identitasnya, demi membangun modal sosial. “Sebelum itu, kami juga berupaya membantu perusahaan untuk mengartikulasikan identitas dan nilai-nilai perusahaan, sehingga perusahaan bisa menjalankannya secara konsisten dan membangun social capital-nya. Inilah yang menjadi landasan sebuah reputasi perusahaan yang kuat, sehingga lebih mampu dalam mengantisipasi dan merespons krisis,” tutup Marsha.