Budaya Pop

Wahai LAKSI, Jangan Bikin Masalah dengan BTS Army

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Siapa yang berani menentang tentara? Rupanya bukan aktivis, bukan sel teroris, apalagi pelaku makar. Jawabannya adalah LAKSI.

Pertempuran ini lebih dahsyat dari dugaan Anda. LAKSI bukanlah julukan kelompok paramiliter yang mendadak muncul di wilayah perbatasan. Ia adalah singkatan dari Lembaga Advokasi Kajian Strategis Indonesia. Dan tentara yang ia ajak gelut bukanlah Tentara Nasional Indonesia. Melainkan BTS Army, ultras dari grup K-Pop BTS.

Muasal dari cekcok ini sungguh mencengangkan. Pada 9 Januari 2020, LAKSI menuduh bahwa iklan e-commerce Tokopedia yang dibintangi BTS “mengarah pada kampanye LGBT.” Mereka pun menghimbau Tokopedia beserta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mencabut iklan tersebut dari berbagai media seperti dunia maya, televisi, bioskop, dan billboard. Dalam surat pemberitahuan Aksi Unjuk Rasa LAKSI, mereka mendesak hal tersebut dilakukan “sehingga bangsa ini dapat terlindungi terhadap anak dan remaja yang rentan menduplikasi perilaku menyimpang LGBT.”

Seperti dikutip CNN, Koordinator Aksi LAKSI Zoel Nasution menyatakan bahwa BTS “menunjukkan dukungan terhadap perilaku hidup LGBT dan kehidupan liberal”, serta tidak sesuai dengan norma dan perilaku kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim. Sebagai contoh, Suga, salah satu personil BTS, pernah diwawancarai dan menyatakan bahwa ia tak merasa pasangan idealnya harus perempuan. Zoel juga menuding lirik dan lagu BTS “menyuarakan soal LGBT”, meski saat ditanyakan persisnya lagu dan lirik yang mana oleh CNN, Zoel diam seribu bahasa.

Tokopedia sendiri menanggapinya dengan enteng. Dalam pernyataan resmi, mereka menyampaikan bahwa pesan-pesan yang disampaikan BTS, seperti kerja keras dan anti-perundungan, “selaras dengan semangat Tokopedia”. Genderang perang justru ditabuhkan oleh BTS Army. LAKSI sempat jadi trending topic di Twitter, dan jadi bahan amarah sekaligus tertawaan publik.

Namun jika BTS Army sungguh-sungguh berniat menginvasi LAKSI, mereka akan kecewa. Penelusuran tim riset Asumsi.co tidak menemukan dokumen legalitas serta situs resmi LAKSI. Koordinator Aksi Zoel Nasution serta Ketua Umum Azmi Hidzaqi pun tidak ada di media sosial. Ihwal Azmi, kami hanya berhasil menemukan bahwa ia mantan mahasiswa S2 Magister Ilmu Administrasi di Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 2012. Pada 2018, ia di-DO karena habis masa akademik.

Rekam jejak LAKSI pun penuh insiden-insiden mencurigakan. Pada 2015, LAKSI adalah salah satu dari tujuh organisasi massa dan lembaga swadaya masyarakat yang menerima dana korupsi yang didakwakan kepada eks Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Waryono Karno. Menurut tim Jaksa di Pengadilan Tindakan Pidana Korupsi, saat itu LAKSI menerima cipratan dana sebanyak Rp 25 juta.

Sebelumnya, LAKSI pun jarang bersuara di bidang musik dan moralitas. Azmi Hidzaqi pernah menulis esai opini membela penggusuran Tamansari di Bandung, yang prosesnya sebetulnya bermasalah dan banyak menuai kritik. Menjelang aksi massal yang memprotes hasil Pemilihan Presiden di Bawaslu, Mei 2019 lalu, LAKSI melakukan unjuk rasa kecil-kecilan dengan spanduk salah ketik untuk menolak “provokasi terhadap rakyat”.

Di lain kesempatan, mereka menyerukan agar Presiden Joko Widodo memilih lagi Budi Gunawan sebagai ketua Badan Intelijen Nasional. Mereka pun pernah ngegas menuntut kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama diusut tuntas. Jika ragam isu ini tidak cukup untuk meyakinkan Anda bahwa LAKSI adalah LSM yang palugada, buka satu per satu tautan pemberitaan tersebut. Niscaya Anda akan menemukan bahwa mereka selalu diliput oleh media-media yang kredibel, tepercaya, dan akuntabel.

Berita membingungkan ini punya sisi lain yang kelam. Pernyataan jenial tersebut keluar dari LAKSI tak lama setelah terungkapnya kasus Reynhard Sinaga, mahasiswa Indonesia yang dipenjara karena melakukan ratusan tindakan pemerkosaan terhadap lelaki lain di Inggris. Dilansir dari BBC News, aktivis hak LGBT Hartoyo menyatakan bahwa ia “ngeri insiden ini dapat digunakan kelompok intoleran sebagai dalih untuk semakin menindas komunitas LGBT di Indonesia.”

