Isu Terkini

Tentang Cloutivism dan Aktivisme Selebgram

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Mungkin suatu hari nanti kita akan berhenti menyandarkan nasib pada selebritas. Namun, gagasan ajaib itu sedang membentuk dirinya sendiri, belum seutuhnya jadi. Kemilau para pesohor yang pernah turun untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa, dengan kita bersorak-sorai di belakangnya, mungkin tak dapat pudar begitu saja. Perubahan butuh waktu, maka kita menunggu.

Yudhis Tira, jurnalis VICE Indonesia, menemukan istilah yang tepat untuk menggambarkan semua ini: cloutivism. Sebuah fenomena di mana seseorang melibatkan diri dalam gerakan sosial sekadar demi clout, untuk memanen pujian atau mencari ketenaran. Dalam semesta media sosial, ketika tuduhan pencitraan kerap melayang, pertanyaan mengenai maksud di balik suatu perbuatan baik jadi kian jamak dan genting.

Kita menanyakannya kepada selebgram yang hadir dalam demonstrasi 24 September, membagi-bagikan nasi bungkus untuk mahasiswa. Kita menanyakannya kepada seorang vokalis yang khawatir terhadap pelecehan seksual yang terjadi dalam konsernya. Dan kita menanyakannya kepada seorang Ketua BEM yang muncul di televisi nasional hanya beberapa hari setelah kawan-kawannya digebah polisi dengan gas air mata.

Mereka muncul sebagai pahlawan, sosok yang amat kentara dalam situasi gelap gulita. Namun, ketika sisi lain mereka terungkap, mendadak kita bertanya-tanya apakah mereka sekadar hendak menunggangi gerakan. Tentu ini bukan perkara baru: gerakan sosial selalu disusupi manusia-manusia gila panggung yang ingin meraup perhatian. Namun, kini potential rewards-nya berbeda: reputasi mengkilap di media sosial, kapital sosial yang bejibun, dan posisi sebagai thought leader dan influencer bagi generasinya. Semua itu bisa jadi modal politik dalam lima atau sepuluh tahun mendatang.

Suka atau tidak, cloutivism adalah penyakit yang amat kekinian. Selebgram berangkat ke pulau seberang untuk memadamkan karhutla adalah peristiwa absurd yang hanya dapat terjadi pada 2019. Namun, kali ini momennya pas. Kebanyakan anak muda yang turun pada #ReformasiDikorupsi tidak pernah merasakan hidup di bawah tirani Orde Baru. Ketika Soeharto lengser, kami masih balita atau bahkan belum lahir.

Dalam episode Pangeran Mingguan x Ruang Tengah beberapa hari lalu, peneliti politik Edbert Gani menyampaikan observasi jitu perihal fenomena ini. Karakteristik anak muda yang terlibat dalam #ReformasiDikorupsi amat berbeda dengan Generasi Milenial, apalagi Generasi X yang merobohkan Orde Baru. Mereka yang turun tempo hari tidak didorong oleh trauma masa silam, rasa takut terhadap kebangkitan hantu Orba, apalagi narasi heroik Reformasi. Anak muda turun ke jalan karena kemerdekaan yang mereka miliki sejak lahir, yang barangkali tidak mereka hargai sepenuhnya sebelum hari itu, sedang direnggut.

Pada saat bersamaan, eksposur pada wacana-wacana global dan budaya populer perlahan menggeser cara berpikir anak-anak muda tentang dunia. Gelombang #LoveWins dan #MeToo memantik kesadaran kami tentang relasi antargender dan hak-hak orientasi seksual berbeda. Musisi seperti Kunto Aji dengan album Mantra Mantra hingga belakangan Hindia menggiring persoalan kesehatan mental ke arus utama, membungkusnya dalam balutan musik pop yang renyah dan memukau secara visual. Bila “SJW” telah menjadi ejekan lumrah untuk para cacing kepanasan di media sosial, artinya kita mengakui bahwa kesadaran mengenai isu sosial dan sensitivitas terhadap penderitaan orang lain telah menjadi persoalan arus utama.

