General

Wajah Ambigu Politik Kita

Rohmatul Izad — Asumsi.co

featured image

Sebagai permainan yang dinamis, kontestasi politik memang tidak mudah ditebak. Perubahan demi perubahan dapat terjadi sewaktu-waktu, strategi politik untuk memenangkan pertarungan umumnya juga dilakukan dalam kisaran jangka pendek. Tak ada kawan dan lawan yang abadi, sebab yang terpenting adalah memperoleh kekuasaan.

Para elit politik pun juga begitu, mereka memiliki pemikiran yang sangat pragmatis. Idealisme adalah urusan politik jangka panjang, tetapi dalam hal praktis, apapun bisa dilakukan. Tak peduli bertentangan dengan moralitas atau tidak, yang penting agenda-agendanya dapat tercapai. Lagi pula, politikus itu selalu memandang pencitraan sama pentingnya dengan ketulusan, jadi tidak ada istilah idealism mutlak dalam hukum moral yang menjadi keyakinan para politisi itu.

Kita pun tak perlu baper melihat karakter ambigu dalam politik. Sebab itulah inti dari cara kerja politik praktis. Yakni, selalu memiliki wajah ganda, kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan dan sejenis ketidakjelasan. Itu jugalah yang menjadi nyawa para elit politik. Wajah ganda itu memang diperlukan, agar nilai pragmatis itu mudah di bawa kesana kemari, tanpa harus merasa bersalah.

Sah-sah saja jika kita ingin mengikuti arus dari stategi politik yang dimainkan oleh para elit politik, tetapi kita tak boleh terbawa arus itu. Mengikuti arus artinya kita mengikuti zaman dan segala perubahannya, tetapi jangan sampai kita terbawa oleh zaman. Andai kita menyikapi politik terlalu berlebih-lebihan, hari-hari kita akan tampak suram dan banyak diisi oleh suatu pertengkaran. Pemilu, dengan demikian, menjadikan kita pilu. Padahal kita perlu merayakan proses demokrasi dengan suka cita.

Wajah ambigu politik itu selalu muncul dan terus diproduksi dalam setiap pagelaran pesta demokrasi. Di tahun politik seperti sekarang ini, kita mudah menjumpai betapa banyak stategi politik dadakan yang umumnya hanya dimainkan pada seputaran isu jangka pendek, khususnya dalam momen-momen tertentu di mana citra itu mudah sekali dibangun.

Di media sosial misalnya, tempat di mana antarkubu saling menggenjot popularitas, sering kita temukan berita-berita yang mengarah pada politik pencitraan. Antarkubu saling adu kekuatan untuk membangun citra positif di hadapan warganet, yakni saling menunjukkan sikap kepedulian mereka pada problem-problem kekinian yang umumnya menjadi masalah bersama.

Jika kita tidak mempersiapkan stok kewarasan, maka kita akan mudah terbawa pada arus strategi politik itu, yang akhirnya cara kita dalam dukung-mendukung pun menjadi tidak sehat. Sebab, banyak isu dibangun semata-mata hanya untuk pencitraan belaka, sementara para elite politik memiliki banyak wajah.

Seringnya, kita mendukung kubu tertentu secara sporadis dan kurang mempertimbangkan rasionalitas. Kita bahkan sering tak mampu mengontrol emosi, justru emosi kita dikontrol melalui narasi yang dibangun oleh tim pemenangan calon yang bertarung. Akibatnya, tujuan berpolitik untuk mewujudkan Indonesia yang bermartabat seolah terlupakan.

Ambiguitas politik juga terkadang menjadi mesin pabrik yang mudah memproduksi kebencian-kebencian. Kita dapat melihat dengan jelas, bagaimana mesin politik untuk pemenangan calon yang didukung, lebih banyak mengedepankan pembunuhan karakter secara personal, seperti dengan cara menghantam lawan melalui berita paslu atau melakukan sejumlah stigma negatif.

Elite politik itu jangan dilihat sebagai person, sebab identitasnya ada di partai politik dan seluruh program-program yang disodorkan. Jika tidak dilihat dengan cara itu, kita mudah terjebak pada sejenis konflik penyerangan secara frontal kepada personal calon dan identitas individualnya.

Narasi politik haruslah dibangun melalui pemaksimalan akal sehat, sebab melalui inilah pembelajaran politik dapat dilakukan secara baik dan benar. Kita tidak boleh menilai politik itu sesuatu yang buruk, sebab didalamnya ada harapan-harapan besar untuk mencapai suatu perubahan.

Ambiguitas dalam politik juga jangan dilihat sebagai sesuatu yang selalu negatif, sebab idealisme itu kadang sulit disatukan dengan pragmatisme, keduanya tak mungkin bisa klop seratus persen dalam waktu yang bersamaan. Hanya saja kedua hal itu harus selalu saling mengisi dan menjaga otoritas kekuasaan politik, agar cita-cita ideal sejalan dengan realitasnya.

Tapi, betapapun ambigunya politik itu, tetap saja seorang politisi harus sadar bahwa laku mereka selalu dipantau oleh masyarakat. Di era digital sekarang ini, rekam jejak siapapun akan mudah terpantau di internet, begitu pula para politisi. Mereka tak cukup hanya membangun citra belaka, sebab yang dibutuhkan adalah kerja nyata dan sebuah program yang signifikan.

Pertarungan antarkubu politik juga harus berdasarkan pada suatu gagasan yang cerdas dalam membangun bangsa, bukan sekedar program-program jangka pendek. Indonesia ini sedang menghadapi masalah yang begitu beragam, permasalahan seperti pendidikan, kesehatan, jamina kerja, pangan, dan kemiskinan tidak akan selesai jika hanya diperdebatkan saja.

Ambiguitas politik juga tidak hanya berasal dari para elite politik dan seluruh aspirasi pragmatisnya. Ada begitu banyak oknum yang juga berusaha menebal-nebalkan isu tertentu yang umumnya dapat mengakibatkan adu-domba. Kita perlu menghentikan berbagai kecenderungan wacana yang mengarah pada keterbelahan masyarakat, sebab energi kita akan sia-sia jika hanya menfokuskan pada pertarungan politik yang bahkan kita sendiri realitasnya sangat jauh dari para elite politik itu.

Rohmatul Izad adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta.

Share: Wajah Ambigu Politik Kita