Budaya Pop

Tantangan dan Hak Kita Peroleh Informasi Publik

Christoforus Ristianto — Asumsi.co

featured image

Keterbukaan informasi publik (KIP) menjadi salah satu bentuk demokrasi dalam implementasi dari tata kelola pemerintahan yang baik di Indonesia. Maka dari itu, di era digital informasi saat ini, informasi publik di seluruh badan publik perlu dikelola dengan baik.

Hal itu mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Tantangan Keterbukaan Informasi Publik di Era Digital” yang dihelat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI, Depok, Jawa Barat, Senin (3/12/18). Diskusi tersebut menghadirkan Tanaga Ahli Direktorat Jenderal (Dirjen) Informasi dan Komunikasi Kemenkominfo, mantan komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) periode 2009-2017 Henny S. Widyaningsih, pengamat informasi publik R. Kristiawan, dan Kepala Bagian Pelayanan Informasi dan Dokumentasi Divisi Humas Mabes Polri Kombes Sulistyo Pudjo Hartono.

Ismail menyatakan, tantangan KIP kini kian berat karena UU KIP Nomor 14 Tahun 2008 tersebut dirasa masih belum memuaskan hingga saat ini. Sebab, selama 10 tahun UU KIP berjalan, lembaga pemerintah maupun non-pemerintah masih belum ada yang transparan.

Berdasarkan UU KIP pasal 1 ayat 2, informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara yang sesuai dengan UU ini serta informasi lain yang berkaitan dengan dengan kepentingan publik.

Badan publik yang dimaksud dalam UU tersebut yaitu lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, atau badan lain yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang menggunakaan dana dari APBN atau APBD.

“Ada hal utama yang tidak puas. Itu pertama pada lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Padahal, UU sebenarnya mewajibkan setiap badan publik memberi dan mengumumkan informasi yang menjadi hak publik. Coba kita buka laman mencari informasi keuangan di lembaga tertentu, itu jarang ada,” kata Ismail.

Kelembagaan publik, khususnya lembaga pemerintah, lanjut Ismail, wajib mengikuti UU KIP yang berlaku. Menurutnya, ketidakpatuhan terhadap UU itu yang menjadi salah satu penyebab terjadinya korupsi di Tanah Air.

“Mestinya korupsi tidak perlu terjadi kalau proyek-proyek dari awal sudah dipublikasikan oleh humasnya. Masih banyak lembaga pemerintah yang belum membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dengan pola pikir lama yang takut informasi yang dikeluarkan akan disalahgunakan,” paparnya.

Selaras dengan Ismail, Kristiawan menuturkan bahwa lembaga publik yang wajib menyediakan informasi publik harus dipublikasikan tanpa harus diminta.

“Lembaga-lembaga publik belum banyak yang menyediakan informasi. Padahal UU KIP sudah bagus, tinggal bagaiman mengimplementasikanya,” ucap Kristiawan.

Sementara itu, Henny berharap, lembaga publik mampu menjadi pendukung tata kelola pemerintahan yang bersih dari keterbukaan informasi. Baginya, UU KIP jangan hanya menjadi aturan saja, tetapi juga menjadi budaya untuk mau terbuka.

Partisipasi Masyarakat

10 tahun berlakunya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP masih menyisakan ragam persoalan yang kompleks. Salah satunya adalah partisipasi masyarakat yang kini masih enggan menuntut hak mereka dalam mendapatkan informasi dari lembaga publik.

“Masyarakat bahkan belum banyak yang tahu tentang UU KIP dan yang tahu pun tidak mau menuntut haknya meminta data ke badan publik,” kata Kristiawan.

Lebih lanjut, ungkap Kristiawan, salah satu penyebab masyarakat yang pasif terhadap hak mendapatkan informasi dari lembaga publik adalah karena literasi yang masih rendah.

“Mereka (masyarakat) belum tergerak menggunakan informasi itu walaupun itu untuk memperjuangkan hak-hak mereka,” ucap Kristiawan.

Maka dari itu, menurutnya, Komisi Informasi Pusat (KIP) dan lembaga pemerintah lainnya yang terkait harus lebih banyak mensosialisasikan UU KIP dan birokrasi yang harus dilakukan masyarakat ketika menuntut hak mendapatkan informasi yang diinginkan.

“Tugas sosialisasi ada di KIP dan pemerintah. Mereka harus ‘jemput bola’ istilahnya, jangan membebani masyarakat,” imbuhnya kemudian.

Sementara itu, Henny menambahkan, alasan lain yang menghambat masyarakat menuntut haknya adalah karena birokrasi permintaan informasi yang lama di KIP.

“Kendalanya menurut saya birokrasinya yang lama, bisa 10 sampai 30 hari untuk mendapatkan data yang diminta,” papar Henny.

Tak ayal, dengan keterbukaan informasi yang tidak dikelola dengan baik oleh lembaga publik, seperti dituturkan Henny, gejala hoaks makin marak dan masif di masyarakat.

Baginya, lembaga publik sejatinya siap dalam menghadapi gelombang hoaks di era digital. Salah satu caranya dengan terbuka akan informasi sehingga data-data yang sesuai fakta lebih banyak tersebar dibandingkan hoaks.

“Sebenarnya materi UU KIP sudah jelas dalan menghadapi gejala hoaks ini. Namun, KIP dan pemerintah tidak siap dan implementasi UU yang kurang,” ujarnya.

Share: Tantangan dan Hak Kita Peroleh Informasi Publik