Generasi yang terlibat dalam #ReformasiDikorupsi tidak dapat dibanding-bandingkan dengan angkatan sebelumnya. Mereka angkatan baru yang haus akan pemaknaan baru soal apa itu gerakan, keterlibatan, siasat aktivisme, dan makna kepedulian politik. Slogan-slogan kocak yang dibawa anak-anak kampus, kencangnya perang narasi di media sosial, hingga taktik anak-anak STM di lapangan adalah pola yang memang tidak anyar, tetapi baru kini dipaksa berjumpa dalam suatu gerakan anak muda yang masif.

Dalam kuali yang hampir luber ini, perbuatan Awkarin–harus diakui–sempat terasa sebagai angin segar. Kami sempat terkesan padanya mungkin bukan karena kekecewaan menahun terhadap pemerintah atau DPR, tetapi karena gerakan sosial yang ada sekarang tidak selaras dengan pola pikir kami. Perlu ada tokoh baru yang menjembatani kami dengan konsep “gerakan” dengan “G” besar, dan ia membabat jarak tersebut dengan mudah. Ketika generasi media sosial mulai menjadi kekuatan dominan dalam gerakan, masuk akal bila kami juga memboyong kultur dan pola kerja dunia maya. Sayangnya, meski cloutivism itu sederhana, mudah diakses, dan dekat dengan keseharian, ia juga minta ampun dangkalnya.

Cloutivism adalah anak ideologis dari slacktivism, istilah yang muncul beberapa tahun terakhir untuk membicarakan aktivisme yang mentok pada keterlibatan kecil dan sederhana di dunia maya. Memakai filter di foto media sosial untuk mengangkat kesadaran publik, menyebar suatu tagar, hingga meretwit petisi daring adalah contoh prima slacktivism. Kamu dapat terlibat dalam gerakan sosial tanpa mesti sungguh-sungguh terjun. Kamu dapat merasa berbuat baik tanpa harus bersusah payah atau terang-terangan turun ke jalan.

Persoalannya, metode slacktivism tidak selalu berhasil. Untuk setiap Ice Bucket Challenge yang mampu menggalang dukungan publik bagi riset penyakit ALS, ada kampanye seperti #BringBackOurGirls yang gagal mewujudkan tujuannya dan redup setelah hilang dari trending topic. #BringBackOurGirls dibikin untuk menyelamatkan 200 anak perempuan yang diculik organisasi teroris Boko Haram. Urgensinya luar biasa, tapi toh ia lenyap dengan mudah. Kampanye medsos sedahsyat apa pun, petisi daring seramai apa pun, dan challenge se-viral apa pun tidak dapat membendung kekejian organisasi teroris. Persoalan sehari-hari memang dapat diselesaikan dengan pendekatan keseharian. Namun pada akhirnya, persoalan struktural mesti dihajar dengan solusi struktural pula.

Di sinilah persoalan terbesar dari slacktivism, bahkan aktivisme digital secara keseluruhan. Seperti dipaparkan Non-Profit Hub, slacktivism “baik untuk menggalang kesadaran publik”, bahkan bisa berujung pada donasi, tetapi akan sia-sia bila organisasi massa “tetap tidak mampu mengorganisir relawan untuk turun secara langsung”, apalagi bila “publik merasa sudah berbuat sesuatu hanya dengan terlibat di media sosial.”

Setiap unggahan Twitter Do Your Magic dan setiap kampanye Kitabisa.com untuk membantu seorang kakek-kakek nelangsa yang hidupnya morat-marit adalah perbuatan mulia. Namun, apakah kampanye semacam itu sungguh-sungguh mencegah, atau sekadar mengobati sementara? Untuk setiap gelandangan yang kamu kasihani dan kamu viralkan, ada jutaan gelandangan lain yang seharusnya dirawat oleh negara. Tetapi negara malah mewacanakan hendak mendenda mereka. Netizen Indonesia memang sakti, tetapi mereka akan terus menerus berusaha memadamkan api yang dinyalakan oleh kekuatan yang jauh melebihi mereka semua.

