Isu Terkini

Soal ‘Amicus Curiae’ dari KontraS yang Ditolak Hakim dalam Kasus Penyerangan Novel Baswedan

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengesampingkan amicus curiae yang diajukan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan pada 18 Juni 2020 lalu. Menurut hakim, peradilan Indonesia tak mengenal amicus curiae.

Amicus curiae merupakan istilah latin yang juga biasa dikenal sahabat pengadilan, atau sebagai pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, untuk memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Pihak ini berkepentingan hanya sebatas memberikan opini, bukan untuk melakukan perlawanan.

Dalam praktiknya, amicus curiae direalisasikan lewat argumentasi yang disusun oleh organisasi atau individu yang berkedudukan sebagai pihak terkait tidak langsung dalam suatu perkara. Argumen diberikan guna membantu pengadilan untuk menggali permasalahan hukum dan keadilan secara patut dan tepat.

“Menimbang terhadap pengajuan amicus curiae yang disampaikan KontraS nomor 103/SK KontraS/VI/2020 tertanggal 18 Juni 2020, majelis hakim akan mempertimbangkan sebagai berikut, menimbang bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia yang diatur dalam KUHAP tidak mengenal apa yang dinamakan amicus curiae,” kata hakim ketua Djuyamto saat membacakan surat putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (16/7/20).

Menurut Djuyamto, meski amicus curiae sering diajukan di sejumlah kasus, namun, ia tetap mengesampingkan amicus curiae yang diajukan KontraS. Ia memahami maksud dan tujuan KontraS mengajukan amicus curiae tersebut. Ia menjelaskan dalam aturan Indonesia, majelis hakim itu menguji hasil dari proses penyidikan dan penuntutan atas dugaan dilanggarnya pidana hukum materil dan itu diatur dalam undang-undang.

“Maka setelah hal yang berkaitan dengan permasalahan di tahap penyidikan serta penuntutan tidaklah serta merta dapat diambil alih oleh majelis hakim atau pengadilan,” ujarnyanya.

“Penerapan hukum pidana, baik materil maupun formil, harus diserahkan pada asas legalitas, dimana sistem peradilan pidana yang dianut dan diatur dalam KUHAP menentukan bahwa pengadilan majelis hakim pidana berfungsi untuk melakukan pengujian hasil proses penekanan hukum pidana terhadap tingkat penyidikan dan penuntutan, dalam persidangan yang diatur dalam UU. Dan selanjutnya hasil proses karena hukum pidana disusun dalam bentuk atas penyidikan dan dakwaan, dan majelis hakim akan menguji surat dakwaan berdasarkan fakta hukum yang terbukti di persidangan.”

Meski sistem peradilan di Indonesia yang diatur dalam KUHAP tidak mengenal amicus curiae, Djuyamto menyebut dalam praktiknya, memang ditemukan beberapa perkara dengan amicus curiae. Beberapa kasus itu di antaranya: (1) perkara majelis Time melawan Soeharto yang diajukan oleh kelompok kemerdekaan pers, (2) perkara Prita Mulyasari di Pengadilan Negeri Tangerang, (3) perkara Upi Asmaradana di PN makassar oleh ICJR dan (4) perkara penodaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama yang diajukan oleh LBH Jakarta.

“Namun dalam praktek peradilan, telah terdapat beberapa fakta di mana amicus curiae yang diajukan pihak terkait tidak langsung dalam perkara yang dalam praktek peradilannya di Indonesia,” kata Djuyamto.

Perihal amicus curiae yang diajukan KontraS dan dikesampingkan majelis hakim tersebut, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar memahami itu. Menurutnya, wajar kalau teman teman yang mengajukan amicus curiae berharap pengadilan bisa mempertimbangkan pendapat mereka sebagai sahabat pengadilan.

“Memang amicus curiae tidak dikenal dalam hukum acara pidana Indonesia, tetapi perkembangan hukum itu sama dengan perkembangan peradaban. Oleh karena itu, jika kita ingin disebut sebagai manusia modern, maka seharusnya menerima semua perkembangan termasuk menerima pikiran-pikiran yang datang dari masyarakat, termasuk amicus curiae sebagai bagian dari perkembangan peradaban,” kata Fickar saat dihubungi Asumsi.co, Jumat (17/7).

“Oleh karena itu, hakim yang tidak mempertimbangkan amicus curiae berpotensi menjadi hakim yang ditinggalkan zamannya,” ujarnya.

Sebelumnya, dua penyerang Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis divonis hukuman berbeda oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (16/7/20). Rahmat divonis dua tahun dan Ronny 1,6 tahun. Namun, vonis ini dinilai belum memenuhi unsur keadilan meski putusan sudah ‘ultra petita’.

Hakim menyatakan Rahmat terbukti bersalah melakukan penganiayaan dengan rencana dan mengakibatkan luka berat. “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun. Memerintahkan terdakwa lamanya massa penahanan dikurangkan sebelumnya dari lamanya pidana yg dijatuhkan. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan,” kata Ketua Majelis Hakim Djuyamto di PN Jakarta Utara, Kamis (16/7) malam.

Rahmat selaku penyiram air keras terbukti melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara terdakwa lainnya, Ronny, dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penganiayaan terencana.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan. Memerintahkan lamanya terdakwa dalam masa penahanan dikurangi sebelumnya dari pidana yang dijatuhkan,” ucap hakim.

Vonis pada kedua polisi tersebut lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya satu tahun penjara. Sebelumnya Rahmat Kadir didakwa bersama-sama Ronny Bugis melanggar Pasal 355 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mereka juga didakwa dengan dakwaan subsidair Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1KUHP serta lebih subsidair Pasal 351 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Share: Soal ‘Amicus Curiae’ dari KontraS yang Ditolak Hakim dalam Kasus Penyerangan Novel Baswedan