Isu Terkini

Tren Perkebunan Kelapa Sawit Berdampak Pada Kerusakan Lingkungan

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Diskursus tentang penting tidaknya kelapa sawit sebagai sebuah instrumen ekspor yang dapat menstabilkan Rupiah sedang marak di media sosial. Hal ini dipicu oleh salah satu kader dari sala satu partai yang mempromosikan pentingnya ekspor kelapa sawit untuk memperkuat Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS). Permasalahannya adalah, kader tersebut tidak menyadari bahwa kelapa sawit merupakan tanaman yang kontroversial, mengingat bagaimana perkebunan kelapa sawit memang merusak lingkungan. Asumsi.co akhirnya berbicara dengan Manajer Pengkampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Wahyu Eknas, untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit, terutama jika perkebunan ini diperluas cakupan wilayahnya.

Dampak Lingkungan Apa Saja yang Diakibatkan oleh Perkebunan Kelapa Sawit?

Membuka pembicaraan, Wahyu menjelaskan kepada kami tentang bagaimana perkebunan monokultur seperti kelapa sawit telah merusak lingkungan di berbagai wilayah di Indonesia. Baru-baru ini, tepatnya sejak Agustus, kebakaran hutan kembali meningkat di Sumatera dan Kalimantan. Bahkan, di Kalimantan Barat, terdapat 102 titik api yang berada di perkebunan kelapa sawit.

“Perkebunan monokultur, khususnya sawit, terindikasi kuat sebagai penyebab karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan-red). Sejak Agustus tahun ini, kebakaran hutan meningkat kembali, khususnya pada wilayah Sumatera dan Kalimantan, bahkan Kalimantan Barat, pada Kota Pontianak sampai meliburkan semua anak sekolah karena dampak asap yang semakin tinggi. Faktanya, di Kalimantan Barat sebagai wilayah titik api tertinggi hingga Agustus 2018, terdapat 102 titik api di konsesi perkebunan kelapa sawit,” ungkap Wahyu untuk Asumsi.co.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh WALHI,  ada sekitar 193 dari 291 perusahaan kelapa sawit yang menjadi aktor dibalik rusaknya 4 juta lebih ekosistem gambut. Di sini, terlihat bahwa perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit telah secara signifikan mengakibatkan kerusakan lahan gambut.

“Dari olahan data WALHI dari berbagai sumber, diketahui bahwa 4.389.757 hektar ekosistem gambut secara langsung dirusak oleh sebanyak 291perusahaan, yang terdiri dari 193 perusahaan sawit,” lanjut Wahyu.

Lebih luas dari kerusakan lingkungan, kebakaran hutan yang salah satunya disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit ini juga berdampak pada aspek kehidupan lain seperti aspek ekonomi dan sosial. Akibatnya, negara lah yang harus menanggung beban.

“Kebakaran hutan bukan hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi berdampak pada ekonomi, terganggunya aktivitas ekonomi & rsosial masyarakat, termasuk beban anggaran dalam penanganan bencana yg meningkat,” ungkap Wahyu.

Kerusakan Gambut Hampir Tidak Mungkin Dipulihkan

Berbicara tentang pemulihan-pemulihan untuk tanah yang digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit, Wahyu mengatakan bahwa hal tersebut hampir tidak mungkin dilakukan. Karena, ekosistem rawa gambut yang digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit terbentuk secara alamiah selama jutaan tahun. Jika ekosistem benar-benar rusak, lahan gambut tersebut tidak akan bisa dipulihkan.

“Faktanya tidak semua lahan yang rusak akibat perkebunan monokultur sawit bisa dipulihkan, khususnya pada kawasan ekosistem rawa gambut. Ekosistem rawa gambut terbentuk secara alami selama jutaan tahun, sebagai ekosistem esensial, jika ekosistem gambut benar-benar rusak, maka tidak dapat dipulihkan,” lanjut Wahyu.

Wahyu pun menuturkan bahwa selain bentuk dari keanekaragaman hayati, rawa gambut pun berfungsi mengalirkan aliran air di daratan dan mencegah banjir. Selain itu, rawa gambut juga bagian dari kebudayaan di nusantara. Banyak konteks sosial-budaya dan ekonomi yang berkaitan antara rawa gambut dan masyarakat di Indonesia dari masa lampau.

“Secara alami ekosistem rawa gambut bukan hanya sebagai penyedia keanekaragaman hayati, tetapi juga secara alami berfungsi sebagai penyimpan air dan “sistem pengendali banjir” alami. Dalam banyak budaya masyarakat di nusantara, ekosistem rawa gambut sangat terkait erat dengan sosial-budaya-ekonomi masyarakat setempat,” ucap Wahyu.

Menutup perbincangan, Wahyu pun berharap bahwa kebijakan korektif merupakan hal yang penting agar tata kelola sumber daya alam dapat lebih baik. Secara spesifik, ia menekankan pentingnya moratorium kelapa sawit. Selain itu, audit lingkungan, pengkajian ulang perizinan, dan pencabutan izin bagi perusahaan kelapa sawit yang melanggar hukum merupakan cara-cara lain agar lingkungan tetap dapat terjaga.

“Itu kenapa bagi WALHI, yang didorong adalah kebijakan korektif untuk membenahi tata kelola sumber daya alam kita. Namun pembenahan tata kelola mustahil terjadi jika tidak diawali dengan moratorium sawit, yang sekarang draft kebijakannya sudah ada di meja Presiden. Moratorium sawit pun harus dibarengi dengan audit lingkungan, review perizinan dan bahkan pencabutan izin bagi perusahaan-perusahaan sawit yang melanggar hukum dan perundang-undangan,” tutup Wahyu.

Share: Tren Perkebunan Kelapa Sawit Berdampak Pada Kerusakan Lingkungan