Isu Terkini

Pelanggaran HAM di Kolong-Kolong Tambang Timah

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Dari tahun ke tahun, tambang-tambang timah di Bangka Belitung terus menelan korban. Hal itu sukar dicegah, sebab penambangan timah, khususnya yang berskala kecil dengan alat dan standar keamanan ala kadarnya, merupakan sumber nafkah andalan masyarakat. Sabtu, (29/8/20) lalu, kecelakaan tambang menelan enam korban jiwa di desa Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah.

Sugeng, Hery (operator), Heri (penambang), Yanto, Dedi, dan Aldi, para korban, ditemukan dalam kondisi meninggal dunia, Minggu (30/8), setelah tertimbun longsoran pasir galian timah dengan ketinggian sekitar tujuh meter. Mereka berasal dari berbagai daerah. Yanto dari Lampung, Dedi dari Palembang, dan keempat korban lainnya merupakan warga lokal.

Humas Kantor Pencarian dan Pertolongan Kelas B Pangkal Pinang Ahmad Syamsuddin menjelaskan bahwa awalnya longsor terjadi pada Sabtu, (29/8) siang pukul 13.10 WIB. Tak lama setelah kejadian, Tim SAR Gabungan melakukan pencarian dan evakuasi korban yang berlangsung hingga Minggu dini hari WIB.

Kapolres Bangka Tengah Ajun Komisaris Besar Slamet Ady Purnomo mengungkapkan bahwa lokasi kejadian dulunya merupakan kawasan bekas tambang sebuah perusahaan. Selepas ditinggalkan oleh perusahaan tersebut, lokasi dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mencari sisa-sisa timah. Lebih lanjut, menurut Slamet, penyebab longsor ialah kesalahan dalam proses operasi. Ia menduga operator ekskavator kurang memperhitungkan kelabilan tanah.

”Belum lagi [mempertimbangkan bahwa] lokasi tersebut sudah diguyur hujan pada hari sebelumnya, sehingga risiko tanah longsor pun sangat tinggi,” kata Slamet kepada awak media, Sabtu (29/8) malam. Menurut Slamet, penambangan timah kecil-kecilan ini umumnya juga melibatkan pemodal. ”Sampai saat ini pemodal masih ditelusuri,” ucapnya.

WALHI: Ada Pelanggaran HAM dalam Bisnis Tambang Timah

Jessix Amundian, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kepulauan Bangka Belitung, mengatakan bahwa kerusakan lingkungan dan kematian sebab kecelakaan tambang ibarat dua sisi mata uang. Dan di balik semua itu, lanjutnya, ada pelanggaran HAM yang tidak pernah terungkap dalam rantai bisnis tambang timah, dari hulu sampai hilir.

“Korporasi tambang, baik BUMN maupun swasta, mutlak dimintai pertanggungjawaban,” kata Jessix dalam keterangan tertulisnya saat dihubungi Asumsi.co, Senin (31/8).

Jessix membeberkan data WALHI Babel: sejak Januari hingga Agustus 2020, setidaknya ada 16 orang yang meninggal dunia karena kecelakaan tambang, dan salah satunya merupakan anak-anak. Sebelumnya, dalam rentang 2017-2019, terdapat 40 korban jiwa.

“Fakta tersebut dianggap seperti angin lalu. Lemahnya pengawasan yang disertai tanpa adanya audit lingkungan dan moratorium tambang semakin memperburuk tata kelola sumber daya alam tambang timah di Babel,” ujarnya.

Kata Jessix, tata kelola buruk itulah yang yang memangsa para penambang serta memperparah kerusakan lingkungan. Di sisi lain, korporasi tambang terus saja menampung, mengolah, serta menjual timah.

“Negara harus hadir membawa timbangan keadilan itu, untuk memastikan keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat di Bangka Belitung, baik untuk generasi sekarang dan mendatang,” ujarnya.

Lebih lanjut, berdasarkan catatan WALHI Babel, terdapat 611 izin usaha berskala besar yang menguasai kurang lebih 1.261.316,41 hektare dari luas  keseluruhan 1.642.423 hektare daratan Provinsi Kepulauan Babel. Dari 1.261.316,41 hektare lahan dengan izin usaha berskala besar tersebut, kurang lebih 862.299,81 hektare atau 68,37 persennya dipegang oleh IUP Korporasi Tambang.

“Luasnya penguasaan ruang oleh korporasi tambang ini tidak sebanding dengan pemulihan kerusakan lingkungan hidup berupa kewajiban reklamasi dan pascatambang,” kata Jessix.

Dia menilai selama ini tata kelola pertambangan timah di Bangka belitung hanya menggunakan perspektif ekonomi serta mengabaikan keberlanjutan fungsi ekologis dan keselamatan masyarakat, termasuk hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Aktivitas tambang timah, lanjutnya, merupakan salah satu penyumbang terbesar deforestasi dan degradasi kawasan hutan dan lahan di Babel.

“WALHI Babel mencatat setidaknya Babel telah kehilangan lahan produktif seluas 320.760 hektar dalam 10 tahun. Akibatnya, fungsi ekologis terus terganggu dan terancam keberlanjutannya,” ujar Jessix.

Babel rawan dilanda banjir, kekeringan, dan angin puting beliung sebagai akibat dari rusaknya kawasan hutan dan DAS yang merupakan wilayah resapan air dan mata air tanah. Selain itu, ada potensi hilangnya lahan produktif untuk sumber dan ketahanan pangan, kerusakan terumbu karang, mangrove, dan padang lamun di pesisir laut.

Share: Pelanggaran HAM di Kolong-Kolong Tambang Timah