Bondet terlihat serius mengotak-atik fork atau garpu depan motornya di wahana Tong Setan di taman hiburan rakyat di Tambun, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (18/12/20) lalu.
“Main kapan, Mas?” tanya kami kepada Bondet.
Pria Jawa gondrong dan bertampang garang ini seketika melempar senyum. “Habis Isya, Mas. Biasanya, sih, sekitar jam setengah delapan lewat. Nunggu rame dulu,” kata Bondet.
Malam itu agak lengang. Pandemi barangkali membuat orang-orang kurang bersemangat datang ke taman hiburan rakyat. Tapi semangat Bondet dan kawan-kawannya untuk menggeber motor tak surut.
Di Jakarta, sudah sangat sulit menemukan aksi ekstrem legendaris seperti tong setan. Padahal, sekira dua tahun lalu, para joki yang sering dikira punya ilmu gaib ini masih kerap kebut-kebutan di Cilandak.
Sehari sebelum berjumpa kelompok Bondet, kami berkeliling di Cengkareng hingga malam mencari tong setan. Gagal belaka. Dua pasar malam dekat Bandara Soekarno-Hatta kami hampiri. Pertama, hanya ada pasar malam di lahan sempit dalam gang permukiman. Kedua, taman hiburan rakyat dengan bianglala, kora-kora, dan komedi putar, tetapi tanpa tong setan.
Waktu tampil Bondet dan kawan-kawan sudah tiba, jumlah penonton masih tak seberapa. Bondet mulai berganti baju.
“Beginilah, Mas. Sepi. Mau gimana lagi? Kami kemungkinan sampai akhir tahun di sini. Tahun depan belum tahu ke mana lagi,” kata Bondet sembari memakai sepatunya.
Mesin motor menyala dan bunyi knalpot cempreng pun menggema. Sesaat kemudian, adik Bondet, Peank, masuk ke tong dan ikut memastikan motor abangnya itu layak digeber berputar-putar 360 derajat dalam tong raksasa. Peank juga memastikan bagian kedua roda dalam kondisi aman dan tak ada baut yang kendur.
Tak lama selepas mereka ngobrol singkat, datang seorang pria berbadan tinggi dan tegap. Dibanding Bondet dan Peank, Anwar terlihat lebih bugar dan sesuai dengan pekerjaan yang memompa adrenalin itu.
Namanya Anwar, seorang pensiunan joki. “Ada kali ya empat tahun lepas dari dunia tong setan,” katanya. Ketika kami menanyakan alasannya berhenti, Anwar hanya tertawa.
Istri dan anak bukan alasan utama Anwar mundur dari dunia tong setan. Bahkan, saat sudah memiliki anak pun, dia masih rajin menggeber motornya, pindah dari satu tong setan ke tong setan lainnya.
“Lagi pengin berhenti aja, mas. Kasih kesempatan ke yang lain juga,” katanya.
Namun, malam itu Anwar comeback. Bersama Bondet, Anwar–yang memakai celana pendek dan bersandal–malah kesetanan dan tampil menggila saat menggeber motor di arena. Tak terlihat canggung sedikit pun, apalagi demam panggung. Dia beberapa kali beratraksi mengangkat kaki ke stang dan melepaskan tangan.
“Itu Mas Anwar sudah empat tahun nggak main, Mas. Senior dia itu, lihat aja gayanya, jago, kan. Nggak kaku, hebat dia,” kata Peank membisiki telinga saya saat kami menonton aksi Anwar.
Seakan tak mau kalah, Bondet–yang sedari awal sudah mempersiapkan motornya–juga mempertontonkan berbagai gaya ekstrem dari atas motor. Mulai dari “scorpion style,” berdiri di atas motor, hingga duduk menyamping sambil tersenyum.
Beberapa penonton “menyawer” uang saat Anwar dan Bondet melintas ngebut di hadapan mereka. Penonton yang sedikit itu pun berteriak histeris, terhibur dengan aksi keduanya. Selepas pertunjukkan perdana selesai, dan para penonton kloter pertama turun, tak ada lagi para penampil selanjutnya karena memang tak ada penonton yang masuk.
Sekira jam 21.45 WIB, tong setan senyap, hanya ada Bondet dan Peank di dalam tong. Sambil mengutak-atik lagi motor, keduanya sesekali menoleh ke atas tong dengan wajah penuh harap, memastikan apakah ada lagi penonton yang masuk.
“Wes, nggak ada lagi, yang masuk. Selesai iki,” kata Bondet kepada saya dan Peank. Saat sepi itulah, Peank–yang sedari awal hanya bertugas memastikan kesiapan motor–menggeber motor mengitari tong, sekadar menghibur diri.
Meski pertunjukan sepi, tak ada kesan muram di wajah Bondet dan Peank. Meski hanya ada beberapa lembar dua ribu rupiah yang berceceran di lantai tong, mereka riang-riang saja.
Mereka tampil, memacu jantung, bertaruh nyawa, dan gembira setelahnya.