Isu Terkini

Wacana Class Action Korban Banjir, Momen Introspeksi Pemerintah

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image

Hujan deras yang mengguyur DKI Jakarta dan sekitarnya pada Jumat (19/2/21) hingga Sabtu (20/2/21) pekan lalu, menyebabkan banjir parah di sejumlah wilayah ibu kota. Wacana class action dari warga korban banjir pun kian santer terdengar.

Pakar kebijakan publik Universitas Indonesia (UI), Lisman Manurung menilai  wacana class action tersebut wajar saja muncul. Pasalnya, mereka merasa dirugikan akibat banjir yang dinilai kurang direspon secara baik oleh kepala daerahnya.

Class action ini kan, cara untuk menuntut pertanggung jawaban kepada negara atau kota oleh suatu kelompok masyarakat. Ini sah-sah saja karena mereka menuntut hak, kenapa mereka hidupnya sengsara,” kata Lisman kepada Asumsi.co, Rabu (24/02/21).

Ketentuan hukum acara dalam class action di Indonesia diatur secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Berdasarkan aturannya, ada lima tahapan dalam class action menurut Perma No. 1 Tahun 2002, antara lain:

1. Pengajuan berkas gugatan. Tahapan ini mengharuskan agar para penggugat yang mengajukan class action harus mempunyai kesamaan tipe tuntutan.

2. Sertifikasi, yakni proses pemeriksaan oleh Pengadilan soal perwakilan kelompok itu telah mendapat izin untuk mewakilkan, serta syarat-syarat gugatannya.

3. Hakim akan memerintahkan penggugat memberitahu anggota kelompok. Tahap ini menentukan apakah anggota kelompok ingin ikut serta dan terikat dengan putusan dalam perkara atau tidak. Ada jangka waktu tertentu bagi penggugat menyelesaikan tahap ini.

4. Pemeriksaan dan pembuktian. Sebagaimana proses perkara perdata umumnya, bila pada hari persidangan pertama penggugat tak hadir, sementara tergugat atau kuasanya yang sah datang, maka gugatan digugurkan dan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara.

5. Pelaksanaan putusan.

Praktik Class Action di Indonesia Bukan Perkara Mudah

Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Josua Satria Collins menerangkan, prosedur class action mulai dikenal di Indonesia saat pengacara RO Tambunan mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap pabrik rokok Bentoel pada 1987.

Gugatan tersebut tidak diterima karena pada saat itu gugatan class action bertentangan dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya, ada kasus Mukhtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta dan Dinas Kesehatan Jakarta saat itu, terkait endemi demam berdarah pada 1988.

“Di era 90-an, ada perusahaan Iklan dan Radio Swasta Niaga Prambors dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menggugat PT PLN Persero terkait pemadaman listrik pada 1997,” kata Josua melalui keterangan terpisah.

Hingga pada akhirnya, gugatan class action diakui melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Kehutanan yang terbit di tahun 1999.

“Tahun 2001 menjadi bersejarah karena gugatan sembilan konsumen gas Elpiji kepada Pertamina atas kenaikan harga gas, menjadi perkara class action pertama yang dimenangkan,” ungkapnya.

Selanjutnya, Mahkamah Agung mengatur konsep gugatan ini melalui Perma No. 1 tahun 2002.

Akan tetapi dalam praktiknya, kata dia, class action di Indonesia tidak selalu berhasil.

“Secara umum, agar class action dapat berjalan efektif, perwakilan harus memenuhi sejumlah pertimbangan,” kata Josua.

Pertimbangan ini, jelas dia, antara lain meliputi analisis kasus, kemungkinan kasus bisa dimenangkan, bukti-bukti penunjang, hingga jumlah pihak yang dirugikan.

“Serta besaran jumlah kerugian akibat pelanggaran yang diperkarakan, serta persyaratan formal,” imbuhnya.

Wacana Class Action Teguran Agar Pemprov DKI Introspeksi Pelayanan Publik

Lisman mengharapkan, wacana class action ini harus disikapi oleh Pemprov DKI secara serius. Menurutnya, ini perlu menjadi momen introspeksi terkait pelayanan publik yang diberikan kepada warganya.

Ia menegaskan, tidak elok bila Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan atau wakilnya, A Riza Patria terus membela diri dengan alasan bahwa persoalan banjir bukanlah kesalahan pihak mereka semata.

“Seharusnya sebelum terjadi protes, apalagi gugatan dari warganya, gubernur ini bertanya apa pelayanan publik yang dilakukannya selama ini, sudah baik atau belum,” ucapnya.

Selain itu, ia mengharapkan agar ke depannya Pemprov DKI lebih melakukan perbaikan sistem pelayanan publik agar masalah banjir tidak melulu menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat.

Perbaikan sistem yang dimaksudnya, ialah kemudahan akses warganya untuk bisa  mengadu secara langsung kepada gubenurnya saat menghadapi masalah mendesak, serta mendapatkan penanganan secara cepat.

“Misalnya banjir, warga bisa langsung menelepon Gubernur dan mengadu, ‘Pak, rumah saya di Kemang sudah selutut nih banjirnya. Mohon bantuannya untuk segera diungsikan’, dan sebagainya. Kan, bisa dibuatkan sistem yang didalamnya ada tim untuk merespons cepat aduan masyarakat ini,” jelas dia.

Share: Wacana Class Action Korban Banjir, Momen Introspeksi Pemerintah