Awkarin memang hadir di demonstrasi, ia mampir ke situs karhutla, dan ia sungguh-sungguh menemui Budiman Soedjatmiko. Namun, kehadiran fisik seorang cloutivist tidak dapat meruntuhkan fakta bahwa solusi yang ditawarkannya bukanlah solusi struktural. Mereka sekadar slacktivist yang keluar dari menara gadingnya.

Kita dapat mengirim setiap selebgram di Tanah Air ke Sumatera dan Kalimantan untuk memadamkan karhutla, dan alangkah indahnya bila hal tersebut terjadi. Tetapi ketika mayoritas lahan hutan yang terbakar kemudian ditanami sawit sementara pemerintah terang-terangan mendukung industri sawit, kamu patut bertanya-tanya apakah perbuatan itu sungguh berdampak. Perbuatan baik sebanyak apa pun akan sia-sia apabila setan yang menyebabkan segala malapetaka tidak kita usir dari singgasananya.

Tentu, ini tidak berarti semua orang harus ada di garis depan dan merasakan pedihnya gas air mata. Musisi Ananda Badudu, misalnya, tak pernah sekali pun ikut dalam demonstrasi, tetapi ia mengorganisir bantuan medis dan logistik dalam demonstrasi 23-25 September. Saya pun mengenal baik beberapa seniman dan pekerja kreatif yang melibatkan diri secara anonimus dalam rangkaian demonstrasi tersebut. Sebagian musisi turut serta dalam tim paramedis yang mengevakuasi korban gas air mata dari lokasi menuju posko medis. Sementara beberapa ilustrator dan seniman bekerja secara klandestin untuk memproduksi materi informasi yang disebarkan ke publik: mulai dari poster soal cara menghadapi gas air mata, poster tuntutan demo dalam bahasa Inggris dan Indonesia, hingga meme-meme yang menghibur peserta dan turut menggalang kesadaran publik.

Setiap orang memiliki ranahnya masing-masing untuk berjuang. Namun, yang mempersatukan mereka adalah kesadaran bersama bahwa penyelesaiannya harus bersifat struktural dan menyeluruh. Niatan baik, apalagi hasrat untuk dikenal publik, tidak cukup untuk menyelesaikan problem-problem menahun yang menjangkiti Indonesia.

Lebih jauh lagi, gerakan yang didasari oleh kekaguman pada figur akan selalu menemui kekecewaan. Terungkapnya perisakan Awkarin terhadap seorang ilustrator boleh jadi bikin kita tepok jidat. Tetapi jika setelah ini kita mengurapi Ananda Badudu sebagai pahlawan, atau Lini Zurlia, atau Dandhy Dwi Laksono, atau Manik Marganamahendra, siklus tersebut bakal terus berputar. Mereka akan salah langkah, salah sikap, atau salah bicara. Kita akan kecewa kepada mereka suatu hari nanti, sebagaimana kita telah kecewa terhadap para aktivis 1998 yang sekarang berdiri di “seberang.” Narasi kekecewaan dan kontes meng-cancel akan bergulir terus sampai terompet sangkakala bertiup memainkan “Gugur Bunga.”

Bergeraklah untuk gagasan, bukan untuk figur. Turunlah ke jalan untuk satu sama lain dan untuk dirimu sendiri. Pada satu titik, kita harus berhenti menunggu munculnya ikon yang sempurna dan mulai menerima bahwa kita mesti menjadi pahlawan bagi satu sama lain. Namun kita pahlawan yang penuh cacat, yang terus belajar, yang berproses terus menerus dan saling mengingatkan. Seharusnya, kita berdiri setara dan tumbuh bersama-sama. Bukan berlomba-lomba mencari pahlawan baru dan memupuk rasa curiga, apalagi kecewa.

Gerakan adalah luapan amarah kolektif yang berkembang jadi kegembiraan bersama. Euforia yang kamu rasakan ketika turun ke jalan tempo hari bukan sekadar adrenalin, denyut nurani, apalagi hasrat menjadi pahlawan. Euforia tersebut lahir dari pengetahuan bahwa kamu tidak sendirian. Bahwa jika kamu berdiri bersama satu sama lain, sebagai kawan, kamu dapat sungguh-sungguh mendorong perubahan.

Share: Tentang Cloutivism dan Aktivisme Selebgram