General

Tiga Isu Sosial Budaya yang Patut Dibahas dalam Debat Pilpres Putaran Ketiga

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Debat Pilpres 2019 Jilid III akan dilaksanakan pada tanggal 17 Maret 2019 mendatang. Khusus untuk putaran ketiga, calon yang akan berdebat hanya calon wakil presiden saja, yakni Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno. Debat ini akan dilangsungkan di Hotel Sultan, Jakarta Pusat.

Debat putaran ketiga akan membawa tema-tema yang berbeda dari sebelumnya. Salah satu tema yang akan dibahas dalam debat kali ini adalah sosial budaya. Isu sosial budaya sendiri menjadi isu yang hangat belakangan ini. Karena itu, dibutuhkan panelis yang tepat. Menurut Ketua KPU Arief Budiman, panelis akan berjumlah sembilan orang.  Salah satu panelis untuk isu kebudayaan adalah Radhar Panca Dahana. “Kami sudah umumkan panelisnya. Panelis ada dari berbagai bidang: kesehatan, ketenagakerjaan, pendidikan, dan sosial-budaya. Salah satunya saja Pak Radhar Panca Dahana untuk budaya. Kemudian ada dari Migrant Care untuk ketenagakerjaan.”

Isu Intoleransi

Membahas mengenai isu sosial-budaya, intoleransi menjadi salah satu perbincangan utama yang kian menghangat. Berdasarkan The Economist Intelligence Unit, indeks demokrasi di Indonesia terus menurun dari tahun 2015 hingga 2018 (2018 sama dengan 2017). Di tahun 2015, Indonesia mendapatkan nilai 7,03 dari 10. Indonesia mendapatkan nilai 6,97 di tahun 2016, dan 6,39 di tahun 2017 dan 2018. Indeks ini didasarkan pada lima kategori, yakni pluralisme dan proses elektoral, fungsionalitas pemerintah, partisipasi politik, budaya politik demokrasi, dan kebebasan sipil. Angka indeks yang terus menurun – terutama pada tahun 2016 dan 2017 selepas Pilkada DKI Jakarta 2017 – menunjukan bahwa ada masalah dalam pluralisme dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Kedua pasangan calon wakil presiden harus mampu membicarakan isu ini dengan baik agar ada kejelasan terkait pencegahan intoleransi ini ke depannya.

Isu Penggusuran Ruang Hidup Rakyat

Isu sosial budaya lain yang tidak kalah penting adalah hak asasi manusia untuk hidup dan tinggal dengan aman. Selama periode pertama kepemimpinan Jokowi, penggusuran yang dilakukan untuk pembangunan infrastruktur dikritik oleh beberapa pihak. Pada tanggal 21 Desember 2017, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengungkapkan bahwa banyak kasus pembangunan infrastruktur yang tidak berpihak kepada rakyat.

“Banyak kasus pembangunan infrastruktur yang justru merampas ruang hidup rakyat,” tutur Asfinawati di kantor YLBHI, Jakarta.

Alih-alih menguntungkan rakyat, metode pembangunan infrastruktur dengan menggusur tanah warga justru dianggap hanya menguntungkan pemodal.

“Itu justru bertentangan dengan program pemerintah sendiri, pemerintah ketika melakukan pembangunan harsu bertanya apa yang mereka butuhkan. Kalau sekarang kan apa yang dibutuhkan pemodal.”

Pernyataan serupa dilontarkan oleh Eks Komisoner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Siane Indriani. Dilansir dari Tirto.id, ia menyatakan banyak kasus pelanggaran HAM terjadi di era Pemerintahan Joko Widodo. Hal ini salah satunya berupa penggusuran. “Penggusuran, penganiayaan, pengambilan hak rakyat, reklamasi, banyak sekali,” ungkap Siane, Kamis, 20 September 2018.

Melihat adanya kondisi-kondisi seperti ini, baik kubu 01 maupun 02 harus sama-sama memikirkan seperti apa ke depannya pembangunan fisik dilaksanakan. Jangan sampai, keinginan untuk menjadi bangsa yang berekonomi tangguh mengkompromikan rakyat yang memiliki hak untuk hidup dan tinggal dengan aman.

Isu Pelestarian Budaya

Isu ketiga dalam tema sosial-budaya yang tidak boleh dilewatkan pada debat mendatang adalah isu pelestarian budaya. Pada akhir tahun 2017, tepatnya pada tanggal 21 Okober, Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya Joe Marbun mengungkapkan bahwa tiga tahun kepemimpinan Jokowi belum membuahkan hasil maksimal terkait pembangunan sektor kebudayaan. Ia merasa bahwa belum ada upaya kerja sama dari pemerintah dan masyarakat, terutama dengan komunitas budaya.

“Membangun pendidikan karakter perlu didukung dengan menciptakan sinergitas antara pusat, daerah, dan masyarakatnya itu sendiri, belum ada upaya kerja sama dari pemerintah dengan komunitas budaya,” ujar Joe, di tengah diskusi Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK dalam Pelestarian Budaya, di Yayasan Pecinta Danau Toba, Jakarta.

Meski demikian, sebenarnya Jokowi tidak diam saja terkait pelestarian budaya ini. Dalam acara Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, di Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Pusat, ia mengungkapkan bahwa pentingnya menanam kebudayaan lokal Indonesia di diri masing-masing.

“Kita harus selalu ingat untuk terus aktif meluhuri kebudayaan Indonesia, kebudayaan nusantara dan sekaligus menguatkan dan mengembangkannya dalam menghadapi perkembangan zaman tersebut.”

Ia sendiri sadar bahwa tantangan ke depannya adalah bagaimana menjaga budaya Indonesia tumbuh di antara interaksi budaya lain.

“Oleh karena itu, mengakar kuat kepada peradaban Indonesia adalah utama. Namun, menjaga budaya untuk terus tumbuh di tengah interaksi belantara budaya-budaya dunia adalah tantangannya.”

Share: Tiga Isu Sosial Budaya yang Patut Dibahas dalam Debat Pilpres Putaran Ketiga