Beberapa tahun terakhir, retorika homofobik dan transfobik sedang naik daun di Indonesia. Pada 2018, Human Rights Watch mengutuk terjadinya penggrebekan terhadap rumah orang terduga LGBTQ di Jawa Barat. Revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sempat diprotes habis-habisan September 2019 lalu secara spesifik mengkriminalisasi “perbuatan cabul sesama jenis” dalam Pasal 421 (1). Tak heran bila Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengeluh bahwa keberpihakan HAM untuk LGBT hampir tak ada di Indonesia.

Diskriminasi terhadap LGBTQ tidak hanya semakin mendarah daging di dalam masyarakat kita. Kebijakan di tingkat daerah, bahkan negara, lambat laun mencerminkan pandangan yang intoleran. Di tengah situasi riuh tersebut, menggiurkan sekali untuk bertanya: mengapa LAKSI, lembaga yang biasanya fokus mengurusi isu politik, mendadak turun gunung dan ikut ribut soal LGBT?

Yang jelas, minimnya pengalaman LAKSI dalam berkecimpung di dunia musik nampak dengan kentara. Mereka cari gara-gara dengan kelompok yang salah. LAKSI mungkin sudah khatam berurusan dengan perkara politik tinggi seperti intrik antar petugas intelijen, lika-liku Menteri korup, hingga gejolak politisi ambisius yang mendorong pendukungnya turun ke jalan. Namun, semua itu tak akan mempersiapkan mereka untuk gelombang nestapa yang menanti apabila mereka main gila dengan BTS Army.

Saya pun bersimpati dengan saudara Azmi dan kawan-kawannya. Tidak ada salahnya mencari ribut dengan pecinta musik. Malah menyenangkan sekali. Siapapun yang menulis ulasan mahaburuk terhadap album teranyar Hindia itu pasti terbahak-bahak menyaksikan keributan tersebut seraya mendulang klik. Saya pun gembira menyuarakan hot takes yang akan membuat saya dikerubungi wajah-wajah marah di konser. Membuat marah orang musik itu asyik, seru, dan biasanya tidak berujung pada tuntutan UU ITE.

Namun, bahkan saya tahu ada kelompok-kelompok fans tertentu yang sebaiknya tidak usah diajak gelut. Sebabnya, perilaku mereka bukan seperti fans biasa. Melainkan sudah menyerupai ultras. Fanatisme pencinta K-Pop sangatlah legendaris. Mereka membantu menjadikan Korea Selatan kutub baru dalam percaturan musik global, sekaligus mendorong K-Pop menjadi industri bernilai miliaran dollar.

Di sisi lain, perilaku fanatik mereka kadang dikritik karena dianggap berlebihan. Perisakan tak henti-henti terhadap Sulli, eks-personel girl group f(x), ditengarai menjadi salah satu penyebab bintang itu depresi dan memutuskan bunuh diri. Perilaku fanatik berlebihan ini bahkan memiliki julukan khusus: sasaeng, istilah untuk fans K-Pop yang perilakunya lebih mirip karakter film thriller. Situs Koreaboo menghimpun sebagian kisah sasaeng yang menggemparkan: mulai dari upaya penculikan terhadap personel boyband EXO, penyerangan fisik terhadap SEVENTEEN, hingga peretasan terhadap akun media sosial Siwon dari SUPER JUNIOR.

Mengingat BTS adalah salah satu grup K-Pop paling populer, sudah tentu kisah-kisah sasaeng mereka pun legendaris. Sasaeng BTS pernah ketahuan memburu informasi pribadi personil BTS dan sengaja memesan tiket pesawat di penerbangan sama dengan mereka. Sekali waktu, tagar #CuttingForKookie sempat ramai di Twitter. Fans BTS dari mancanegara ramai-ramai mengunggah foto mereka tengah menyayat-nyayat pergelangan tangannya sendiri sebagai tribut untuk Jungkook, salah satu anggota BTS.

Namun, favorit kami tentu adalah seorang sasaeng yang tingkat fanatismenya lengkap betul. Ia tak hanya kedapatan memesan tiket pesawat yang persis sama dengan BTS dan keluar dari gerbang yang sama. Sepanjang perjalanan tersebut, ia juga tidak memakai celana. Tak puas dengan tindakan cemerlang tersebut, ia pun ketahuan memesan kamar hotel yang persis di seberang kamar personil BTS dan mengambil foto-foto mereka secara diam-diam. Ia dijuluki si “no-pants sasaeng”.

Jika BTS saja tidak aman dari perilaku ajaib ultrasnya sendiri, apalagi LAKSI. Mereka mungkin pernah berurusan dengan intel, tapi apakah mereka siap untuk dirundung oleh pasukan BTS yang ramai-ramai mengunggah foto tangan tersayat? Apakah mereka siap diikuti sampai rumah oleh gerombolan fans yang tidak pakai celana? Jawabannya adalah tidak. Skenario-skenario ini di luar batas pemahaman LAKSI, dan semestinya mereka memahami itu.

Saudara saya dalam revolusi, Dea Anugrah, berkelakar bahwa pertempuran antara BTS Army dan LAKSI ibarat perang salib modern. Dua kutub yang sakti mandraguna, saling tempur dan menghancurkan. Namun saya tidak setuju. Ini peristiwa yang lebih celaka dari peperangan. Bila LAKSI tidak mundur teratur, mungkin mereka akan segera dihakimi massa.

Share: Wahai LAKSI, Jangan Bikin Masalah dengan BTS Army