Isu Terkini

Stigma ke Pasien COVID-19: “Saya Ditanya Dibayar Berapa Supaya Mengaku Positif”

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

“Ketika saya dirawat, saya mendengar banyak sekali gosip. Ada yang bilang saya tertular dari orang Belanda. Tempat saya bekerja khawatir reputasinya akan jatuh. Keluarga saya tidak boleh keluar rumah [oleh tetangga],” ujar Tri Maharini.

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Dokter yang dinyatakan positif COVID-19 pada Juni lalu mesti juga bergumul dengan informasi-informasi miring tentang dirinya. Kabar tentang dirinya yang positif COVID-19 menyebar cepat setelah Walikota Kediri mengumumkannya ke publik. Ia yang tertular dari pasiennya itu hingga merasa perlu untuk memberikan klarifikasi lewat media sosial.

“Meskipun saya seorang dokter, namanya kena penyakit yang tidak ada obatnya, tidak tahu apakah saya akan hidup atau mati, pasti ada kegalauan yang berat,” ujar Maha lewat konferensi pers Stigma COVID-19 (27/8).

Tak hanya dialami Maha, stigmatisasi itu juga sempat diterima oleh Khairul Abidin, seorang tenaga kesehatan di Aceh. Walaupun telah dinyatakan sembuh, sejumlah orang tak mau lagi dekat-dekat dengannya. Ada pula yang menuduhnya telah mengada-ada. “Ada yang bertanya saya dibayar berapa supaya mengaku positif COVID-19,” ujar Khairul dalam kesempatan yang sama.

Sementara itu, Kristin dan keluarganya yang positif COVID-19 sempat hendak diusir oleh warga sekitar dari rumahnya walaupun mereka tidak menunjukkan gejala. “Ada beberapa warga yang ingin mengusir kami agar kami dikarantina di rusunawa,” tuturnya.

“Padahal kami nggak keluar ke mana-mana, cuma berjemur di jalan yang sepi di dekat rumah. Itu pun masih dikomentari.”

Stigma terhadap tenaga kesehatan ataupun mereka yang positif COVID-19 sudah melekat kental. Tak jarang kita menemukan berita tentang pasien yang dikucilkan warga hingga diusir dari tempat tinggalnya.

Hasil survei yang dilakukan oleh Kelompok Peminatan Intervensi Sosial Psikologi UI bekerja sama dengan Lapor COVID-19 menemukan bahwa sebagian besar orang yang terindikasi positif, dinyatakan positif, atau penyintas COVID-19 menerima perlakuan-perlakuan tidak menyenangkan. Survei dengan 181 responden ini menemukan bahwa 55,25% responden merasa pernah menjadi buah bibir dan lebih dari 33,15% merasa dikucilkan oleh masyarakat.

Sebanyak 24,86% responden juga pernah dijuluki sebagai penyebar virus, 9,39% dirundung di media sosial, 4,42% ditolak untuk menggunakan layanan fasilitas umum, 4,42% dibiarkan tidak menerima bantuan, 3,31% diusir dari lingkungan tempat tinggal, dan 0,55% diberhentikan dari pekerjaanya.

Pandangan negatif dan diskriminasi itu tak hanya terjadi bagi pasien yang sudah dinyatakan positif COVID-19. Sebanyak 26,52% responden menerima perlakuan negatif ketika dirinya ditetapkan sebagai ODP, 8,29% ketika ditetapkan sebagai PDP, dan 12,71% setelah sembuh dari COVID-19 dan beraktivitas seperti biasa. Bahkan, ada pula pasien yang langsung mendapatkan perlakuan negatif ketika ia baru mau memeriksakan diri ke rumah sakit.

Dari seluruh pasien COVID-19 yang telah menerima diskriminasi sejak dinyatakan positif, 18% di antaranya menyatakan tetap menerima perlakuan negatif setelah sembuh—bahkan bisa lebih parah.

Tak hanya kepada pasien, keluarga dan orang terdekat pun ikut kena imbasnya. Sebanyak 41,99% responden mengaku keluarganya ikut menjadi buah bibir, 27,07% mengatakan keluarganya ikut dikucilkan, 14,92% dijuluki sebagai penyebar virus, 7,18% ditolak untuk menggunakan fasilitas umum, 6,08% dirundung di media sosial, 4,42% dibiarkan tidak menerima bantuan, dan 1,66% diusir dari lingkungan tempat tinggal.

Dicky Pelupessy selaku peneliti dari Psikologi Sosial UI mengatakan stigmatisasi ini tak hanya berdampak buruk terhadap pihak yang menerima, tetapi juga dapat menghambat pengendalian dan penanganan COVID-19 di Indonesia. “Karena orang takut distigmatisasi, bisa saja orang berusaha menghindari upaya pengetesan dan penelusuran. Ini berdampak terhadap efektivitas penanganan COVID-19 secara umum.”

Ia merekomendasikan agar pemerintah ataupun pihak berwenang lain menyikapi secara serius masalah stigma ini dengan mengkomunikasikan informasi COVID-19 secara jelas dan akurat. “Penting adanya komunikasi kepada publik yang tidak hanya menebarkan fakta dan akurat, tetapi juga tidak membingungkan mengenai COVID-19 dan penularannya.”

Ia juga merekomendasikan agar dibentuknya platform bagi para penyintas COVID-19 untuk dapat menyuarakan pengalaman mereka. Diharapkan, platform ini dapat menjadi wadah bagi masyarakat dan penyintas untuk saling menguatkan dan memberikan dukungan.

Share: Stigma ke Pasien COVID-19: “Saya Ditanya Dibayar Berapa Supaya Mengaku Positif”